Murid-muridku ‘ki gawat keliwat-liwat. Gawat dalam arti yang hebat , lah. Banyak diantara mereka yang kritis abis, sat-set dan das-des dalam mengungkapkan kritiknya. Contohnya semester lalu, di kelas 5, mata pelajaran IPS memuat tema masuknya kolonialisme ke Indonesia. Tema yang di jaman saya SD dulu cukup dikuliti dengan 3 kata: gold, glory, dan gospel. Siswa yang bisa mengupas 3 kata tersebut sudah dianggap joss gandos kotos-kotos.
Tantangan Guru di Era Informasi Digital
Sebagai orang dengan profesi guru, wah iku rasane situasi dan tantangannya telah jauh berbeda dengan zaman sekarang. Di era digital ini, informasi yang diserap oleh anak-anak jauh lebih banyak, lebih luas, dan lebih mendalam. Tentu saja berakibat pada wawasan mereka yang lebih baik. Mengenai topik masuknya kolonialisme di Indonesia tersebut, murid saya njuk bawa-bawa Renaisans, Konstantinopel, Letusan Tambora, dan lain-lain, dan lain-lain. Apa ada hubungannya? Mbuh ... coba sampeyan googling dhewe.
Nah, masalahnya pengampu kelas 5 ketika itu adalah guru trainee, fresh graduate yang baru saja join. Dan rupanya si fresh graduate ini merupakan tipe mahasiswa yang “datang, kuliah, pulang, yang penting lulus dengan IPK tiga koma”. Dia tidak mampu mengimbangi curiousity para siswa kelas lima dalam menggali sebuah isu. Alhasil, si guru lebih banyak bilang ‘tidak tahu’ sepanjang diskusi. Lha memang yang diomongin anak-anak tidak ada di buku kok. Dan ndilalah lambenya bocah kelas 5 ini tidak terkondisikan dengan baik. Mereka nyeplos: guru kok banyak tidak tahunya.️
Sehari kemudian si guru trainee menghadap ke saya untuk resign karena tidak siap mental menghadapi kritisnya murid zaman sekarang. Saya gak nyalahin dia sih, perhaps she had her own struggle inside. Tapi perkara seperti ini jelas membutuhkan langkah antisipasi. Jangan sampai terulang lagi dan lagi. Lha wong cari guru yang bisa bahasa Inggris aktif kuwi huangel je …
Literasi adalah Solusi
Akhirnya saya mencoba menghidupkan gagasan lama yang telah mati sebelum berkembang: teacher’s literacy. Yup, sekira dua tahun lalu kami para guru sempat punya ide untuk membuat kegiatan literasi guru, setidaknya sebulan sekali. Isinya bisa ngobrolin apa saja, bisa tentang buku, artikel, film, lagu, drakor, teman, gebetan, tetangga eh kebablasen. Intinya adalah kegiatan santai dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Kalau wawasan gurunya cukup luas kan bisa PeDe ngadepin murid model apa wae.
Jumat, 25 Agustus 2023 tempo hari menjadi tonggak eksekusi ide tersebut. Hari bagi lahirnya program literasi guru SD MISS. Bincang Literasi dan Obrolan Edukasi Mafaza (BLOEM) adalah nama yang kami sematkan untuk kegiatan tersebut. Sengaja ambil nama dari bahasa Belanda sebagai pengingat bahwa moyang kita pernah jadi jongos mereka, bwahaha … Gak ding, BLOEM itu maknanya bagus kok. Mekar atau berkembang, sama dengan BLOOM dalam bahasa Inggris. Harapannya sih agar kegiatan ini bisa terus berkembang.
Review Buku After The Prophet: Such a First Step
Ide awal untuk edisi pembuka adalah book review. Dan yang mendapat kehormatan sebagai appetizer adalah buku After the Prophet: Kisah Lengkap Muasal Perpecahan Sunni-Syiah. Buku sejarah karya Lesley Hazleton ini enak dibaca, lho.
Book review dibuka dengan prolog link berita tentang peristiwa pengeboman Karbala 2 Maret 2004. Dengan prolog, ini saya mengajak peserta diskusi untuk melihat realitas betapa panjangnya riwayat perseteruan Sunni-Syiah, sejak masa Khulafaurrasyidin hingga kini. Terbukti, itu sangat ampuh untuk merangsang diskusi yang lebih intens. Baru juga prolog, namun sudah tampak indikasi bahwa obrolan akan berlangsung seru.
Setelah itu saya melempar pertanyaan pemantik seperti bagaimana persepsi Anda tentang hubungan dalam keluarga inti Rasulullah? atau bagaimana dengan relasi antara Khulafaurrasyidin?
Mayoritas jawabannya adalah ‘baik-baik saja’, serba harmonis dan hampir nirkonflik. Persis, begitu pula dengan persepsi saya sebelum membaca buku ini.
Nah, dari buku Eyang Hazleton ini pula saya mendapati fakta bahwa mereka, keluarga dan para sahabat Rasul adalah manusia juga. Artinya hubungan sehari-harinya juga diwarnai dengan masalah yang biasa kita jumpai sehari-hari seperti saling cemburu, saling sindir, prasangka, curiga, perselisihan, dan lain-lain. It’s normal, right? And it’s very human.
Yang menjadi masalah adalah justru persepsi kita selama ini, yang terbentuk oleh informasi yang serba baik-baik saja. Ambil saja sebuah contoh, saya kok belum pernah mendengar ada ustas maupun guru agama di sekolah yang bercerita tentang perselisihan Aisyah – Ali. Saya juga belum pernah mendengar sebelumnya, situasi yang serba tidak enak antara Fatimah Azzahra dan Aisyah.
Akibatnya, asumsi yang terbangun di benak masyarakat awam adalah bahwa kehidupan Rasul dan keluarga inti dan para sahabat yang empat tersebut serba harmonis, serba sempurna, serba ideal. Maka ketika ada teks sejarah yang mengusik hal-hal serba ideal tersebut menjadi lebih membumi, akan memunculkan guncangan di benak kita.
apa iya ada sengketa perebutan kekhalifahan? Apa iya ada cek-cok antara Aisyah – Ali – Fatimah? Apa mungkin ada abuse of power dari kerabat Utsman ketika menjadi pejabat? Apa iya?! Jika di benak sampeyan juga sering muncul ‘apa iya’ tersebut, maka sepertinya sampeyan memang perlu membaca buku ini.
Padahal ya dari hal-hal itulah semua perselisihan berawal. Perselisihan-perselisihan kecil sehari-hari yang bersumber dari rasa cemburu dan curiga yang tidak terselesaikan dengan baik. Perseteruan kecil yang pada gilirannya terakumulasi menjadi peperangan. Dan sayangnya peperangan tersebut kok ya masih lestari sampai era modern ini, tidak hanya di Jazirah Arab – Persia saja namun meluas sampai ke Indonesia juga. Masih ndak percaya? Coba googling lagi deh.
Lalu apa yang bisa kita –terutama para guru- lakukan? Satu diantaranya adalah dengan memperkuat pondasi literasi. Dengan kegemaran membaca, menjadikannya sebagai bahan olah pikir, lalu membangun diskusi yang sehat mengenai segala yang telah dibaca. Diskusi dan dialog yang dilandasi itikad baik, bukan diskusi yang berfondasi kata ‘pokoke’. Dengan begitu cita-cita akan hidup yang damai akan lebih mudah tercapai. That’s what literacy for, isn’t it? And those are BLOEM’s goals.