Saya akan membuka tulisan ini langsung pada kesimpulan: bukan Acep atau Aep yang memenangi Pilkada Karawang 2024.
Pilkada Karawang 2024, setelah Cellica Nurrachadiana (mantan Bupati Karawang 2 periode, mantan Plt Bupati Karawang, mantan Wakil Bupati Karawang) dilarang aturan untuk tampil sebagai kontestan, mengingatkan saya pada suasana Pilkada Karawang 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004, masyarakat Karawang memilih langsung pasangan bupati dan wakil tanpa diwakili legislatif.
Achmad Dadang memang tampil sebagai petahana di Pilkada 2005, sekaligus bukan sebagai “petahana”. Medan tempurnya beda jauh dibandingkan tahun 2000 di mana ia duduk sebagai bupati usai mengantongi suara terbanyak dari anggota DPRD. Apabila suara rakyat adalah suara Tuhan, maka vox populi vox dei tahun 2005 merupakan suara Tuhan yang sulit ditebak. Ia bisa dihitung, namun sulit diprediksi. Ada begitu banyak variabel—yang perlu dikendalikan—untuk keluar sebagai pemenang Pilkada 2005. Dalam hal ini, kontestan lain, Dadang S. Muchtar-Eli Amalia, Detiawarman-Adji Mubarok, Ade Swara-Endang Rachmat, punya kans sama.
Dan benar saja, Dadang S. Muchtar keluar sebagai juara. Ia sekaligus membuktikan, modal popularitas dari seorang petahana saja tidak cukup. Perlu elemen elektabilitas.
Pilkada selanjutnya, 2010, Eli yang jadi wakil Dadang, memilih maju sebagai calon bupati. Ia menggandeng Endang Abdullah. Dadang—yang terganjal aturan dilarang menjabat 3 periode (FYI, Dadang pernah duduk sebagai Bupati Karawang di 1996)—digandeng akademisi Sony Hersona sebagai calon wakil bupati. Ketika itu, ramai desakan publik pendukung Dadang agar negara mengubah aturan tiga periode. Namun desakan itu tidak berbuah judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Ada juga Ade Swara, mantan calon bupati pada Pilkada sebelumnya, yang memutuskan maju kembali. Kali ini ia didampingi Cellica Nurrachadiana, politisi muda yang sedang naik daun, yang kala itu duduk sebagai anggota DPRD provinsi dari Demokrat.
Pasangan Ade-Cellica berhasil tampil sebagai calon alternatif di tengah pisah jalan pasangan petahana Dadang dan Eli. Ade Swara keluar sebagai pemenang. Ia sekaligus membuktikan, modal popularitas, dan elektabilitas saja tidak cukup. Perlu modal ketiga. Yaitu: logistik (aktivis seringkali memelesetkannya jadi: isi tas).
Sisanya adalah sejarah. Seperti yang kita tahu, di tengah menjabat, Ade Swara kena operasi tangkap tangan KPK. Cellica dilantik sebagai pelaksana tugas bupati. Pilkada selanjutnya, belajar dari rumus popularitas-elektabilitas-logistik dan posisinya sebagai petahana, Cellica dua kali keluar sebagai pemenang kontes. Bahkan di dua Pilkada itu, Cellica menang telak dengan skor dipilih oleh lebih dari 50 persen pemilih.
Cellica yang tadinya sebatas kuda hitam di Pilkada 2010, menjelma politikus ulung. Memanfaatkan posisinya sebagai petahana, ia keluar-masuk arena seremoni (sampai aktivis menjulukinya sebagai bupati seremoni), dari satu acara ke acara lain, untuk gunting pita dan memberikan sambutan. Pidatonya makin hari makin membaik. Gestur dan cara bicaranya saat berdiri di depan publik, makin lama, makin mirip Pak SBY: elegan, bertenaga, dan tentu saja bersayap. Publik menyukainya. Elektabilitasnya naik, sejajar dengan popularitasnya.
Ada satu kualitas dalam diri Cellica yang belum bisa dimiliki politisi lain di Karawang. Yaitu: diam. Seperti Pak SBY, Cellica tidak pernah menanggapi isu yang menyerang dirinya secara personal, apalagi mempertunjukkan kemarahan di depan publik. Ia penganut Tsun Zu: Bergerak dengan cepat seperti angin, menyerang seperti api, diam seperti gunung.
Sikap diamnya Cellica menanggapi isu perceraian, dan isu agama tentang memilih pemimpin perempuan. Disukai publik, sekaligus membingungkan lawan politiknya. Hal ini berbeda dengan petahana Aep Syaepuloh yang saat ini menjabat sebagai bupati menggantikan Cellica yang maju sebagai kontestan Pileg DPR RI, jika ditarik garis lurus, sebagai sesama petahana di zamannya, manuver politik Aep belum setokcer Cellica.
Di atas kertas, mestinya, Aep Syaepuloh berpeluang besar memenangi Pilkada 2024. Apalagi kata Tsun Zu, batas antara kacau dan teratur bergantung kepada logistik. Dengan modal logistik (FYI, Aep masuk dalam top 20 pejabat terkaya se-Indonesia versi LHKPN 2023, dengan harta mencapai Rp 400 miliar) harusnya Aep menguasai papan catur.
Manuvernya mudah dibaca saat ia, misalnya, diusung Nasdem dan Gerindra sebagai calon bupati Pilkada 2024. Tanpa melibatkan PKS. Padahal sejak awal, ia disodorkan PKS sebagai “pengantin” Cellica di Pilkada 2020. Belakangan, Nasdem ikut mengusung. PKS adalah mitra setia pasangan Cellica-Aep. Mereka nyaris tidak pernah melayangkan kritik. Bahkan ketika penanganan Covid-19 tidak maksimal, dan hampir semua partai melayangkan kritik ke pemerintah melalui hak interpelasi di DPRD.
Tidak dilibatkannya PKS, mengisyaratkan dua hal: Aep ingin Pilkada digelar dengan tiga kontestan. Untuk mencapai hal tersebut, koalisi harus dipecah. Tapi sebelum itu, ia mesti mengantongi cukup suara (minimal 10 kursi di DPRD) untuk maju sebagai kontestan. Saga Pilkada sebenarnya sudah dimulai sejak Pileg. Raihan kursi Nasdem melonjak jadi 7 (sebelumnya 2 kursi), sesuai pernyataan Saan Mustofa tahun 2021 di hadapan media. Gerindra yang punya 8 kursi ditarik ke koalisi untuk mencegah Gina Swara, si kuda hitam, maju sebagai kontestan. PKS yang punya 7 kursi untuk sementara disingkirkan dari koalisi agar kontestan lain punya cukup kursi untuk maju.
Belakangan, rencana ini berantakan (baca: sudah diprediksi politisi lain). PKS secara tiba-tiba masuk kembali sebagai pendukung Aep bersama Gerindra dan Nasdem. Gerindra pun bergejolak. Sikap ketua dan sekretaris partai, di hadapan media, menunjukkan ketidakakuran. Gerindra jadi abu-abu, antara tetap mengusung Aep, atau menunjuk salah satu kader terbaiknya, Gina Swara, sebagai calon bupati.
Bandingkan dengan langkah diam Cellica saat Pilkada 2015 lalu. Pasangannya baru ketahuan saat jam-jam akhir batas pendaftaran pasangan calon bupati dan wakil bupati ke KPU. Dalam diamnya itu, Cellica menimbang dan menguji manuver politisi lain.
Sementara di sisi lain, ada nama Acep Jamhuri. Sekretaris Daerah Karawang.
Meski ia seorang PNS tulen lulusan IPDN, Acep dikenal sebagai pejabat hibrid. Jabatannya memang birokrat, namun ia terbiasa melakukan manuver sebagaimana politisi. Ketimbang mengurai masalah secara birokratis sesuai jabatannya, ia lebih dikenal sebagai pejabat yang kerap berselancar memainkan opini publik. Namanya dua kali muncul sebagai calon bupati alternatif. Dan berkali-kali itu pula ia tetap tegak lurus setia pada Cellica, pimpinannya. Pilkada tahun ini, Cellica tidak jadi kontestan. Ditambah, jabatan Acep sebagai Sekda sebentar lagi usai. Ini momentum sekali seumur hidup Acep yang tentu tidak akan ia lewatkan begitu saja. Kalau tidak maju sekarang, dengan posisinya sebagai “petahana” Sekda, belum tentu publik akan mengingatnya sebagai pejabat, nanti di Pilkada selanjutnya.
Bertolak belakang dengan Aep yang seringkali gagal menghadapi kritik, Acep adalah pejabat tahan banting. Wajar saja, Aep lahir dari keluarga pengusaha, besar sebagai pengusaha, belakangan masuk politik. Di sisi lain, Acep dibesarkan oleh prahara. Saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata, Acep diserang isu korupsi Kampung Budaya. Isu tersebut bahkan sudah jadi kasus yang diselidiki di tingkat Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Acep juga berkali-kali dipasang Cellica sebagai mediator tiap kali masyarakat melancarkan demonstrasi ke gedung Pemda. Bahkan tanpa melibatkan bupati dan wakilnya, Acep seringkali terlihat sendirian menerima massa aksi.
Terakhir, Acep berhasil merelokasi ratusan pedagang di Pasar Rengasdengklok ke Pasar Proklamasi. Meski kemudian banyak masalah, ia merampungkan relokasi maha rumit yang melibatkan urusan ribuan orang.
Ditunjuknya ia sebagai Ketua Tim Satgas Relokasi oleh Cellica mengisyaratkan satu hal: Acep dipercaya sebagai PNS yang tidak hanya berpengaruh di lingkaran elit PNS, namun juga di masyarakat. Dan pengaruh ini tidak muncul hanya dalam satu malam. Pengaruh tersebut adalah buah dari kemampuan Acep membangun jejaring dari level atas sampai bawah.
Partai Demokrat dengan 8 kursi, dan Golkar dengan 6 kursi, tertarik mengusung Acep di Pilkada Karawang 2024.
Acep dan Aep sama-sama punya modal popularitas. Yang satu sebagai bupati, yang satu sebagai Sekda. Keduanya juga punya modal elektabilitas di akar rumput masing-masing. Satu pembeda dari keduanya adalah modal logistik. Kalau soal ini, Aep juaranya.
Makanya, muncul nama Gina Swara, sebagai kuda hitam. Putri dari sang juara Pilkada 2010, mantan Bupati Karawang Ade Swara. Darah pengusaha dan politisi dari orang tuanya mengalir di nadinya. Gina adalah faktor penentu kemenangan. Apabila dipasangkan dengan Acep, Gina bisa mendongkrak modal finansial Acep. Apabila dipasangkan dengan Aep, pasangan Aep-Gina dapat menumbangkan Acep siapa pun pasangannya nanti.
Kalau urusan ketahanan dan kemampuan politik, Gina Swara adalah satu-satunya politisi asal Karawang yang dekat dengan kualitas Cellica Nurrachadiana.
Gina mewarisi sikap tidak kenal menyerah dari ayahnya. Meski tumbang di Pilkada 2005, Ade Swara tetap ngeyel nyalon lagi di Pilkada selanjutnya.
Keluarga Swara pernah ditumpas KPK. Ayah dan ibunya pernah ditahan di Sukamiskin. Tapi toh ia keluar sebagai peraih suara terbanyak di Pileg DPRD Provinsi Jawa Barat 2019, dan duduk di urutan kedua peraih suara terbanyak di Pileg DPRD Provinsi Jawa Barat 2024. Isu korupsi sama sekali tidak menggoyahkan elektabilitasnya.
Andai maju sendiri pun, Gina masih berpeluang mengantongi tiket. Sampai saat ini, andaikan peta politik tidak berubah, Aep dan Acep dengan mudah lolos syarat ambang batas dukungan. Aep masih mengantongi tiket dari PKS dan Nasdem (total 14 kursi), Acep mengantongi kursi dari Golkar dan Demokrat (total 14 kursi). Sedangkan Gina, dengan rekomendasi Gerindra, mengantongi 8 kursi. Masih berpeluang menarik dukungan dari PDIP (6 kursi), PKB (6 kursi), dan PAN (2 kursi).
Tapi di atas itu semua, Aep, Acep, dan Gina akan tumbang kalau Monkey D. Dragon ikut kontestasi Pilkada Karawang 2024. Pengalamannya sebagai oposisi abadi Tenryuubito dan koalisi World Goverment selama puluhan tahun, menempa karakter kepemimpinannya. Posisinya sebagai buronan nomor satu World Goverment, sebagai orang yang paling dicari di seluruh lautan, adalah modal popularitas yang tidak bisa diremehkan. Kiprahnya selama berkarir sebagai pemimpin Pasukan Revolusioner telah membebaskan banyak negara dari penindasan. Itu bisa dijadikan modal elektabilitas.
Soal isi tas? Jangan ditanya. Sebagai orang paling dicari di lautan, paling tidak nilai kepalanya di atas 5 Miliar belly. Jika dikonversi ke rupiah (dengan asumsi 1 belly sama dengan 1,09 yen Jepang), angka itu mencapai Rp 530.170.856.490 (530 miliar rupiah, jauh melampaui kekayaan Haji Aep).