Profil Singkat
Iyol adalah seorang seniman yang telah terlibat dalam dunia seni sejak kecil, memulai dengan hobi menggambar dan lukis. Motivasi utamanya adalah kesenangan yang didapat dari berbagi hobi dengan teman sebaya, yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan Rumahwarna Collective pada tahun 2016. Kolektif ini menjadi wadah bagi seniman di Cikampek untuk menyalurkan kreativitas mereka melalui berbagai kegiatan seperti workshop dan pameran.
Selain seni visual, Iyol juga memiliki kecintaan pada bersepeda dan pembuatan mebel. Gaya seninya dikenal karena unsur surrealisme yang dipengaruhi oleh ilustrator Ian Nossen, dengan ciri khas garis-garis rapat dan pemilihan warna yang sesuai dengan objek karyanya. Iyol menemukan inspirasi dalam kehidupan sehari-hari dan isu-isu lingkungan, dan ia berharap bisa terus memberikan dampak positif melalui seni tanpa ambisi besar, lebih kepada pelipur lara dan eksplorasi diri.
Mari simak wawancara Nyimpang dengan Iyol (Rumahwarna Collective) di bawah ini:
Eh, Iyol, apa kabar? Cerita dong, gimana awalnya lo mulai terjun ke dunia seni?
Kabar baik. Alhamdulillah. Awalnya dari kecil seneng gambar terus makin ke sini ketemu temen sehobi. Temen sehobi tuh dalam arti sama-sama seneng lukis atau gambar. Motivasinya sih nggak ada yang terlalu spesifik, cuma, dorongan atau motivasinya tuh karena temen satu hobi, merasa enjoy, dan terus ditekuni. Saya membuat sketsa atau melukis itu buat ngilangin gabut, relaksasi, dan menyampaikan pesan tertentu.
Pesan tertentunya yang kaya gimana tuh?
Iya, yang berangkat dari kejadian yang ada di lingkungan sekitar.
Dari mana sih lo dapet inspirasi buat bikin Rumahwarna Collective?
Rumahwarna Collective awalnya sih dari nggak kenal jadi kenal, kita ikut tahun 2016 tuh namanya Sketsa Sore: sebuah acara menggambar bareng, terus saya dan temen-temen mikir, “Ahh, daripada bikin schedule ribet buat ngumpul-ngumpul, kita bikin aja wadah seni sendiri.” Nah, lalu tahun 2016 muncullah Rumahwarna Collective yang jadi wadah buat menyalurkan kreativitas orang-orang Cikampek.
Nama Rumahwarna Collective keren tuh. Ada filosofi atau cerita khusus di balik nama itu nggak?
Kalo nama Rumahwarna itu sebenernya gini: kami punya hobi macem-macem. Ada yang di musik, literasi, dan lain-lain. Namanya Rumahwarna itu karena macem-macem orang yang ada di situ, dan kami menghargai perbedaan yang ada. Kalau Collective-nya sendiri karena dikerjakan bersama-sama.
Di Rumahwarna Collective, biasanya ngapain aja sih? Kegiatan yang paling lo suka apa?
Paling buat gue sendiri, ngumpul terus gambar bareng sih. Buat gue itu udah kegiatan yang menyenangkan. Tapi, sebelumnya kita juga sering bikin workshop gitu: membahas satu teknik sketsa atau lukis tertentu. Terus pameran-pameran paling, cuma yang skala kecil sih. Waktu itu juga pernah ngobrol sama temen-temen seniman Karawang, katanya, “Kalo mau bikin pameran, bikin yang gede sekalian.” Supaya dianggap serius gitu.
Pas tahun 2017, alhamdulilah kita pernah bikin pameran: “Cari Muka.” Acaranya lumayan sukses, banyak yang tahu dan banyak pengunjungnya. Motifnya sih waktu itu mengekspresikan hal yang terjadi di masyarakat, utamanya yang terjadi di dunia seniman.
Lo kan inisiatornya nih, apa tantangan terbesar yang pernah lo hadapi buat jalanin kolektif ini?
Kalo kendala atau tantangan sih ya karena kita kolektif, jadinya budget sih. Makanya waktu itu kita diajak join sama korporat: ada tawaran buat bikin lukisan continue satu tahun. Waktu itu akhirnya join tuh karena lumayan buat mendanai kegiatan kita, akhirnya bisa ketemu orang-orang baru dari berbagai latar belakang kaya sastra, teater, dan musik.
Kalau boleh tahu nih, ketemu korporatnya itu gimana?
Awalnya tuh kita bikin program komersil di Sketsa Sore dan mengadakan acara dengan Ruang Hitam, dan mereka tuh punya link ke Korporat, jadi korporatnya tahu tentang kegiatan yang suka kami adakan dan mereka tertarik dengan kami, jadilah itu didanai. Hal tersebut terjadi 2019 awal hingga 2019 akhir. Itu kegiatannya tuh awalnya dari workshop lukis. Produknya itu berupa sepatu yang dilukis yang udah disiapin marketnya sendiri.
Ada cerita seru nggak selama lo ngelola Rumahwarna?
Oh iya, mungkin soal cerita seru sih ya karena kita sering bikin workshop tuh, suka ada anak kecil yang join ke dalam proses membuat karya seni. anak kecil aja bisa join, dari yang tadinya mereka hanya peduli dengan dunianya sendiri, jadi tertarik untuk menggambar. Ketika mereka ikut kegiatan gambar, mereka bisa cooperative dan mereka bisa lebih fokus dari yang dewasa gitu. Seru sih.
Kalo ngomongin masa depan, lo pengen bawa Rumahwarna ke mana?
Kalo soal masa depan, nggak ada arah masa depan yang spesifik. Cuma harapannya sih, bisa sempetin diri buat tetep ngumpul gitu. Nggak ada ambisi besar yang gimana-gimana. Jadi buat bahan pelipur penat aja. Misalnya kita nentuin suatu tempat, dan kita ngegambar di situ. Untuk sekarang sih kegiatan kami tuh kaya gitu.
Seni lo tuh punya gaya atau ciri khas yang gimana tuh? Ada yang beda nggak dibandingin sama seniman lain?
Kalau di visual ada panutan sih, iya contohnya kaya Ian Nossen, ilustrator dari Bandung dan sekarang ada di Bali. Gaya visual gue tuh jadi ter-influenced sama dia. Jadi visual gue tuh yang sekarang itu, kalau dari gaya visualnya ini pasti ada unsur garis nirmana: jadi ada garis lengkung-lengkung tapi rapat.
Kalau kombinasi warna sih gue lebih nyocokin ke object yang gue bikin aja gitu. Kan ada tuh seniman yang punya karya cirinya sendiri perihal pemberian warnanya, kalau gue sih nggak. Contohnya misalnya pas gue bikin object manusia, iya gue nyesuain warna object-nya itu dengan warna kulit, rambut, dan matanya.
Ada kecenderungan ke arah karya realisme berarti?
Nggak, gue lebih cenderung ke surrealisme. Surrealisme itu mengambil object dari realitas, tapi ada unsur yang ditambahkan gitu untuk menekankan makna tertentu. Misalnya ada manusia yang matanya empat, itu bisa menjadi simbolisme tertentu seperti metafora orangnya suka mengawasi banget.
Biasanya, lo dapet ide atau inspirasi buat karya lo dari mana?
Lebih banyak dari sekitaran lingkungan. Waktu itu ada salah satu gambar yang ngerespon banjir sekitar tahun 2021, terus juga pernah ngebikin lukisan isu lingkungan tentang paus dan isu perubahan iklim. Jadi seni tidak hanya bermakna estetika saja, tapi juga menjadi wadah untuk menyuarakan isu lingkungan.
Menurut lo, semua karya yang lo bikin, ada nggak satu yang paling spesial atau bikin lo bangga?
Kalau spesifik salah satu karya sih, nggak ada, hehehe. Tapi semuanya bikin bangga karena hal itu merupakan kerja keras seorang seniman hehehe.
Oh iya, denger-denger Lo juga seneng sepedaan nih. Sejak kapan lo suka sepedaan?
Kalau sepedaan ini baru-baru sih, jadi temen tuh ada yang bisa ngerakit sepeda gitulah, terus dia nawarin, “Mau nggak nih ngerakit sepeda?” Abis itu ngekonsep, bikin garapan, dan akhirnya kita suka sepedahan bareng. Akhirnya, nyandu sepedahan terus. Sekalian bikin sehat juga gitu.
Kalo sepedaan gitu, senengnya ke mana?
Gue seringnya ke Purwakarta sih. Kita sih kalau sepedahan nggak jauh-jauh: paling beli makan bareng udah itu nongkrong gitu. Jadi kaya Rumahwarna Collective aja. Ada yang punya hobi bareng, iya kita kerjakan bareng-bareng.
Pas lagi sepedaan, pernah nggak lo dapet inspirasi buat karya seni atau proyek kreatif?
Pas sepedaan sih belom karena jujur sekarang tuh udah jarang ngegambar. Cuman, sekarang lagi proses membuat garapan lukisan untuk mengirim lukisan ke Art Jog. Lukisannya yang kemarin itu bertema visual yang ngajak seniman di bawah umur 35 tahun untuk membuat seni yang positif. Temanya tuh amal, dia ngejelasin bahwa seni itu ketika kita memberi impact atau dampak ke masyarakat. Positif konstruktif. Memberikan dampak di sini itu memberikan refleksi dan daya gerak pada masyarakat.
Kalau lo ke tempat baru pakai sepeda, apa hal yang biasanya lo cari atau eksplor?
Lebih ke ini sih sekarang tuh nyari tempat yang berunsur alam gitu. Kadang masuk-masuk tuh ke hutan-hutan. Kaya misalnya hutan di daerah arah Cibodas, belakang Pasar Induk. Di situ kan masih banyak pohon karet yang bisa kami eksplor. Buat relaksasi diri.
Oh iya, lo juga kan tertarik sama dunia mebel iya. Apa sih yang bikin lo tertarik bikin mebel? Awalnya gimana?
Mungkin karena ini iya bikin mebel tuh untuk memenuhi kebutuhan di rumah sendiri gitu iya. Waktu itu kemaren-kemaren tuh bikin garapan wadah lukis, bikinnya dari kayu. Terus waktu itu ada project sama korporat bikin juga boneka kayu yang jadi produk dijual ke masyarakat, bahkan waktu itu ada yang pernah dikirim ke Korea produknya.
Biasanya proses lo kayak gimana pas bikin mebel? Dari ide sampai jadi barang jadi?
Kalau dari ide sih nyarinya dari internet sih, Pinterest misalnya. Ketika kita pengen bikin sesuatu kita riset dulu di internet soal bentuk dan warnanya itu gimana baru kita garap. Dari proses kaya gini bisa makan waktu semingguan sih kaya bikin meja atau kursi gitu, tergantung dengan tingkat kesulitannya juga.
Menurut lo, apa yang bikin mebel buatan lo punya ciri khas dibanding yang lain?
Dari ciri khas sih dari pemilihan bahan iya. Kebetulan orang tua kerja di BUMN yang ada di bidang kayu, dan bahan kayu yang terpilih adalah bahan yang kuat dan berkualitas kaya kayu jati, kayu besi, dll. Nggak lupa juga ditambahkan obat anti rayap gitu.
Ada proyek mebel yang paling menantang atau berkesan buat lo?
Kalau proyek mebel sih selalu menantang sih karena kita berhadapan dengan konsumen langsung dan kita dituntut untuk menyesuaikan dengan permintaan konsumen, waktu itu kita disuruh bikin kusen dan pintu yang bisa tahan lama. Itu butuh kerja keras dan ketelitian.
Gimana sih cara lo nge-manage waktu buat seni, kolektif, sepeda, sama mebel?
Ada banyak sih iya. Caranya menajemennya begini: kalau sekarang sih mengerucut ke finansial kan iya, yang mana yang duluan jadi duit itu yang digarap. Hehehe. Jadi di sini gue lebih sering memprioritaskan bikin mebel. Kalau untuk gambar sendiri, dulu sering ada order, tapi sekarang gue lebih fokus membuat seni untuk diri sendiri.
Apa sih yang bikin lo terus semangat buat berkarya?
Yang bikin semangat berkarya terus sih, karena waktu itu gue pernah ketemu seorang sepuh lah iya, gue pernah nanya, “Di umur segini pernah ngerasa bosen nggak sih?” Dijawab, “Di masa tua supaya nggak bosen kalo lu punya hobi, lu tekunin terus, dan ini ngebikin lu seneng sampe tua.” Dan prinsip itulah yang selama ini gue pegang.
Kalau lagi stuck atau buntu, biasanya lo ngapain biar bisa bangkit lagi?
Kalau sekarang sih istilahnya paling sepedaan, atau nggak cari temen ngobrol, karena ngambil inspirasi ini kan dari lingkungan sekitar, iya jadi gitu coba nemuin orang buat diajak berbincang. Kadang nyatet di buku kecil atau nyatet note di hp kalau ada inspirasi masuk.
Menurut lo, gimana sih cara seni bisa ngebantu masyarakat atau komunitas?
Oh, kebeneran kita pernah bikin charity tuh pas jaman Covid-19. Waktu itu gue pernah bikin ilustrasi, dijadiin t-shirt, dan produk yang dijual hasilnya disumbangkan untuk keperluan Covid-19 pas tahun 2021. Iya, paling caranya begitu.
Kalau ada anak muda yang pengen belajar seni atau mulai kolektif kayak lo, apa pesan lo buat mereka?
Iya kerjakan apa yang lo suka gitu, karena kalo lu ngerjainnya berangkat dari apa yang lu sukain, lu bakal konsisten menekuni bidang itu. Terus, kalo dengan lu udah terjun ke dunia visual terus lu nganggep diri lu udah profesional, jangan deh! Hehehe. Supaya lu tetep bisa belajar.
Kalau demotivasinya sih, jangan jadi seniman deh! Wkwkwk! Miskin. Jadi seniman di Indonesia tuh miskin.
Apa sih harapan lo buat dunia seni, khususnya di lingkungan lo sekarang?
Mungkin gini karena kita sekitaran Purwasuka gitu iya, nggak ada harapan khusus untuk seniman seperti kita kalau bisa ke depannya sih dikasih wadah khusus untuk para seniman. Nggak berharap banyak sama pemerintah sih, cuma, mesti ada tempat yang layak untuk mewadahi kreativitas dan semangat seniman untuk berkarya.
Terakhir nih, kalau lo disuruh ngejelasin seni lo dalam satu kalimat, lo bakal bilang apa?
Seni adalah hujan.