Tulisan ini saya buat berdasarkan fakta, dan tentu saja subjektif karena saya content creator, bukan pers.
I. Bikin BPJS
Ayah saya di diagnosa gagal jantung. Tiap hari sesak, ngomong aja susah, sampai tidur aja gak bisa telentang. Agustus tahun ini, barulah ketahuan ternyata paru-parunya juga bermasalah. Singkatnya, paru-paru Ayah saya banjir, kurang lebih seliter air. Ternyata, selama ini yang membuat Ayah saya sesak dan gak bisa tidur karena posisi apapun sesak terus ya paru-parunya banjir. Bayangin, 6 bulan berobat ke spesialis jantung gak ketauan. Saya sampai berpikir, apakah mungkin ini waktunya saya percaya diri melebarkan sayap per-joki-an ke jurusan kedokteran? If you know what I mean.
Begini, saya itu keluarga bangkrutan. Tiba-tiba jatuh miskin, dan gak papa karena sudah terlewati ya meskipun gak baik-baik amat sih lewatinnya.
Sebelumnya kami sekeluarga gak pakai BPJS, karena dicover asuransi swasta. Nah setelah bangkrut ini lah, beberapa orang memang sempat bilang untuk “Ayo deh pake BPJS.” Tapi masalahnya;
1. Saya sakit, saya bisa sembuh pakai promaag/amlodipine
2. Keluarga saya juga selama ini sama, jarang ada keluhan kesehatan. Kerok dikit, sembuh.
3. Saya banyak denger keluhan pengguna BPJS soal pelayanan
4. Saya gak mau bayar ke pemerintah, udah itu aja.
Tiba-tiba duarrr. Ayah saya di diagnosa sakit jantung dan sadar betul itu pengobatan bakal berjalan seumur hidup, ya udahlah. Dengan males-malesan dan sedikit air mata saya urus itu BPJS.
2. Ngurusin Pasien BPJS
(a) Cari Rumah Sakit karena ditolak Sana-Sini
Ayah saya kumat penyakitnya. Dia gak kuat hari itu. Sebagai anak soleh, akhirnya saya menyanggupi Ayah saya dibawa ke RS Swasta di Karawang siang hari. Masuk IGD dan hasil pemeriksaan harus segera masuk ke ruang ICU. Kalian tahu kan kalau BPJS punya aplikasi yang bisa lihat ketersediaan kamar dan ruang perawatan tektek bengek? Hah pantat ayam.
Ayah saya udah sesak napas mau meninggal, butuh ruang ICU. Dengan entengnya RS bilang “Ini saya rujuk ya, Bu.”
Ya. Rujuk lepas ya tolong diperjelas, Pak Nakes. Rujuk lepas buat orang panik dan gak tahu apa-apa tapi agak nyolot seperti saya ya terkesan membuang pasien. Padahal jelas-jelas itu kamar rawat inap, ruang ICU tersedia di aplikasi BPJS. Datang lah saya ke ruang pendaftaran pasien IGD berbekal aplikasi BPJS yang nunjukkin kamarnya itu tersedia.
Dengan Ibu-Ibu admission staff yang lagi santai TikTokan, tentu saja saya dengan baik-baik dan straight to the point nanya. Ya iya dong masa saya mau ikut TikTokan?
“Sistem di aplikasi BPJS dan RS ini tuh update gak, yah?”
“Kenapa ya, Neng?” Sambil masih liat hp
Saya ulangi lagi pertanyaannya, “Sistem di aplikasi BPJS dan RS ini tuh update gak, yah?”
“Update, kok.”
“Ini Ayah saya butuh ruangan, di aplikasi available tapi kok diinfoin gak ada ruangannya?”
Dengan senganya, Ibu-Ibu bilang
“Kalau Neng gak percaya, liat aja sendiri. Periksa kamarnya satu-satu.”
Tersulut lah emosi sampai saya bilang, “Maksudnya gimana ya? Tadi ibu bilangnya update?”
“Emangnya BPJSnya kelas berapa? Emang kalau harus nambah pakai biaya uang, mau?” Dia jawab begitu.
Bayangkan. Betapa emosi perasaan saya. To you, yang “katanya” tenaga kesehatan”, kamu bekerja, santai-santai TikTokan sedangkan di ruangan sebelahmu itu banyak orang sekarat dan yang kamu sampaikan sama sekali gak sesuai standar attitude rumah sakit manapun, hei kamu gak lebih dari tai kuku saya.
Comments 2