Pernah ngerasa beli Pertamax tapi rasanya kayak Pertalite? Tenang, lo nggak halu. Kejaksaan Agung baru aja bongkar skandal bensin oplosan yang ngerugiin negara triliunan.
Bensin Oplosan dan Budaya Korupsi yang Terus Dikasih Panggung

Gini lo pernah nggak sih beli es teh manis, eh rasanya kayak ada air kerannya? Nah, kurang lebih itu yang kejadian sama Pertamax belakangan ini. Tapi bedanya, yang ini bukan cuma bikin kecewa, tapi juga merugikan masyarakat sampai Rp 17,4 triliun per tahun menurut perhitungan direktur Economy Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda.
Menurut laporan media Grid, Kejaksaan Agung baru aja bongkar skandal korupsi yang melibatkan Pertamina. Jadi, antara tahun 2018-2023, ada dugaan Pertalite (RON 90) dioplos biar bisa dijual sebagai Pertamax (RON 92). Terus, mereka juga impor Pertalite dengan harga Pertamax. Hasilnya? Duit negara menguap, kendaraan kita minum bensin oplosan, dan kita cuma bisa mengelus dada sambil menyaksikan motor yang jadi batuk-batuk.
Mochtar Lubis sebagai salah satu penulis beken di Indonesia—punya analisis mendalam soal budaya korupsi ini.
Budaya Korupsi dalam Pemikiran Mochtar Lubis
Mochtar Lubis, dalam bukunya Manusia Indonesia, udah lama ngomongin soal sifat-sifat buruk orang Indonesia yang bikin negara ini nggak maju-maju. Dan kalau kita lihat, skandal Pertamax oplosan ini kayak jadi bukti nyata teorinya. Coba kita bahas pemikirannya.
Munafik Mode: ON
Pejabat sering banget ngomong soal “integritas” dan “melayani rakyat,” tapi di belakang layar? Ngeracik Pertamax kayak barista yang lagi magang bikin espresso. Bedanya, yang ini nggak enak dan bikin rugi banyak orang.
Munafik berarti ada yang kontras antara apa yang dipikirkan dan diucapkan dengan apa yang dilakukan. Mochtar Lubis menganggap bahwa ini adalah salah satu dorongan orang Indonesia untuk survive. Iya, mekanisme survival-nya bapuk sampe ngerugiin satu negara.
Feodalism Strikes Again
Atasan nyuruh, bawahan nurut. Bahkan kalau disuruh ngoplos bensin, ya jalan aja. “Kalau nggak nurut, nanti saya digeser.” Lah, ini jabatan atau kursi plastik di warung kopi?
Menurut Mochtar Lubis, ini ada kaitannya dengan sejarah Indonesia. Masyarakat Indonesia selama ratusan tahun itu dikuasai oleh raja dalam sistem feodalisme yang menuntut kepatuhan absolut pada atasan. Kalau nggak patuh, maka akan dianggap mendapat semacam “kualat” gitu.
Udah gitu diperparah juga dengan penjajahan bangsa eropa dengan sistem yang membagi ras: golongan eropa, timur asing, dan bumiputra. Makin tinggilah rasa inferior dan kecenderungan buat patuh itu.
Alhasil, mereka korupsi Pertamina gas terus karena bawahannya juga nurut-nurut aja.
Jadi kalau kita ngomongin siapa yang salah, ya jelas bukan cuma individu. Ini udah sistemik, alias udah menjadi budaya yang diwariskan turun-temurun.
Kasus Pertamina: Refleksi Menormalisasi Budaya Korupsi
Oke, kita tahu budaya korupsi ini bukan karena orang Indonesia lahir-lahir langsung pengen nyolong. Ini kebiasaan yang diwariskan, sistem yang ngebentuk, dan lingkungan yang permisif. Jadi, kalau kita mau benerin, ya harus mulai dari nutup celahnya.
Normalisasi Jujur, Jangan Malah Nyinyirin
Pernah nggak sih liat orang jujur malah dibilang “nggak bisa diajak main”? Nah, ini problem klasik. Di Indonesia, sering kali orang yang nolak ikut main kotor malah dikucilkan. Padahal, kalau kita mau budaya korupsi ilang, ya harus mulai dari mengubah cara pandang. Orang jujur bukan orang bego. Mereka justru pahlawan kecil yang susah banget ditemuin. Jadi, mulai biasakan apresiasi orang-orang yang lurus.
Bangun Budaya Jangan Asal Nelen
Mochtar Lubis bilang salah satu masalah kita adalah patuh secara absolut. Udah saatnya kita ganti mindset untuk skeptis.
Sederhana saja. Kalau ada aturan yang aneh, tanya. Kalau ada pungli di instansi, laporin. Kalau ada kebijakan yang merugikan rakyat, kritisi.
Jangan gampang puas dengan jawaban, “Emang udah dari dulu begini.” Karena kalau semua orang diem, ya korupsi bakal tetep jalan kayak playlist lagu galau di tengah malam.
Mentalitas “Nggak Mau Ribet” dan Dorongan Korupsi
Sering kali korupsi kecil dianggap wajar: nyogok buat SIM, kasih “uang rokok” biar urusan cepat beres, atau nitip absen di kelas. Padahal, ini semua nyiapin mental orang buat ngelakuin yang lebih besar nanti. Jadi, kalau mau sistem bener, orang-orang juga harus benerin kebiasaan pribadi. Mau ribet dikit nggak apa-apa, yang penting nggak ngebiarin korupsi tumbuh.
Jangan Pesimis Mulu
Kita sering merasa nggak bisa ngubah apa-apa. Tapi percaya deh, satu suara aja bisa bikin efek domino. Jangan ragu buat ngomongin kasus kayak gini ke orang sekitar, biar makin banyak yang sadar. Bisa lewat diskusi ringan, postingan media sosial, atau kalau lo mau ekstra, bikin petisi atau laporin ke instansi terkait.
Memberontak pada Normalisasi Korupsi
Kasus bensin oplosan ini bukan sekadar skandal biasa, tapi gambaran dari budaya korupsi yang terus dikasih panggung. Seperti yang dibilang Mochtar Lubis, kita hidup di sistem yang membiarkan kemunafikan dan kepatuhan absolut berakar kuat.
Selama masih ada pejabat yang jualan integritas tapi diem-diem ngerugiin negara, dan selama mental “asal nurut atasan” masih dipelihara, korupsi bakal terus jalan tanpa rem. Masalahnya, kita sering kali cuma bisa ngelus dada sambil pasrah, seolah-olah ini hal yang nggak bisa diubah.
Tapi, pasrah aja nggak bakal bikin perubahan. Kita bisa mulai dari hal kecil: biasakan apresiasi kejujuran, lawan mentalitas “nggak mau ribet” yang bikin korupsi tumbuh, dan berani mempertanyakan kebijakan yang mencurigakan. Jangan kasih celah buat budaya korupsi terus eksis.
Leave a Comment