Mau jadi horang kayah aja, soalnya horang kayah mah bebas beranak!
Biopolitik Maskulin Dedi Mulyadi dan Tubuh Orang-Orang Miskin dalam Cengkeraman Statistik

Suami-suami miskin di Jawa Barat sedang mengalami mimpi buruk di bawah pemerintahan Dedi Mulyadi. Politikus medioker ini—yang bangga dijuluki “Gubernur Konten”—baru saja melontarkan gagasan ngadi-ngadi: kalau kamu sebagai suami ingin dapat bansos untuk diri sendiri dan keluarga, maka kamu harus vasektomi dulu!
Buat yang belum tahu, vasektomi adalah prosedur medis di mana saluran sperma (vas deferens) dipotong atau ditutup agar sperma tidak bercampur dengan air mani saat ejakulasi supaya tidak bisa melakukan pembuahan. Air mani yang ada tidak berdaya lebih lanjut karena tidak mengandung sperma.
Dedi Mulyadi berpendapat, wacana vasektomi lahir dari kenyataan bahwa banyak keluarga miskin gemar punya anak tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial. Menurutnya, biaya mengandung, melahirkan, dan mendidik anak itu amat besar. Untuk melahirkan saja bisa sampai puluhan juta. Nah, sampai di sini cukup masuk akal, ya. DM juga bilang, ini penyebab utama kemiskinan terus ada, ya setidaknya menurut DM.
Berbicara soal kemiskinan, Jawa Barat sendiri adalah provinsi dengan angka kemiskinan yang memprihatinkan. Data BPS tahun 2024 mencatat 3,85 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Bayangkan saja seorang buruh bergaji rendah yang bekerja sejak subuh hingga malam untuk diri dan keluarga—namun, kehidupannya jauh dari kata layak: kasur tak selembut milik pejabat pemda, lauk seadanya seperti tahu tipis ditemani nasi dingin sisa semalam, dan menetap dalam kontrakan sempit yang rajin didatangi beurit unggal poe.
Kini, Dedi Mulyadi ingin membuat para suami kelas bawah, seperti ilustrasi di atas, lebih remuk redam, dengan menghancurkan jembatan antara kehidupan hari ini dan impian masa depan mereka.
Kita yang masih punya kewarasan, tentu mesti mengecam gagasan Dedi Mulyadi. Sederhana saja: isinya tidak patut. Seorang pejabat daerah mencoba memasuki ranah paling intim dan mendikte pilihan reproduksi warganya.
Menjawab Vasektomi Pemerintah dengan Analisis Foucault
Mensyaratkan vasektomi sebelum bansos cair sejatinya adalah praktik biopower dalam pandangan Michel Foucault, sebagaimana diulas dalam The History of Sexuality, Volume 1: The Will to Knowledge (1976). Foucault menyatakan bahwa, kekuasaan modern itu tidak cuma mengatur lewat hukum dan hukuman, tapi juga lewat cara-cara yang seolah-olah “mengurusi” hidup rakyat—dari kesehatan, urusan punya anak, sampai demografi penduduk. Pemerintah ikut campur, pura-pura peduli, padahal lari dari tanggungjawab, seperti penyair galau lari dari masa lalu.
Lebih lanjut, menurut Foucault, tubuh manusia bisa jadi proyek kekuasaan: dipantau, diatur, dan dibentuk agar dianggap “pantas.” Dalam konteks ini, vasektomi bukan lagi soal medis semata, melainkan jadi tiket masuk ke bansos. Sang suami miskin dipaksa memilih: disteril supaya bisa makan, atau tolak vasektomi dan kehilangan akses pada bantuan sosial yang seharusnya merupakan hak dasar warga.
Kebijakan ini diperparah oleh sistem data kependudukan dan data bansos—sebuah jaringan pengawasan digital yang memantau status KB tiap keluarga. Kalau seorang suami belum tercatat vasektomi, sistem langsung memblok bantuan. Ini mirip logika panopticon digital: warga tidak tahu kapan mereka diawasi, tapi selalu merasa harus tunduk demi bisa bertahan hidup.
Kontrasepsi harus Konsensual
Dedi Mulyadi mungkin percaya diri sambil nyengir-nyengir, merasa bahwa penggunaan vasektomi adalah bentuk kontrasepsi yang sah. Ia mencoba tampil sebagai orang yang melek edukasi seks, tapi justru kosong substansi. Yang luput dari pikirannya: kontrasepsi itu mesti konsensual.
Artinya, seseorang sadar sepenuhnya atas konsekuensinya dan menyetujuinya tanpa tekanan apa pun—termasuk tekanan ekonomi. Ketika bansos dijadikan alat tekanan, maka keputusan tidak lagi diambil secara bebas. Ibarat seseorang yang diancam akan dibongkar aibnya jika tak menurut, pilihan yang tersedia hanyalah tunduk. Dalam setiap paksaan (walau terlihat halus), selalu ada relasi kuasa yang timpang, sebagaimana pandangan Foucault lagi. Dalam wacana vasektomi ini, terlihat jelas Dedi Mulyadi berdiri di pihak yang punya kuasa cukup besar untuk menundukkan warganya sendiri.
Dan semua itu dijustifikasi atas nama pengentasan kemiskinan.
Kesalahan Berpikir dalam Mengatasi Kemiskinan
Kemiskinan itu persoalan kompleks. Tidak bisa disederhanakan dengan asumsi bahwa orang miskin doyan punya anak, lalu suaminya harus dipaksa vasektomi, kalau tidak, bansos tak akan turun.
Kita tahu, hak kesejahteraan masyarakat sudah banyak dipangkas atas nama efisiensi anggaran—dari proyek ambisius seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) sampai Danantara yang gak jelas juntrungannya. Belum lagi korupsi yang menjulang dan bikin negara ini keropos. BPKP tahun 2024 melaporkan bahwa kerugian negara dalam kasus tambang yang melibatkan Harvey Moeis menyentuh Rp300,003 triliun. Itu baru satu kasus!
Belum lagi soal kualitas SDM rendah—yang malah minta jatah preman pakai seragam ormas tertentu. Ini membuat investor angkat kaki, dan pelaku UMKM lokal hanya bisa gigit jari.
Kalau mau jujur, masalah kemiskinan ini bersifat struktural. Pemerintah tidak punya kehendak politik untuk membuat kebijakan yang benar, menjalankannya dengan benar, atau menertibkan aparat yang hilang taring ketika berhadapan dengan preman.
Jadi, kenapa harus sibuk mengurusi kelamin warga, kalau yang jadi masalah justru kultur bebal mereka yang duduk nyaman di gedung-gedung wangi ber-AC?
Leave a Comment