Saya juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi. Padahal seharusnya saya sudah mati. Betul, sudah mati. Perkelahian saya dan Baron di tepi Kali Merah menyisihkan Baron sebagai pemenang dan saya sebagai pendendam yang kalah.
Tetapi, tetiba si Baron keparat mengangkangi saya persis dengan kontolnya yang bergelayut, hitam, besar dan sedikit bengkok ke kiri. Cih! Kontol jelek yang menyeramkan. Tidak ada bagus-bagusnya, tidak layak disebut kontol, itu lebih mirip gagang golok. Kontol sialan itu hampir menghujam saya. Najis! Saya tidak sudi sedikitpun. Maka saya tendang kontol itu hingga pemiliknya jatuh terjungkir kesakitan
**
Waktu itu, di sore hari, setelah saya mengasah golok yang biasa saya pakai untuk menebang bambu untuk saya buat gedeg. Saya mencegat Baron yang biasa lewat melalui jembatan yang melewati Kali Merah. Baron turun dari motor RX-King miliknya dengan penuh kepercayaan diri, dan saya dengan kemarahan sambil mengacung-acungkan golok kemuka si Baron.
“Seharusnya semut sepertimu tidak menantang gajah, nanti kau mati terinjak-injak!”
“Ah, itu lebih baik daripada melihatmu menyakiti Aeni terus-menerus.”
“Heh! Sombong.”
“Banyak bacot!”
Kami berkelahi. Berkelahi tidak seperti lelaki, tepatnya ini mirip penganiayaan orang kuat terhadap orang lemah yang bahkan tidak mengerti bagaimana melayangkan pukulan, dan saya adalah orang lemah yang dianiaya orang kuat itu.
Saya lemah dan bahkan tidak becus membalas pukulan Baron sekalipun. Tidak, jangankan membalas, menahan pukulannya yang bertubi-tubipun saya kelimpungan. Dan dalam keadaan lemah tak berdaya, Baron merampas golok yang semula saya bawa dari genggaman saya. Niat hati yang penuh dendam ini, golok itu akan saya pergunakan sebaik-baiknya untuk menebas leher Baron, atau memotong kontolnya yang entah sudah berapa kali ia pakai untuk menggagahi Aeni. Oh, Tuhan, malah Baron yang lebih berkuasa atas golok saya. Dengan golok saya, si anjing Baron menggorok leher saya seperti kambing kurban.
Begitulah cara saya mati. Saya benar-benar ingat sekali, rasa sakit ketika saya dipukuli, dan leher saya yang dipotong secara menghinakan oleh Baron hingga nyawa saya pungkas.
Dan sebelum nyawa saya benar-benar lepas dari badan yang lemah dan pendendam ini. Untuk terakhir saya melihat senyum puas di bibir si Baron, tentu saja dengan simbahan darah di mukanya.
Tapi begitu saya mati–yang seharusnya tidak lagi berada di dunia ini, atau menuju alam akhirat–saya malah terbangun dalam tubuh Aeni, istri Baron, kekasih saya yang selalu saya cintai sampai mati.
Selanjutnya, menjamah tubuh Aeni; merasakan komt0l baron yang mirip gagang golok. wkwk.. asik-asik-asik. ditunggu next capternya:*
Halo, Para Penyimpang. Terima aksih ya sudah menyimpang. Ditunggu bagian selanjutnya, ya!