Desember tahun lalu, pas dapat bonus akhir tahun pertama kalinya dari tempat kerja, aku nyisihin sebagian uang bonus itu buat beli buku. Waktu itu, aku gak lagi ulang tahun tapi terus-terusan berdoa biar panjang umur. Aku ketemu sama bukunya Hector Garcia dan Francesc Miralles dengan judul Ikigai dan di bawahnya tertulis “Rahasia Hidup Bahagia dan Panjang Umur Orang Jepang“. Selain karena ingin umur panjang, sejak di bangku SMA aku juga mulai punya ketertarikan yang besar dengan gaya hidup orang Jepang.
Usut punya usut, ternyata ikigai tuh istilah dalam Bahasa Jepang yang berarti ‘tujuan hidup’ atau ‘makna hidup’.
Rasanya, aku bukan orang yang tahan menghabiskan buku self-improvement atau self-growth pas hidup lagi terasa asyik. Aku lebih banyak baca buku-buku itu pas lagi merasa ngos-ngosan sama hari-hari. Sudah hampir setahun buku Ikigai ini dalam genggamanku, tapi aku baru bisa menyerap satu bab. Sekarang aku kembali membacanya lagi dari awal dan senang sekali karena aku lebih mudah mencerna isinya dibanding beberapa bulan yang lalu. Sampai aku ketemu bab yang rasanya aku pisan! (edan ieu mah).
Katanya mah, kesenangan dan kepuasan merupakan bukti bahwa kita tengah selaras dengan ikigai kita. Mari kita bahas 3 poin dalam buku Ikigai ini sambil wisata ke masa laluku!
1. Tujuan Samar
Aku merasa hal ini relate banget sama masa SD-ku. Entah karena dulu tanpa sadar telah mengalami perasaan broken home atau memang semua orang juga mempunyai ingatan yang minim pas masih seumuran anak SD(?) Dalam buku ini, katanya ketika ada di fase Tujuan Samar maka yang terjadi adalah kebingungan, waktu dan energi yang sia-sia. Bahkan bisa menyebabkan kebuntuan mental.
Kelas 2 SD, aku dan keluargaku pindah dari satu kota di Jawa Tengah ke Purwakarta. Sebelumnya, Papa sempat menginsiasi cita-cita di benakku buat jadi model atau semacamnya. Setiap hari aku sering dilatih berjalan ala-ala model dan diberi tontonan Miss Universe Indonesia. Aku senang, terasa seperti ada yang memantik energiku sampai membara. Namun hal itu mulai redup pas aku duduk di bangku kelas 3 SD. Aku rasa beberapa anak yang mengalami broken home pernah merasa bahwa dirinya akan menjadi anak yang berbeda dari anak-anak yang lain.
Setelahnya, seingatku, aku cuma seorang anak SD yang cengeng. Prestasiku nyaris selalu terbelakang dan perasaan itu berlanjut sampai aku kelas 6 SD. Aku ingat sekali rasa minder waktu ada yang berani mencemooh nilaiku di kelas. Waktu itu teman-teman dan guruku seperti menganggap candaan. Aku diam dan pembicaraan mulai berlalu, akhirnya aku diam-diam lari ke kamar mandi buat nangis.
Ingatanku tentang masa-masa SD rasanya penuh minder. Aku hampir gak ingat seluruh materi yang sudah dibahas di bangku itu. Sedikit kesenangan yang aku ingat adalah hal-hal seperti belajar pencak silat dengan A Ade Idris, nari ondel-ondel pas acara samen, main sondah pada hari-hari setelah UN. Bahkan aku sempat ikut perkemahan pramuka tapi nyaris gak ada kesenangan yang aku ingat di sana. Benar, ketika tujuan samar maka terasa bingung. Waktu dan energi pun terasa seperti terbuang sia-sia.
Walau nilai UAS dan UN-ku katanya buruk. Aku masih bertanya-tanya kenapa nilai yang tertera di Ijazah malah bagus-bagus wkwk (peace). Alhamdulillah, aku pun lulus masuk SMP Negeri. Pada saat itu, masuk Sekolah Negeri masih sulit dipastikan tolak ukurnya, baik dari nilai maupun zona. Bahkan pas zaman kakakku, beberapa siswa yang gak lulus masuk Sekolah Negeri itu konon katanya sih gara-gara gak punya ijazah MDTA. Haha, pendidikan pernah jadi sekonyol itu di pikiranku.
2. Jelas dan Fokus pada Proses
Hari pertama MOS SMP, aku sudah bolos. Ngga kétang, bercanda. Aku dulu sering biduran dari ujung kaki sampai kepala, bahkan muka dan tenggorokan juga terasa gatal dan bentol-bentol. Pas hari pertama masuk sekolah, sakitnya lagi kambuh. Gak penting sih cuma mau masukin cerita itu aja:’
Nah, tentu ini masa yang menyenangkan. Aku selalu mendamba-dambakan buat merasakan lagi energi yang pernah ada pas di bangku SMP. Dalam buku Ikigai ini katanya ketika tujuan ditetapkan, jelas dan fokus pada proses maka semuanya mengalir dan kalau kata aku mah, akan terus mengalir selam poin kedua ini berkibar.
Jadi waktu di SMP aku mulai kenal sama darah seni dan aku jadi pemberani. Waktu itu pemantik nya adalah guru seni yang baru 2-3 kali pertemuan, sayangnya blio malah pindah dan ekstra kesenian di sekolahku sempat off. Menurutku, tentu gak semua guru mau mengajar di luar jam sekolah (ekstrakurikuler). Waktu itu, hanya ekstrakurikuler Karawitan yang aku ikuti, hasilnya selama off ya aku tidak ada kegiatan. Walau pun Karawitan pada umumnya berupa seni gamelan dan seni suara saja, tapi di sekolahku dulu Karawitan berisi seluruh kesenian sunda termasuk tari, tata rias, teater. Pokoknya semua Kesenian Sunda masuk ke dalam ekskul Karawitan di sana. Sebetulnya aku gak ingat awal mula mengambil ekstra tersebut, yang aku ingat pertama kali jemariku bergerak kaku saat menari dan aku mulai memiliki tujuan untuk menemukan ekspresi kebebasanku.
Memasuki semester 2, banyak mahasiswa/i dari ISBI Bandung yang datang ke sekolahku untuk memenuhi tugas akhirnya. Tentu teman-teman bisa menebak kalau mereka adalah pemantik selanjutnya. Kakak-kakak mahasiswa itu melatih kami untuk kegiatan Agustusan. Kami diseleksi untuk mengikuti kegiatan tersebut dan dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama akan memegang alat musik kohkol dan dibunyikan serentak. Lalu bagian kedua akan menari sambil diiringi suara kohkol.
Tentu saja, masuk kubu “penakol kohkol” menjadi hal yang kurang diminati bagi beberapa orang termasuk aku. Kubu penari, lebih sedikit dari pada kubu kohkol. Setiap hari perasaanku semakin tak karuan, aku semakin sering melatih jari-jari tanganku dan terus menggerakkannya. Energiku kuat sekali sampai kelihatan dari pertanyaan yang berulang kali aku tanya ke Ibu waktu di rumah,
“Jari-jari aku udah lentik belum, Bu?”
Kedua orang tuaku bukan tipe yang suka menekan anak-anaknya untuk berprestasi. Namun, ini pertama kalinya aku tahu tujuanku. Ibu dan Papa mendukung sepenuh hati. Semuanya mengalir dan aku sangat menikmati prosesnya.
Menginjak bangku kelas 2 SMP energiku mulai menjalar ke alat musik. Sama halnya seperti menari, aku tidak ingat betul apa yang membuat aku memutuskan untuk memilih tujuan itu. Di rumah ada gitar, pianika, recorder, dan harmonika. Di sekolah bahkan lebih komplit lagi dengan alat musik gamelan. Alih-alih memanfaatkan yang ada, aku malah minta dibelikan biola. Aku juga sempat ikut les privat di sanggar seni. Perasaanku senang sekali menikmati prosesnya waktu itu.
Di bangku SMP ini juga, pertama kalinya aku punya pacar. Bukan pacar yang ditembak jedor langsung bilang “iya” sih. Tepatnya, HTS yang pas ada kata udahan malah dibalas kalimat gak asyik semacam kan kita gak pernah ada hubungan apa-apa. Ya, itulah pacaran pertama kalinya dan akhirnya aku diputusin pula. Ya nangislah sekitar 2 minggu. Pokoknya merasa menjadi wanita ter-syedih. Tapi aku semakin melampiaskan hari-hariku di sanggar seni.
Aku merasakan sekali perbedaan pada diriku saat SD. Pernah beberapa kali aku meminta validasi dari teman-teman SD-ku bahwa dulu aku cengeng, pendiam, dan gak masuk geng mana pun.Tapi gak ada satu pun yang membenarkan hal itu dan,
“Ah itu mah perasaan kamu aja meureun” gubris satu temanku.
Padahal aku ingat betul kedekatan kita lebih terasa pas sudah masuk SMP, terutama teman-teman yang melanjutkan ke sekolah yang sama.
3. Keinginan Obsesif untuk Mencapai Sasaran
Menentukan sasaran memang susah-susah gampang. Masuk ke jenjang SMA, aku mengikuti 3 ekstrakurikuler sekaligus ditambah satu organisasi di luar sekolah. Cuma gak tahu kenapa, dulu ogah banget ikut OSIS. Bahkan gak mau ikut seleksinya aja dengan alasan karena takut terpilih menjadi anggota OSIS. Astaga PD banget! Aku rasa, dari setiap kegiatan yang aku ikuti, aku punya tujuan masing-masing. Aku sangat tidak esensial waktu itu, begitu yakin dan terobsesi untuk mencapai tiap sasaran. Aku abai pada setiap proses yang dijalani.
Di bangku SMA ini, proses kegiatan belajarku mulai membaik dibanding SD-SMP. Beberapa mata pelajaran melihat kegiatan ekstraku menjadi nilai plus walau pun sebagian kecil masih ada yang memandang nilai minus. Aku juga mulai aktif di kelas karena aku sadar bakal sulit mendapatkan nilai yang aman jika hanya mengandalkan dari mengisi soal akhir atau tugas harian. Kelas 2 SMA, aku mulai punya cita-cita masuk Teknik Informatika Unpad (anjayz). Banyak sekali yang aku kejar tapi gak ada yang tercapai sesuai sasaranku. Malah dapat hikmahnya kata saya mah.
Sebelum aku menduduki bangku kelas 3 SMA, aku melepas ekstra kesenian. Alasan pertamaku karena lingkungannya yang sudah tidak satu frekuensi, sebenarnya mah agak pundung gara-gara gak kepilih tampil di event-event téa. Alasan kedua karena aku pikir ekstrakurikuler seni ini malah berpengaruh buruk pada nilai PAI.
Sedikit cerita soal nilai PAI, pertama kalinya namaku terpampang di mading sekolah masuk kategori siswa yang harus mengikuti remedial UAS. Pacarku waktu itu masuk Organisasi OSIS/MPK. Aku ingat sekali, katanya lembar ujianku diperiksa olehnya. Nilaiku gak sampai di bawah KKM sih cuma kayaknya lebih kecil dari siswa lain di kelasku. Huaa malu sekali:(
Aku mulai merasa minder lagi, aku juga mulai kewalahan dengan kegiatan-kegiatanku. Bahkan pertama kalinya aku menangis dan bilang “Capeee … Aku capeee …” tapi besoknya tetap lanjut berkegiatan dengan obsesi kalau aku bakal mencapai tujuan yang telah aku pegang dari setiap kegiatan.
Buku Ikigai bilang kalau punya sasaran yang jelas itu penting untuk meraih flow, tetapi juga harus tahu cara meninggalkannya. Maksudnya gini, saat perjalanan dimulai, kita harus mengingat tujuan tanpa terobsesi dengannya. Menurutku, ini mirip seperti orang-orang yang beribadah mengharapkan surga. Beberapa orang mungkin terlihat lebih mementingkan perjalanan spiritual mereka daripada hasil akhir, sementara yang lain terus memikirkan imbalan akhirat. Walau jika dalam beragama, Itu adalah hal yang sangat pribadi, dan tidak ada yang tahu pendekatan yang benar atau salah dalam beribadah.
Flow itu menumbuhkan semangat baru, rasa hidup, dan kedamaian yang merasuki diri kita. Seperti halnya orang Islam ketika takbiratul ihram dalam salatnya, sambil terus memikirkan “surga, surga, surga” maka apa yang terjadi? Tentu ketika melafalkan Al-Fatihah pun tidak akan terasa prosesnya. Ketika mengucap Alhamdulillah saja, hati tidak menyadari bahwa segala puji bagi Allah. Maka penting untuk merasakan sepenuhnya keberadaan di momen yang ada atau sedang terjadi.
Permasalahannya sekarang, aku sedang merasakan tujuan yang samar sekaligus obsesiku yang menggebu-gebu. Dua persoalan yang muncul bersamaan macam ini gak dibahas di buku itu. Sekarang aku mulai membenahi dan melepaskan perasaanku dulu. Aku memutuskan untuk tidak mengejar apa pun untuk beberapa hari ke depan. Aku lebih sering duduk di teras kosan sepulang kuliah, sambil mendengarkan suara relaksasi air sungai (yang padahal keran Khalsa) dan menyisir buku-buku bacaanku secara ringan tanpa rasa terbebani. Hm, lega sekali rasanya menerima diri kita dan melepaskan perasaan yang terasa mengekang.
Gak tahu deh kalau yang nyebelin itu terlalu cepat dewasa atau terlambat jadi anak-anak. Semogaku, kalian selalu dikelilingi orang-orang baik (seperti editor Nyimpang) dan tetap menjadi baik, karena itu nyenengin!