Glek…
Glek…
Selepas kerja, dari arah Cikopo, sembari menunggu lampu merah Sadang berganti hijau, saya menenggak minuman kemasan yang saya simpan di dashboard motor. Sesekali, pandangan saya tertuju ke bangunan di samping kiri, yaitu Sadang Terminal Square (STS).
Mal yang dibangun pada tahun 2005 ini seperti kehilangan masa jayanya. Temboknya kian kusam, pagarnya berkarat, dan tak banyak terlihat orang yang lalu lalang. Kini, bangunan itu ibarat manusia yang kehilangan gairah—hidup segan, mati tak mau.
Kabarnya, kios-kios di lantai atasnya sudah tutup dan tak berpenghuni. Saya tidak tahu pasti, karena tidak pernah secara sengaja melihat-lihat ke lantai atas. Alasan saya pergi ke STS pun terbatas hanya untuk sekadar menonton di bioskop, atau paling tidak sesekali menemani istri ke Solaria. Tapi, memangnya sekarang orang-orang ke STS untuk apa, selain ke CGV, Solaria, atau KFC?
Padahal, sekitar tahun 2016, lantai dua-nya masih banyak kios yang dihuni penjual HP second, barang elektronik, hingga optik. Saya ingat pernah mengantar teman membeli HP second di sana.
Bahkan, jauh ke belakang, sependek ingatan saya, STS beberapa kali sempat mengadakan pertunjukan sirkus yang bintang tamunya manusia-manusia unik. Seperti manusia berbulu lebat macam kera atau manusia yang diklaim tertinggi di dunia. Saat itu, saya menonton pertunjukan tersebut dengan bapak yang penasaran setengah mati dengan manusia kera.
Untuk ukuran kabupaten kecil seperti Purwakarta, dulu STS layaknya oase di tengah gurun gersang. Pasalnya, STS merupakan tempat yang terbilang lengkap. Bagi yang mau olahraga, STS punya gym. Untuk keluarga yang ingin berbelanja, bisa ke Ramayana. Setelah berbelanja, bisa makan di KFC sambil mengasuh anak-anak di Timezone. Selain itu, STS sering mengadakan hiburan musiman seperti sirkus atau wahana rumah hantu yang membuat suasananya semakin semarak dan menarik banyak pengunjung.
Menjelang malam, giliran para kawula muda Purwakarta yang menyambangi STS untuk dugem di Queen. Pokoknya, Queen ini tempat anak gaul Purwakarta menghabiskan malamnya. Maka, sudah dipastikan kalau yang kuper seperti saya tidak pernah mencoba tipsy di sana.
Kehadiran CGV pun turut melengkapi kepingan puzzle di STS. Bioskop pertama di Purwakarta ini sangat disambut hangat oleh warga. Bagaimana tidak, sebelumnya saya atau warga Purwakarta lainnya harus menempuh jarak puluhan kilometer hanya untuk menonton film di bioskop Karawang.
Seingat saya, STS dulu juga sempat punya kolam renang, yang sekarang lahannya dijadikan tempat parkir. Saya sih belum pernah masuk, tapi dari cerita Fredel, untuk ukuran zaman baheula, kolam renang STS lumayan maju, karena memiliki waterboom serta ember yang otomatis tumpah ketika airnya penuh.
Sayangnya, kolam renang di STS tidak bertahan lama. Rumornya sih ditutup karena pernah ada yang celaka saat berenang di sana. Tapi entahlah, toh setiap kolam renang yang tutup biasanya memang diiringi rumor semacam itu.
Sebenarnya, tidak mengherankan kalau STS kondisinya bisa menyedihkan seperti sekarang. Badai pandemi COVID-19 memang tak pandang bulu—retail yang berjaya macam Giant pun bisa tumbang. Jadi, melihat STS masih berdiri di tengah kondisi sulit seperti sekarang saja, saya sudah salut.
Minat masyarakat terhadap mal juga sudah mulai berkurang. Selain lebih memilih berbelanja online, saat ini orang-orang cenderung membeli barang ke tempat yang lebih spesifik. Misal, ingin beli furnitur, ya langsung ke toko furnitur. Jadi, tidak harus menghabiskan banyak waktu berkeliling di mal.
Maraknya kedai kopi estetik di Purwakarta yang lebih mudah diakses juga membuat STS terpinggirkan sebagai tempat nongkrong. Padahal, dulunya STS sering dijadikan tempat kencan ala anak muda perkotaan yang nongkrong di mal.
Kini, hiburan di Purwakarta dihidupkan oleh kawula muda dalam kelompok-kelompok kecil, seperti Hexa yang sering menggelar gigs, atau Coffee Rider yang rutin menampilkan stand-up comedy setiap malam minggu. Ditambah lagi, komunitas-komunitas Purwakarta juga aktif mengadakan kegiatan sesuai fokusnya. Setidaknya, hal ini membuat Purwakarta tidak terlalu sepi.
Menarik sebenarnya, ketika geliat investasi di Purwakarta semakin berkembang, ditandai dengan masuknya brand-brand besar seperti Starbucks, Ace Hardware, J.Co, dan lainnya, STS justru tampak tertunduk lesu. Bahkan, untuk sekadar bertahan, STS perlu ditopang oleh CGV, KFC, dan Solaria.
Di tengah kondisi STS yang memprihatinkan, justru ada kabar bahwa Purwakarta akan membangun mal baru. Kalau benar-benar dibangun, tampaknya STS akan tamat dalam waktu singkat. Bisa saja ini menjadi kali terakhir saya bercumbu dengan STS, mengingat-ingat momen manis dengannya.
Saya pun menyimpan kembali minuman di dashboard motor. Namun, tenggorokan saya yang tadinya basah kembali kering ketika tanpa sengaja melihat baliho politikus yang lebih banyak gimmick dibanding pesan politiknya. Setelah itu, saya berhenti bernostalgia dengan STS dan mulai mengasihani kota ini. Sampai akhirnya, saya tak peduli lagi ketika dikagetkan oleh raungan klakson kendaraan di belakang yang menandakan lampu sudah hijau.