Beberapa hari yang lalu saya sempat kelepasan omong terhadap seorang siswa PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) saya. Saking geregetannya, saya sampai misuhi dia dengan kata-kata khas Malang: j**cuk. Penyebabnya, dia sibuk ngobrol sambil memainkan gawainya ketika kegiatan pembelajaran sedang berlangsung.
Selepas pelajaran, saya merasa menyesal dan meminta maaf kepadanya sambil menjelaskan kenapa sampai terucap kata mutiara khas Malang (mungkin Surabaya juga) tersebut. Dan ternyata dia menjawab dengan enteng: Oyi, Pak. Asaib … kera ngalam kok. Lek salah yo uduk gelem diseneni. Ancene aku salah. Artinya kurang lebih adalah “Iya Pak, biasa saja … anak Malang kok. Kalau salah ya harus bersedia dimarahi, memang saya yang salah.”
Pembelajaran di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
Begitulah cuplikan fragmen kehidupan malam saya. Yang mana satu atau dua malam dalam seminggu, saya mengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kartini di Kota Malang. Lembaga pendidikan tersebut dulunya adalah Sekolah Paket (A, B, dan C), yang berada di bawah naungan bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Jangan membayangkan kondisinya seperti mengajar di sekolah formal. Peserta didiknya sangat heterogen baik dari sisi ekonomi, latar belakang keluarga, maupun usia. Sebagian besar adalah generasi milenial, namun ada beberapa peserta didik yang umurnya bahkan lebih tua dari saya.
Dengan jenis peserta didik yang heterogen tersebut, tutor/pendidik harus pandai-pandai menempatkan diri. Di kelas, saya memang bertindak sebagai guru, namun di luar kelas harus bisa menjadi teman. Sebelum maupun setelah jam pelajaran, saya biasa ngopi dan ngobrol santai di luar kelas dengan mereka. Tentu saja dengan berselimut asap tembakau, wkwkwk.
Situasi dan kondisi pembelajaran di PLS memang mengharuskan saya untuk bersikap fleksibel. Longgar dan friendly di luar kelas, namun tetap ketat dan disiplin ketika sedang dalam proses belajar-mengajar. Dan terus-terang, justru saya yang banyak belajar dari mereka. Contohnya ya dari hal-hal sederhana seperti yang saya ceritakan tadi. Bagaimana mereka dengan lapang dada bisa rumangsa. Mau mengaku salah dan siap dengan segala konsekuensi dari kesalahan tersebut. Sebuah sikap yang menunjukkan kebesaran hati.
Pejabat dan Tokoh Publik Perlu Mencontoh Kebesaran Hati Para Siswa PKBM
Entah mengapa saya merasa sikap tersebut sudah mulai langka, terutama di ranah politik. Lihat saja berita yang bersliweran di media massa. Ketika seorang pejabat baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif terjerat masalah hukum; berapa banyak dari mereka yang berani secara gentle mengakui kesalahannya? Hampir tidak ada. Yang sering terjadi mereka justru sibuk berkelit dan mencari alasan. Padahal kalau katanya kera ngalam: sak amba-ambane alas, isih luwih amba alasan. (seluas-luasnya hutan, masih lebih luas alasan) hehehe …
Alasan yang paling sederhana dan paling sering digunakan oleh para pejabat adalah sakit. Mungkin ini karena kebawa kebiasaan mereka waktu masih sekolah, demen mbolos dengan alasan sakit. Hingga ketika dewasa sakit panu atau kudis saja sudah bisa dijadikan alasan untuk menangguhkan panggilan pengadilan.
Ada beberapa contoh alasan yang lebih canggih. Let me remind you, misalnya ketika Pak Setya siapa itu. .. yang mengupayakan seribu satu alasan supaya lolos dari dakwaan korupsi. Sampai-sampai tiang listrik yang ndak tahu apa-apa dia jadikan kambing hitam. Atau kalau mau contoh terbaru, ada seorang Gubernur daerah khusus ibukota mana itu saya lupa … yang menurut saya sungguh layak dinobatkan sebagai master of alasan karena kepiawaiannya dalam merekayasa logika.
Semua itu demi apa coba? Demi menutupi kesalahan, dan lari dari potensi hukuman.
Apa cuma pejabat yang kelakuannya seperti itu? Tidak juga. Beberapa pemuka agama ketika terjerat kasus hukum juga sering melakukan trik yang sama, mencari-cari alasan. Alasan terbaik dan paling epic sejauh ini patut disematkan kepada seorang Imam Besar yang pernah pergi umrah itu. Gak tanggung-tanggung, umrah sampai 3 kali lebaran gak pulang-pulang. Eh itu Imam besar apa Bang Thoyib ya?’
Dari beberapa teladan buruk tokoh publik tersebut, saya kok merasa bahwa murid-murid PLS saya lebih baik, ya? Mereka mampu berbesar hati mengakui kesalahan dan menerima segala konsekuensi dari kesalahan tersebut. Tentang kebesaran hati ini saya jadi curiga, jangan-jangan semakin besar jabatan seseorang, maka hatinya semakin mengecil. Semoga saja tidak.