Perjalanan mencari rumah sakit akhirnya berakhir karena dapat RS Swasta di Cikarang berdasarkan referensi kerabat dokter. Bayangkan, jika saja referensi kerabat dokter itu gak ada, saya gak tau apa yang terjadi selanjutnya.
Intinya, saya tentu saja harus bersyukur (kepada siapa atau apapun itu) karena Ayah saya bisa diselamatkan, dan didaftarkan ke RS. Setidaknya, Ayah saya dapat penanganan. Bisa bayangkan mereka yang sudah pakai BPJS, iuran tiap bulan, tapi telat penanganan karena menunggu antrian tindakan yang sampai berbulan-bulan? Menahan sakit yang sampai berbulan-bulan karena gak ada referensi? Seriously?
Faktanya, banyak korban yang meninggal karena antrian tindakan yang memanjang sampai 3 bulan lamanya, kok. Dan dengan senang hati saya akan menyalahkan pemerintah ketimbang bilang “itu sudah t4kd1r Tuh4n.”, karena saya rasa Tuhan tidak pernah menakdirkan rakyat mati di tangan pemerintahnya.
Dan seperti yang sering saya dengar, pelayanan BPJS tentu berbeda dengan pelayanan pasien non-BPJS. Saya kaget setengah mampus waktu Ayah saya baru ketauan paru-parunya banjir setelah selama ini dokter bilang jantungnya bermasalah.
Saya pernah minta Ayah saya diobservasi lebih lanjut ke dokter spesialis jantung di RS Swasta di Karawang itu, tapi dokter bilang apa?
“Ya kita berusaha pakai obat dulu aja ya Bu sampai ketauan sesaknya karena apa.”
For Godsake, Ayah saya tidak pernah diobservasi selain memakai stetoskop, loh. Dan bagaimana mungkin ketauan sesaknya karena apa kalau gak dicari tahu? Saya jadi bertanya-tanya soal kemungkinan yang paling masuk akal;
- Bukti bahwa dokter itu malas dan tidak kompeten
- RS tidak akan melakukan observasi lanjutan kepada pasien BPJS karena klaim dari BPJS akan lama, atau;
- Tenaga Kesehatan berpikir orang non-medis non-pemerintah adalah orang bodoh, keledai gak berotak yang gampang dibohongin dan hanya menunggu waktunya mati aja?
Ada juga kejanggalan lain saat saya beradu mulut dengan dokter jantung di RS Swasta Cikarang itu. Kebiasaan saya memang nyolot dan bertanya detail, tapi dokter tersebut sama sekali gak menjawab pertanyaan saya dan malah menyerang saya karena saya gak pakai masker (posisi saya lagi cuci muka dan harus menunggu meresap), tiba-tiba dia datang. Sebelum saya sampaikan pertanyaan saya, dia gak menyerang saya karena “masker”. Yang lucu, dokter spesialis jantung perempuan berjilbab di RS Swasta Cikarang itu kelewat terlalu memperlihatkan kemalasannya atau ketidakmampuannya menjelaskan kondisi Ayah saya kepada saya. Biar kutebak, apakah dulu waktu kuliah dokter menjoki?!
Ya sudahlah. Hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, apapun profesimu, arogansimu akan selalu menunjukkan bahwa kamu adalah sampah. Yang saya juga mungkin kadang arogan dan saya akui kadang saya sampah.
Farid bilang, lahir di Indonesia aja itu udah salah. Ya memang betul. Lihat betapa bobrok negara memperlakukanmu. Orang-orang so iye yang mati-matian mendiskriminasimu tapi minta maaf ketika keburukannya terlanjur viral di mana-mana, kasus pembunuhan oleh jenderal yang gak kunjung selesai, pembunuhan perlahan melalui perampasan tanah dan lahan, kenaikan harga komoditas, iuran ‘jaminan kesehatan’ yang sama sekali gak menjamin kesehatanmu, patriarki, kekerasan seksual, kapital, dan lain segala macam.
Saya dengar klaim BPJS ke rumah sakit memang lama cairnya, gak seperti asuransi-asuransi swasta. Makanya kadang RS ogah-ogahan nerima pasien BPJS. Ya gimana, ya? RS juga saya yakin butuh dana untuk operasional tapi masa iya sih diskriminasi sebegitu jelas di depan orang sekarat? Padahal, RS industri yang paling dekat dan sudah biasa dengan kematian. Para Nakes (tenaga kesehatan) saya rasa sudah hapal kalau mati itu gak liat pasien BPJS atau bukan. Maksudnya, semua orang layak diselamatkan, bukan?
Rakyat tentu gak mau tahu soal klaim BPJS yang lama, lagipula ada sistem subsidi silang atau saya yakin lah ada banyak hal yang bisa dilakukan. Come on. Pemerintah saya ‘kira’ lebih solutif dari rakyat.
Intinya? Lindungi dirimu, keluargamu, pasanganmu, kolektifmu, karena pemerintah sudah pasti gak akan mampu melindungimu.