“Mendengar cerita kalian, aku jadi nyesel deh.. kenapa dulu gak pernah ikutan bolos.”
Kalimat bernada penyesalan tersebut benar-benar diucapkan oleh kawan SMA saya yang lulus tahun 1998. Dia ngomong begitu dalam sebuah acara jagongan a.k.a. reuni endhek-endhekan beberapa waktu yang lalu. Saya sebut endhek-endhekan karena acaranya memang nyuantai pol, dan yang hadir tak lebih dari 10 anak, eh orang ding.
Yang membuat saya geli adalah bagaimana bisa ada seorang eks siswa yang menyesal dan merasa rugi karena tidak melakukan hal yang ‘buruk’ di masa lalu? Iya, bolos itu buruk kan? Saya yakin jika sampeyan sempat melakukan survei persepsi tentang bolos sekolah, pasti mayoritas akan sepakat bahwa bolos itu tidak baik, dan lumrahnya orang akan menyesal jika tidak sempat melakukan sesuatu yang baik, menjadi ranking 1 misalnya.
Lalu bagaimana ceritanya sampai ada seorang Bapak yang menyesal karena ndak pernah bolos sekolah sepanjang karir kesiswaannya? Mungkin cerita saya berikut ini akan bisa membantu sampeyan untuk menemukan alasan penyesalan si Bapak tersebut. Sebuah testimoni dari seorang alumni (ehm.. saya) yang pernah mencatatkan rekor bolos 27 hari dalam satu semester.
Begini, sejak masih berstatus siswa saya punya keyakinan bahwa bolos itu tak selamanya indah, eh maksud saya tak selamanya buruk. Dan ternyata banyak siswa di kelas saya yang berkeyakinan sama, mungkin derajatnya sama dengan keyakinan kami terhadap Pancasila dan UUD 1945, halah.. Dan ketika ada sekumpulan orang muda yang punya keyakinan, adakah sesuatu yang bisa mencegahnya?
Singkat cerita terbentuklah sebuah kelompok secara natural. Bukan kelompok siswa yang sregep mendiskusikan pelajaran, melainkan rajin berkelana ke segala penjuru Malang Raya di jam-jam sekolah.
Dari sekian banyak pengembaraan di luar sekolah tersebut saya bisa mengambil kesimpulan bahwa keyakinan kami ada benarnya juga. Keyakinan bahwa bolos tak selamanya buruk tadi, bahwa absen tanpa keterangan juga ada manfaatnya.
Bolos Sebagai Sarana Healing yang Murah-Meriah
Yang pertama tentu saja sebagai sarana healing pikiran. Tenan lho bos.. jangan bayangkan siswa tahun 90an seperti kami ini punya banyak pilihan untuk menghibur pikiran. Di tahun-tahun tersebut game masih sebatas nintendo dan sejenisnya, internet juga masih ada di alam pikiran penemunya. Rekreasi? Wah, itu masih jadi barang langka bagi sebagian besar siswa.
Maka sekedar jagongan ngobrol ngalor-ngidul bersama kawan seperjuangan bisa menjadi solusi murah meriah untuk healing, melupakan sejenak beban matematika, fisika ataupun kimia. Sayangnya acara jagongan ini kan tidak mungkin dilakukan di sekolah. Bisa-bisa kami malah dikira subversif, kan gawat (jaman OrBa hare). Tidak ada pilihan lain, acara kongkow ini harus dilakukan di luar sekolah, demi kesehatan pikiran kami.
Melatih Kekuatan Mental
Yang kedua, ternyata mangkir sekolah bisa memperkuat mental. Ha mbok sumpah tenan ini. Ketika bolos, adrenalin kita akan cenderung meninggi. Begitu juga dengan detak jantung, yakin terpacu lebih kencang dari biasanya. Hal ini saya alami sendiri kok. Suatu ketika saya hendak healing dari pelajaran kimia, menyusul kawan-kawan yang sudah mendahului saya (aih bahasanya..) Ketika itu saya lompat dari pagar belakang sekolah. Tahukah sampeyan, siapa yang menyambut saya di bawah? Asu saudara.. iya, seekor anjing yang nyengir pamer taring. Saya yakin hal-hal yang beginian tidak akan mampu dilalui oleh siswa yang ndak kuat mental.
Kekuatan mental ini juga mutlak diperlukan dalam kehidupan pasca-bolos. Sehari atau dua hari setelah bolos, siswa pasti diinterogasi oleh bagian kesiswaan. Atau setidaknya oleh Wali Kelas. Menghadapi interogasi tersebut akan sangat sulit bagi mereka yang lemah mental. Melihat pintu BK saja dengkul sudah lemas, apalagi menatap wajah guru tatib, bisa tremor dia. Namun hal ini tidak akan terjadi pada kami yang sudah bola-bali ditimbali, hihi.. Kami anak setrong kok.
Mengasah Kreativitas
Berikutnya, nylintut dari sekolah bisa mengasah kreativitas siswa. Saya mau tanya, sekolah mana sih yang tidak ingin siswanya kreatif? Lha wong sekarang dimensi kreatif dimasukkan secara resmi di Kurikulum Merdeka kok. Nah kreatifitas ini bisa dipupuk melalui kegiatan ekstra sekolah (tanpa dasar hukum) yang disebut bolos tadi. Tidak percaya?
Sekedar contoh nih ya.. Ketika itu tarif angkutan bagi siswa lebih murah daripada untuk orang dewasa. Hal ini membuat sopir angkot maupun bis agak enggan mengangkut siswa sekolah, apalagi kalau rombongan. Nah, ketika kami punya acara bolos ke puncak di Batu (you know where), jelas tidak mungkin ditempuh tanpa naik bis. So we have to be creative. Berangkat naik bis mesti pakai kaos biasa. Begitu sudah di dalam bis, barulah kami pakai seragam kembali. Otomatis tarif bis menjadi lebih murah.
Mermepererat Persahabatan
Masih ada lagi faedah dari bolos sekolah. Kegiatan ini bisa mempererat pertemanan. Sok atuh lah sampeyan perhatikan, mereka yang langgeng ikatan persahabatannya pasti pernah diwarnai dengan acara bolos berjamaah ketika sekolah. Sebab mereka yang pernah bolos rame-rame pasti telah mengalami hal-hal baik maupun buruk bersama-sama.
Ketika ada hal baik akan dinikmati bersama, begitu juga jika hal buruk yang terjadi, ya ditanggung bersama. Misalnya ketika ada satu diantara rombongan pembolos yang kehabisan uang, kita akan urunan. Jika ada salah satu yang mengalami kesialan, misalnya njlungup, ya akan kita tertawakan dulu sebelum diberi pertolongan. Hal-hal yang semacam ini, entah kenapa malah mempertebal rasa kesetiakawanan. Dan itu akan terus terawat hingga kita dewasa dan menua.
Sebenarnya masih ada beberapa faedah lain dari bolos sekolah, namun saya kira 4 hal tadi sudah cukup untuk menjelaskan kenapa ada seorang teman yang sampai menyesal tidak pernah mangkir semasa sekolahnya dulu. Sebab dia tidak pernah merasakan manfaat dari bolos sekolah, pun segala keseruan-keseruannya.
Akhirnya saya hanya ingin berpesan untuk kalian para siswa generasi muda: boloslah sesekali, agar tak menyesal di kelak kemudian hari. Cukup sesekali saja. Jangan lebih dari duapuluhtujuh kali, sebab bisa pecah rekor saya nanti.