Ada kabar yang mengguncang lini masa: 11 orang Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang terdiri atas unsur pegawai biasa dan pegawai ahli diduga terlibat dalam perlindungan bisnis judi online. Merujuk pada keterangan pihak kepolisian sebagaimana dilansir media Tempo, pegawai-pegawai ini mendapat kepercayaan dari Komdigi untuk memeriksa ruang siber: mana saja situs yang memiliki muatan judi online, dan kemudian memblokir situs-situs tersebut. Namun, sialnya mereka mengkhianati kepercayaan tersebut dan melakukan pembiaran yang pada gilirannya membuat judi online semakin menjamur seperti sekarang.
Uang yang mereka hasilkan dari upaya ini juga gokil. Mereka mendapatkan uang Rp8.500.000 per situs judi online yang mereka biarkan tetap beroperasi. Menurut kepolisian, ada 1.000 situs judi online yang mereka amankan. Jadi, Rp8,5 juta x 1.000 = Rp8,5 miliar! Dengan uang sebanyak ini, kamu bisa membeli tanah, membuka usaha, liburan ke luar negeri, dan ongkang-ongkang kaki selama satu tahun. Di tengah kehidupan ekonomi yang penuh himpitan, tawaran uang lewat jalan pintas seperti ini adalah godaan.
Hal seperti ini yang disebut korupsi.
Memahami Apa Makna Korupsi dalam Kasus Perlindungan Situs Judi Online
Merujuk pada kamus Merriam-Webster, korupsi adalah tindakan khianat atau melawan hukum yang dilakukan terutama oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dari definisi ini, kita bisa melihat bahwa mereka yang korupsi adalah kelompok yang menyelewengkan apa yang sudah diamanatkan orang lain kepada mereka. Tentu saja, hal ini memiliki motif kepentingan pribadi atau kelompok yang kuat. Uang miliaran rupiah seperti yang penulis beberkan di atas bisa mereka pergunakan untuk memaksimalkan kebahagiaan dan kenyamanan dengan cara membeli makanan, minuman, pakaian, atau beli rumah, investasi, dan bikin usaha sebagai upaya tindak pidana pencucian uang juga yang memang kerap dilakukan.
Korupsi yang terjadi di sini adalah korupsi kategori suap. Artinya, yang bersangkutan menerima uang dalam jumlah tertentu untuk melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kewajibannya, yakni memblokir situs judi online. Situs-situs judi online tetap dibiarkan beroperasi supaya orang-orang terperdaya, memberikan uangnya, dan tentu memperkaya bandarnya serta memiskinkan pemainnya.
Gara-gara korupsi, kerusakan individual dan sosial pun terjadi. Orang menjadi depresi hingga rumah tangga hancur akibat cekcok judi online dan pinjaman online. Gara-gara korupsi! Tapi kita perlu bertanya lebih dalam, korupsi muncul gara-gara apa?
Melacak Penyebab Korupsi: Upaya Menanggulangi Bisnis Judol di Institusi
Menurut Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia, korupsi bisa terjadi secara gencar di Indonesia karena masyarakat Indonesia secara umum memiliki hipokrisi alias munafik—apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan berbeda dengan apa yang dilakukan dan dikatakan. Hal ini, menurut Lubis, dibentuk oleh sejarah kita yang selama ratusan tahun dikuasai oleh raja-raja atau para penguasa lokal zalim yang gila hormat dan validasi, ditambah kedatangan bangsa asing untuk menjajah kita dan mengambil hasil bumi kita. Jadi, berpura-pura menjadi jalan utama untuk bisa bertahan hidup.
Kita paham betul bahwa pegawai-pegawai kementerian itu begitu piawai menyembunyikan niatnya. Setiap ada rapat atau laporan, pasti mereka bilang bahwa tugas sudah diselesaikan dengan baik, didukung oleh laporan-laporan palsu di atas kertas atau di dalam layar, padahal uang suapnya dilahap, dan situs-situs judi online-nya dijaga supaya bisa beroperasi terus. Alhasil, orang yang ekonominya sedang susah tertipu—dopamin di otaknya mendapat stimulus berlebihan sehingga kecanduan main judi online, dan makin terjerumus lagi ke dalam jurang.
Permasalahan korupsi yang semakin menyuburkan fenomena judi online itu lahir dari hipokrisi yang terbentuk selama ratusan tahun proses sejarah, yang berarti ini merupakan masalah kultural. Jadi, cara-cara penegakan hukum saja seperti penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan penjatuhan vonis tidak cukup—alias mesti dibarengi juga unsur pengkondisian masyarakat, pendidikan, dan transfer kesadaran terutama kepada anak-anak yang masih sangat baik untuk dilatih hal-hal semacam ini.
Saat di pengadilan, belum tentu majelis hakim menjatuhkan vonis maksimal. Bisa jadi ada hal yang meringankan. Tapi katakanlah mereka sudah dihukum. Yang namanya hukuman itu bisa dipotong alias mendapat jatah remisi karena “berbuat baik.” Setelah keluar penjara, mereka bisa saja menjadi residivis alias menjadi penjahat yang mengulangi kejahatannya.
Tentu, hukuman sebagus apa pun di atas kertas akan tidak berdaya jika 1) tidak ada kesadaran untuk berhenti melakukan kejahatan dan 2) tidak ada kesadaran untuk menjatuhkan sanksi yang setimpal oleh penegak hukum.
Tanpa mengecilkan peran pemerintah dan penegak hukum, perlawanan terhadap korupsi mesti dipantik dari unsur terkecil masyarakat: keluarga. Mereka mesti mendidik dan mentransfer kesadaran dengan memberikan teladan yang baik tentunya dan bukan hanya omong kosong. Kan lucu jika orang tua bilang, “Jangan korupsi!” tapi berkata ke orang proyek, “Hehehe. Ini, Bang, buat uang rokok,” sambil memberikan uang segepok.
Referensi:
Antara – Ini Kronologi dan Modus Pejabat Kementerian Komdigi ‘Menjaga’ Situs Judi Online (Tempo).
Mochtar Lubis – Manusia Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia).