Pada mulanya hanya Waktu. Diam, mengambang antara keadaan dan ketiadaan. Nenek moyang kita belum mengenalinya sebagai penanda. Musim hujan dan kemarau berlalu tanpa hitungan. Hari baik dan hari buruk adalah hari ini, tidak ada kemarin atau lusa. Masa lalu dan depan belum ada, para penyair masih seorang pelamun di pinggir sungai, yang melamunkan tentang anggur dan rembulan, sambil membentur-benturkan jidat satu sama lain.
Awal dan Akhir yang juga ibu dari Sang Waktu, merasa iba atas kesendirian Sang Waktu, keduanya bergandengan tangan melahirkan entitas baru.
Berbentuk selendang, panjang, tanpa warna. Sejak rahim Awal, lahir Sang Ruang. Peristiwa itu sekaligus menandai julukan baru Awal sebagai Kelahiran.
Dari jemari Sang Akhir, yang kecil dan panjang-panjang, lahir Realita. Di masa ini, Realita belum berbentuk apa-apa. Ia belum memiliki bentuk. Kelak pada waktu yang ditentukan Sang Waktu, Realita akan merenggut segala sesuatu yang punya hak milik. Mereka yang direnggut ini dihantarkan ke hadapan jari-jari Sang Akhir agar dimurnikan sebelum dibawa ke sebuah alamat di luar jangkauan para entitas. Katanya, Tuhan atau entah siapa tinggal di sana. Maka, Sang Akhir menyandang nama baru gara-gara Realita. Ia kemudian dijuluki Kematian.
Ruang langsung akrab dengan Waktu. Diajaknya ia bermain, mengelilingi tubuh selimutnya. Sang Waktu menggelundung saja mengitari lintasan tubuh Sang Ruang. Pada mulanya, Waktu berjalan tertatih-tatih. Siang jadi malam, malam berubah pagi. Waktu pernah jatuh, beberapa kali, saat melintasi undakan dan tikungan tajam. Sang Kelahiran membantunya bangun, menuntunnya pelan-pelan kembali ke lintasan. Kematian dan anaknya, Sang Realita, membuntuti ke mana Sang Waktu menggelundung. Mereka dengan sangat baik menjalankan peran, memastikan hukum alam bekerja sebagaimana mestinya.
Pernah ada suatu masa di mana semua panjang selendang Sang Ruang telah habis dilintasi Waktu. Setelah sekian lama, Sang Waktu telah mengenali tangan kaki dan rodanya sendiri. Ia semakin mahir berkelok, setirnya tidak lagi limbung mana kala melintasi tikungan tajam dalam kecepatan penuh. Manusia yang hidup di bawah kaki Realita merasakan itu. Kita merasakan waktu cepat sekali berlalu. Realita dan Kematian sama cekatannya menjalankan tugas. Sedangkan Kelahiran tertinggal di belakang, antara sudah malas mengimbangi ritme mereka, atau ingin istirahat sebentar saja. Dan kita tahu, sebentar atau cepat, keduanya ditentukan oleh Sang Waktu.
Seperti biasa Tuhan tidak mendengar—atau Dia mendengar, tapi menunggu—pertanyaan Sang Ruang yang berbunyi: haruskah aku akhiri perjalanan Waktu atau mencari gantinya?
Kelahiran yang tertinggal jauh di belakang membalas, setengah berteriak: Jangan. Kamu bisa melakukan apa pun asal jangan mendua.
Kematian dan Realita setuju pada pilihan kedua. Roda-roda Sang Waktu telah aus. Diganti saja daripada kami menganggur.
Sang Waktu yang mendengar itu, memalingkan muka, ia tengadahkan tangan, empat-empatnya, sambil berdoa. Doa itu berpendar, terantuk pintu langit, tembus mengetuk lapisan langit paling akhir. Usai diaminkan Tuhan, doa itu turun sebagai hujan membasahi bulatan-bulatan besi di tubuh Sang Waktu. Besi dan air kemudian membentuk karat. Karat menyumblim jadi Kenangan.
Kenangan adalah perangkat yang diciptakan Sang Waktu untuk menghukum segala yang bernyawa.
Jawaban dari Tuhan turun bersama hujan doa dalam wujud cicit burung dan suara lonceng. Jawaban itu turun tepat ketika Sang Waktu tiba di ujung jalan.
Sang Waktu dibolehkan melintasi ulang selendang Ruang. Habis, diulang, habis diulang. Terus berjalan, berjalan terus, sampai Tuhan mengutus Kiamat meniupkan terompet.
Sang Waktu mundur sedikit ke belakang. Ambil ancang-ancang bersiap menubruk jalan buntu di depannya yang tertutup tembok panjang, sepanjang pandangan mata. Kata entitas sebelum mereka, pintu Neraka berada di salah satu belokan tembok panjang itu. Tinggal mengikuti jalur tembok sampai bertemu jembatan tipis yang terbuat dari sehelai rambut dipecah tujuh, lurus terus, belok kiri, sampai bertemu pintu dari batu. Di balik pintu tersebut, Neraka tinggal—tepatnya dikurung—sendirian.
Di balik tembok, juluran kepala selendang Sang Ruang menunggu resah. Telah lama ia menanti tubuhnya kembali dijamahi Sang Waktu.
Sang Realita, yang berdiri tepat di belakang, melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuh bola Sang Waktu bergetar sesaat setelah menubruk tembok. Ia terangkan kesaksiannya itu kepada Sang Kematian.
“Dahsyat, seperti gempa saja.”
Sang Kematian mengerutkan kening, membalas, “Gempa waktu, dong.”
Di bawah kaki Sang Realita, dunia kita, tubrukan badan bola Sang Waktu dengan tembok, yang memisahkan bagian akhir Ruang dengan bagian awal Ruang, membuat waktu diputar ulang sepuluh tahun ke belakang. Mengulangi segala kejadian dan perbuatan manusia.
Nenek moyang kita melingkari peristiwa itu di kalender mereka. Gempa waktu terjadi setidaknya satu kali dalam 100 tahun. Mula-mula ditandai kemunculan hujan salju dan rumput di negara tandus. Di tempat bersalju, berlaku sebaliknya, es-es mencair meluapkan air, meninggikan permukaan laut. Rumah ibadah, entah menyembah Tuhan yang mana, semakin megah sekaligus sepi. Seorang utusan—atau yang mengaku sebagai utusan—berpidato tentang hari akhir, pengadilan yang menanti umat manusia setelah dibangkitkan, dan kehidupan baru setelah hari akhir. Sang utusan, seperti namanya, mengaku sebagai perwakilan Tuhan di bumi. Tugasnya membimbing umat manusia menghindari kesesatan. Demi menyakinkan manusia, sang utusan dititipkan mukjizat. Ia tahu apa-apa yang terjadi di masa depan, ia juga tahu sejarah segala sesuatu di masa belakang.