Berdemo Untuk Menghidupkan Lagi Demokrasi

Secara resmi Negara Indonesia menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Itu artinya kekuasaan terbesar berada di tangan rakyat. Tapi kenyataannya jauh panggang dari api. Rakyat hanya didatangi saat pemilihan saja untuk dimintai suaranya. Begitu menang (jadi legislatif atau eksekutif) si kampret langsung lupa sama janji-janji manisnya dan langsung pasang jarak jutaan tahun cahaya dengan rakyat.

Dalam sistem demokrasi (seharusnya) pengambilan keputusan tak bisa berjalan tanpa partisipasi publik. Partisipasi publik dibutuhkan sebagai jaminan bahwa keputusan yang diambil benar-benar muncul dari masyarakat. Ini juga mencegah supaya aturan-aturan tidak sampai dibuat di ruang tertutup demi keuntungan perusahan anu atau anu, dan ironisnya memang seperti itulah yang terjadi sekarang ini. sebagaimana pernyataan  populer Mahfud MD bahwa di DPR itu banyak transaksi jual beli Undang-Undang.

Salah satu contoh kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan partisipasi publik adalah UU CIPTA KERJA (CILAKA) yang dibuat dalam tempo yang sangat cepat, minim transparansi dan tidak menyertakan dialog terbuka dengan pihak yang bakal kena imbasnya seperti kaum buruh misalnya. Dialog juga harusnya melibatkan dengan akademisi yang ahli di bidangnya. seperti yang diketahui bersama banyak pasal dalam UU CIPTA KERJA tersebut yang merugikan pekerja dan merusak lingkungan juga hanya menguntungkan kaum tertentu saja. Sedikit contoh saja, dalam UU CIPTA KERJA buruh yang tadinya dapat pesangon senilai 32 kali gaji berganti jadi maksimal 25 kali gaji. Itupun sebagian dibebankan ke pemerintah melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Dari pemerintah” di kalimat sebelumnya mesti diinsyafi baik-baik. Sebab kita semua tahu bahwa penadapatan negara masih mengandalkan pajak dari rakyat. Dengan kata lain uang rakyat jugalah yang dipake, keputusan ini jelas-jelas menguntungkan pihak perusahaan.

 

Kalau aturan yang dibuat tidak berpihak pada rakyat tentu saja publik jadi jadi bertanya-tanya kenapa keputusannya begitu? kenapa keputusannya begini? Dan jika rakyat sudah kadung marah dan merasa suaranya tak didengar maka demonstrasi adalah langkah yang harus diambil.

Demonstrasi memang sangat manjur untuk menegakan kontrol terhadap pemerintah. Lewat jumlah massa yang banyak di jalanan memberi sinyal bagi pembuat aturan bahwa aturan mereka itu tidak diterima oleh masyarakat. Demonstrasi juga bisa menjadi kesempatan untuk pendidikan politik bagi masyarakat. Dan jangan dianggap enteng demonstrasi sebab pada faktanya beberapa aksi demonstrasi pernah merubah aturan bahkan merubah haluan negara kita ini.

contohnya, kejatuhan Soekarno berkaitan erat dengan demo mahasiswa yang tergabung dalam KAMI yang meminta Soekarno untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia, perombakan kabinet dan menurunkan harga-harga barang yang melambung tinggi. Tekanan masa ini jadi latar lahirnya Supersemar 1966 yang memberi mandat pada Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Setali tiga uang dengan yang dialami Soekarno, Soeharto yang dikenal sebagai the smilling general ini pun mesti rela melepas tampuk kekuasaan yang ia rawat selama 32 tahun berkat aksi demonstrasi mahasiswa pada Mei 1998 yang dipicu oleh krisis moneter. Hasil dari demonstrasi tersebut bukan hanya turunnya Soeharto tapi juga lahirnya Reformasi, pembatasan masa jabatan presiden, dan pemilu multi partai. Ada pula demonstrasi Reformasi dikorupsi 2012 demo ini berakar dari penolakan kriminalisasi KPK dalam kasus “cicak vs buaya”.  Gelombang protes di media sosial dan jalanan memaksa pemerintah mengembalikan penyidik KPK, Novel Baswedan ke posisi semula serta menekan Polri untuk untuk mundur dari konflik, dampaknya saat itu adalah penguatan posisi KPK, dan banyak contoh lainnya.

Sekarang masyarakat pun sedang melaksanakan demonstrasi yang mungkin skalanya bakal menyamai demonstrasi 1998. Demonstrasi ini bermula dari marahnya publik terhadap kenaikan gaji DPR RI yang terlalu besar. Meskipun Puan Mahrani menjelaskan bahwa tidak ada kenaikan gaji, cuma kenaikan tunjangan hal itu sama saja. gaji duit, tunjangan duit. apalagi tunjangan rumah 50 juta sebulan itu dinilai terlalu berlebihan, tak sepadan dengan kinerja DPR yang memble, tidak transparan dan gak jelas kerjanya apa.

ironisnya sinyal-sinyal kemarahan publik ini dibalas dengan hal yang tak layak oleh anggota DPR macam Eko Patrio, Uya Kuya dan Ahmad Syahroni dengan meledek dan menghina masyarakat di media sosial. Akhirnya demonstrasi besar-besaran pun terjadi di depan gedung DPR. Saat masyarakat berdemonstrasi untuk menyampaikan aspirasi anggota DPR bukannya menemui, mendengarkan apa tuntutan mereka, wakil rakyat ini malah WFH dan plesiran ke luar negri. Sungguh nirempati.

Demonstrasi bukanlah hal sia-sia, demonstrasi adalah sarana nyata bagi masyarakat untuk mengekspresikan aspirasi, mengoreksi kebijakan yang keliru, serta menuntut keadilan ketika jalur formal tak lagi memadai. Setiap suara lantang mencerminkan kegelisahan rakyat yang tidak boleh diabaikan, sekaligus menjadi pengingat bahwa demokrasi hanya hidup jika warganya berani bersuara.

Tapi apa yang mesti dilakukan apabila demonstrasi berubah menjadi tindak kriminal seperti penjarahan atau pembakaran?

Pertama harus ditegaskan bahwa itu adalah tindakan yang mencederai demonstrasi. Demonstrasi dilakukan untuk menuntut pada pemerintah, bukan bergerombol untuk mencuri. Kedua harus diperiksa dengan setidaknya dari sisi pendemo bisa menjauh dari lokasi penjarahan dan tetap melakukan demonstrasi di tempat yang seharusnya. jangan ikut-ikutan sebab itu akan menciderai perjuangan. atau bisa juga berkonsolidasi dengan anggota demonstran agar menguatkan komitmen berdemonstrasi. Jangan mau disetir oknum supaya bikin rusuh.

Berkaca pada situasi terkini, nampaknya dalam demonstrasi kali ini, kita harus mundur dulu sebab paska arahan Presiden Prabowo kepada TNI dan POLRI untuk mengambil langkah tegas dalam menyikapi massa yang berlangsung, yang kemudian juga ditindak lanjuti oleh pernyataan KAPOLRI Listiyo Sigit Prabowo yang memperbolehkan penggunaan senjata api dalam menyikapi situasi aksi di lapangan.

Berdemonstrasi adalah hak kita sebagai warga negara demokrasi, demonstrasi juga adalah pil ajaib yang bisa memaksa membangkitkan demokrasi yang mati suri. Tapi untuk kali ini harus mundur dulu, sebab tindakan refresif aparat hanya akan menjatuhkan korban lagi.

Minpang di sini~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like
Yuk Berkawan

Bareng-bareng kita berkarya dan saling berbagi info nongkrong di grup whatsap kami.

Promo Gack dulu, dech Ayooo Berangkat!