Maih ingat ketika Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menyarankan pemerintah mengatur bahwa orang miskin dilarang menggelar pesta pernikahan karena akan melairkan kemiskinan baru? Atau ketika Menteri Muhadjir Effendy mengusulkan kepada Menteri Agama Fachrul Razi saat itu untuk menerbitkan fatwa perkawinan lintas tingkat perekonomian. Fatwa! Demi tuhan. Pasti masih ingat berikut dengan reaksinya yang macam-macam.
Setelah dipikir-pikir, keduanya lumayan masuk akal. Berikut saya jabarkan panjang lebarnya.
Jadi orang kaya atau terlahir menjadi anak dari orang kaya adalah anugrah. Ya walaupun banyak yang bilang bahwa sumber kebahagiaan tidak selalu uang, tapi ingat, dengan uang banyak kita bisa membeli banyak sumber kebahagiaan.
Setelah kurang lebih sepuluh bulan masa pandemi, semakin diyakini bahwa sampai saat ini yang paling resisten dari kemiskinan adalah orang kaya, anak orang kaya atau pejabat. Ini bisa dilihat orang-orang kaya itu mampu memborong barang-barang mahal selama pandemi.
Jangankan beli sepeda sekelas Brompton yang sungguh tinggi permintaanya, mobil milyaran pun dengan mudah dibeliya. Kemampuan membeli masyarakat kita di level ini, diakui masih cukup tinggi selama pandemi. Eh ingat yaaa kemampuan membeli orang kaya maksudnya.
Mau nggak mau harus diakui paling enak itu jadi orang kaya atau sodaraan sama orang kaya. Setidak-tidaknya ada yang masih bisa kita sombongkan. Kita bisa bilang ‘yang punya restoran besar itu pakde saya’, ‘kepala dinas yang sekarang itu bulek saya’, atau ‘Bupatinya itu masih sepupuan sama mbah saya’. Apa nggak bangga coba? Dan diam-diam ini bisa bikin self-esteem kita meningkat.
Efek bersayap yang dirasakan dengan hanya kecipratan darah orang kaya atau pejabat, meskipun kedekatannya bisa lebih dari selemparan beton melewati puluhan pulau, bentuknya bisa macam-macam. Kemudahan mendapat pekerjaan sampai pada tawaran modal usaha hingga nggak jauh-jauh dari perjodohan.
Karena masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan pejabat atau orang kaya, tawaran pekerjaan biasanya datang sendiri. Atau gampanglah, ketika masuk melamar pekerjaan pada sebuah instansi cukup bilang keponakannya bupati, kepala instansi akan mikir-mikir kalau sampai menolak. Ketika kita ditanya ada orang dalam atau koneksikah? Ya dengan penuh percaya diri kita bisa bilang ada.
Maka,wacana pak Menteri Muhadjir Effendy yang mengusulkan fatwa orang kaya menikahi orang miskin adalah ide yang brilian. Tapi anehnya banyak pihak yang menganggap wacana ini begitu mengada-ada. Menurut Muhadjir, dengan menerbitkan fatwa pernikahan antartingkat ekonomi, bisa mencegah peningkatan angka kemiskinan.
Apa masih belum percaya? Saya sih yakin saja, pak Muhadjir berpendapat demikian sudah pasti melalui riset yang mendalam tentang akar kemiskinan. Pernikahan adalah institusi yang kelak mengawali lahirnya keluarga dan pastinya keturunan. Maka lembaga ini adalah lembaga yang lebih mudah memberikan jalan pengentasan kemiskinan daripada lembaga yang lebih rumit misal  pendidikan.
Betulkah penikahan adalah lembaga paling ideal dalam mendistribusikan kekayaan? Ada beberapa alasan penting kenapa pernikahan bisa mengentaskan kemiskinan.
Pertama, pernikahan memberi syarat mudah. Selain suka sama suka, pernikahan tidak memberikan syarat khusus yang rumit. Harus memiliki ijazah S1 misal. Atau harus memiliki IPK di atas 2,75. Pernikahan juga tidak memberi syarat harus memiliki penghasilan minimal 2 juta sebulan. Tidak ada syarat level pendidikan atau ketrampilan yang dimiliki untuk bisa menikah. Selain usia tentunya. Intinya cukup mau sama mau. Yha nggak masalah juga misal calon suami berpenghasilan di bawah 2 juta sebulan atau sebatas UMR Jogja tapi si calon istrinya mau yhe kan.
Kedua, pernikahan melahirkan ikatan darah. Tak terbantahkan lagi jika salah satu akibat dari pernikahan adalah lahirnya keturunan. Hubungan darah berupa ikatan kekeluargaan adalah ikatan yang tak mungkin terbantahkan.
Dampak dari ikatan kekeluargaan ini tentunya adalah adanya tanggung jawab yang efeknya pastinya adalah pembagian harta. Di sinilah mekanisme distribusi kekayaan berjalan.
Yha walaupun pernikahan nggak langsung sama anak pejabat, tapi dapatnya keponakan pejabat, sepupu bahkan mungkin ipar, dsitribusi kekayaan memang tidak langsung namun kemudahan-kemmudahan menuju akses kesejahteraan terbuka.
Koneksi untuk mendapatkan pekerjaan sampai modal usaha. Saat pengajuan bantuan keuangan untuk modal usaha, karena masih sodaraan sama pejabat atau orang kaya, pengajuan bisa didahulukan dan kemungkinan diloloskan.
Nah, jika oligarki dianggap memusatkan kekayaan dan kedudukan pada sekelompok orang dan tentu saja sanak keluarganya, maka kenapa tidak bagi orang miskin memasuki komunitas ini melalui jalur pernikahan. Jika saja semua orang kaya dan terpandang mau menikahi orang miskin, maka tak mustahil angka kemiskinan bisa ditekan signifikan.
Tapi gimana orang kaya mau nikah sama orang miskin sih? Maka ini lahan lembaga pendidikan kreatif menciptakan kondisi yang memungkinkan itu. Semisal mengadakan pelatihan table manner untuk kalangan menengah bawah, yha biar behave gitu jadi bisa nyantol sama anaknya CEO apa sodara pejabat.
Atau mengadakan pelatihan untuk mengasah ketrampilan public speaking. Boleh jadi buat pelatihan yang langsung menyasar misal pelatihan kiat-kiat mendapatkan pasangan kaya raya tanpa mikir, bergaransi 100 %. Dan jika peserta gagal atau tidak berhasil menggaet orang kaya, biaya dikembalikan seluruhnya.
Gimana? Ada yang minat buka kelas? barangkalu kru Nyimpang mau? Kalian kayaknya perlu deh. Hehe.
Dampak general bagus 😂. Tapi realita, si Kaya jarang yg mau sama si miskin. Apalagi karena nasib malang itu personal perks jadi kurang mumpuni pula. Pun kalau si doi mau, biasanya menantu yang tak mau 😅😢
#OpiniOrangMiskin 😂
Ya pada kenyataannya kecil kemungkinan atau malah hampir mustahil lah orang kaya mau sama orang miskin hehehhe