Petaka yang datang dari Manchester City, dua kali blunder fatal, dan kebuntuan trio Firmansah ( Firmino, Mane, Salah) merusak tidur penggemar Liverpool.
Berikut pertandingan membosankan itu: babak pertama bergulir dengan anak asuh Klopp bermain hati-hati. Sementara lini tengah City mulai merangsek pertahanan. Umpan terobosan Gundogan ke Mahrez mengekspos lambat kompaknya Curtis John dan Robertson, sedangkan crossing Liverpool dari duo Fullback selalu terbentur postur julang para bek.
Di babak kedua. Bukannya terpacu oleh erornya eksekusi penalti Gundogan. Allison seperti tak siap untuk bertarung. Lupakan jam terbang tinggi yang menyulapnya jadi sekukuh tembok. Kesampingkan dulu penghargaan kiper terbaik se-Eropa. Di menit 70-an Allison yang dapat backpass seperti grogi menghadapi pressing dari penyerang City. Opsinya mengumpan terbatas. Fabinho yang lantas menerima bola, membuangnya sembarangan hanya untuk disambar Zinchenko. Ketika itu lima pemain City mengepung. Berhadap-hadapan dengan Wijnaldum, Hendo yang membayang-bayangi, juga Fabinho sebagai palang akhir sebelum kiper.
Kesalahan Allison selanjutnya dihukum oleh Foden, yang masuk ke area penalti. Melayani Ilkay Gundogan yang mencetak gol kedua kali. City unggul 2-1 setelah sebelumnya, menceploskan gol lebih dulu.
Kombinasi Bernardo Silva dan Sterling dalam memanfaatkan blunder kedua Allison juga boom kaki kiri Foden suksek mengubur kans gelar EPL kedua Liverpool. Skor akhir 1-4 untuk menangnya City. Fans yang hanya menonton dari TV sejak Covid-19 boleh bertanya “ada apa gerangan sih Ipul?”, sebab istana Anfield mulai doyong. The Reds hanya menghasilkan sebiji gol sejak pergantian tahun. Lawan-lawan peringkat bawah, seperti Brighton, Burnley, dan West Brom leluasa merampok poin. Lenyapnya magis Liverpool kian mencolok saat trisula mautnya lagi-lagi habis inisiatif untuk bongkar lini defensif City.
He might have had cold feet komentar Klopp untuk Allison yang tampil butut. Klopp memang bijak untuk maklum atas kesalahan kiper. Tetapi starting line up yang jauh dari kata adaptif, tetap berperan atas kalahnya tim.
Liverpool menurunkan Hendo dan Fabinho sebagai bek tengah. Mereka yang sejatinya bermain sebagai Central dan Defendsive Midfielder mengemban tugas milik tiga pemain cedera yaitu; Joe Gomez, Van Dijk, dan Matip. Padahal Arnold butuh kenyamanan untuk naik setinggi mungkin di sektor sayap untuk selanjutnya mengirim umpan ke penyerang. Ketika pos bek ia tinggal, Henderson-lah yang bertugas mengover belakang. Skema tersebut tak berfungsi karena Klopp memilih mencadangkan dua pemain barunya, Ozan Kabak dan Ben Davies. Bek tengah yang diamankan di detik-detik akhir bursa transfer Januari.
Melawan skema ofensif Pep, Klopp secara naif malah memfungsikan Hendo dan Fabinho di belakang. Padahal aksi drible Fabinho di tengah tim butuhkan untuk membuka ruang secara vertikal, juga Hendo yang paham bermain maju, punya atribut holding ball sebelum mengirim umpan visioner ke lini serang.
Mestinya Klopp mulai memakai Ben Davies dan Kabak. Sebab menurut Opta (situs yang berisi statistik pemain sepak bola) persentase keduanya dalam melakukan umpan lambung per90 menit di musim lalu, bersama Preston North End dan Schalke terbilang tinggi. Sementara Kabak mengantungi angka 8, 8 Davies menyaingi perolehan angka bek tengah Liverpool yang cedera dengan 12, 1. Sedang berturut-turut Matip, Joe Gomez dan Van Dijk peroleh angka 8, 9,6, dan 9, 9 meski tingkat akurasi mereka lebih unggul.
Angka-angka tadi seharusnya bisa ditimbang oleh Klopp dalam memaksimalkan kinerja bek anyar ketimbang berjudi untuk menghapus peran asli kedua gelandangnya, sebab umpan lambung dari belakang sangat dibutuhkan tuk meloloskan diri dari pressing ketat pemain City yang bertumpuk di area bertahan Liverpool. Ibarat buang-buang bola sifatnya opsional dibanding merelakan timnya tertekan sampai-sampai Allison sial.
Blunder Allison mengingatkan sebagian orang akan aksi Karius di final Liga Champions 2017/2018. Ketika haters bermain meme dengan menempel muka Allison di kepala Karius, menyamakan keduanya yang sama apes. Tapi bagi saya, mengenang Karius untuk kesekian kali hanya menambah sesak. Mengingat laga final itu seperti menonton lagi kebodohan UEFA yang jelas-jelas menyilakan Ramos, seorang petarung Octagon UFC, menyabet gelar ketiga belas Madrid.
Selagi haters puas meledek Liverpool, penggemar sejatinya yang sekaligus temanku, menganalisis tontonan kacau itu. Ada Ari Kebul. yang sering bangun di jam tahajud. Strateginya untuk mengatasi kantuk yang menyelinap di menit-menit permainan Liverpool adalah tidur setelah isya, menyetel alarm, meski kadang ia baru bangun di babak kedua.
Pagi itu, sambil curhat ngenes di Whatsapp tak sengaja Ari Kebul menyingkap ketoledoran Juergen Klopp; Waktu lawan West Ham juga yang dimainin cuman Salah, tapi terbukti unggul duluan sebelum masukin Firmino, katanya.
Temanku lainnya. Udin Bako mulai bosan dengan pergantian pemain ala-ala Klopp: memasukan Milner plus Xhaqiri yang malah menurunkan mental tanding setelah pemain kunci ditarik. Dari awal musim tuh sebenernya udah pudar kejayaan trio ini tuh, sebut Udin mengomentari habis bensinnya trisula maut Liverpool, Firmino, Mane, dan Salah.
Secara implisit, apa yang disimpulkan oleh Ari Kebul dan Udin Bako sama-sama menginginkan pelatih Liverpool merombak susunan pemain. aku pun setuju mengingat The Reds turun bukan dengan skuad terbaik usai Van Dijk absen sampai akhir musim. Maklum, sebagai salah satu Deep Lying Playmaker sekaligus penyambut ulung umpan crossing. Bukan saja sanggup memberi stabilitas di lini belakang, Van Dijk dapat menjadi pemecah kebuntuan ketika lawan menggunakan garis pertahanan rendah untuk menangkal agresifitas.
Klopp harus berani bereksperimen dengan lebih sering memakai Xhaqiri dan Chamberlain. Memberi kesempatan Davies dan Kabak sehingga peran Fabinho dan Hendo kembali seperti semula. Dalam laga penting, tidak menutup kemungkinan Xhaqiri akan bermain kesetanan untuk membuktikan betapa dirinya layak berada di tim.
Liverpool akan bertemu lawan berat; Leicester pada lanjutan laga EPL dan RB Leipzig dalam fase knockout Liga Champions. Walau gelar EPL kian jauh untuk diraih. Revisi peringkat di klasemen, dan peluang lolos hingga semifinal UCL sanggup membuktikan bila Liverpool belum habis.
Februari 2021