Di tahun 2017 setelah saya memutuskan untuk merantau dan berkuliah di Jogja, saya mengalami apa yang anak zaman sekarang katakan culture-shock. Keseharian saya menggunakan bahasa Betawi yang terkesan “kasar dan srampangan” harus beradaptasi dengan bahasa Jawa yang halus dan sopan.
Ketika pertama kali kuliah di salah satu universitas negeri di Jogja, saya mengalami ospek kampus, ketika itu saya benar-benar sendirian dan hampir tidak mempunyai teman. Ospek yang berlangsung selama beberapa hari itu saya lewati dengan biasa-biasa saja. Saya jarang berbicara dengan teman ketika ospek itu, karena saya tidak mengerti bahasa Jawa. Tapi, saya harus beradaptasi, seperti kata pepatah, Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, saya membuka diri dan mencoba untuk berbincang dengan teman di kampus.
Masalah terjadi ketika saat itu saya berkenalan dengan seorang perempuan, saya berbicara dengannya menggunakan bahasa Betawi, entah saya keceplosan atau memang saya benar-benar bodoh ketika itu. Saya langsung bertanya dengan percaya diri, “Eh, nama lo siapa?” Ia begitu kaget, saya memandanginya sesaat, karena tidak mendapat jawaban, saya memperkenalkan diri saya sendiri. “Gue Robby dari Jakarta, jurusan SKI, lo jurusan apa? Asli mana?” Kini dia tertawa, dia memperkenalkan dirinya, ia sangat terkejut ketika di lo-gue in sama orang lain. Yang membuat saya terkejut adalah ia menggunakan aku-kamu ketika sedang mengobrol, bukan berarti saya tidak pernah mendengar aku-kamu. Tetapi, aku-kamu di pergaulan saya digunakan untuk orang yang pacaran saja, jadi terasa aneh sekali di telinga saya pada waktu itu.
Singkat cerita saya mencoba untuk beradaptasi, saya mencoba memahami tiap kata dalam bahasa Jawa dan mencoba mencari artinya, seperti kata piro=berapa, uwis=sudah, dan lain-lain. Karena saya kira bahwa saya sudah cukup memahami bahasa Jawa, saya coba praktekan kemampuan bahasa Jawa saya kepada seorang ibu penjual angkringan di Bantul, setelah selesai makan dan hendak membayar saya mendatang ibu itu. Saya berkata, “Bu, uwis. Nasine siji, gorenganne loro, es tehne siji, piro?” dengan percaya diri saya mengatakan hal itu, logat betawi saya masih sangat kental, sehingga terkesan kasar dan srampangan itu tadi. Seluruh angkringan memandang saya dingin, ibu penjual angkringan pun juga. Saya terdiam saja dan menyerahkan uang. Ibu penjual angkringan mengambil uang saya dan ia tersenyum kecil, ia berkata kepada saya, “Kalau ndak bisa ngomong basa Jowo, pakai bahasa Indonesia saja, Mas. Ibu juga paham kok” sembari menyerahkan kembalian.
Saya garuk-garuk kepala, kebingungan. Saya sudah yakin bahwa yang saya ucapkan itu benar, bahwa piro=berapa, siji=satu dan lain sebagainya. Lalu saya bertemu teman saya yang asli Jogja, saya bercerita tentang kejadian itu, ia tertawa dan mengatakan bahwa saya tidak sopan karena menggunakan bahasa Jawa Ngoko kepada orang yang lebih tua.
Bertahun-tahun berlalu hingga saya sudah empat tahun tinggal di Jogja, kesalahan seperti itu saya pelajari, saya menggunakan bahasa Jawa sebisanya saja untuk mengobrol bersama teman. Saya selalu menjadi sasaran empuk untuk jadi bahan ejekan, karena ucapan saya yang tidak medhok-medhok amat dan sangat wagu. Bahkan seorang teman mengejek saya dengan mengatakan “Koe ki ngomong wagu wae wagu kok”.
Asu!