Aku selalu mengingat-ingat tentang konsep waktu yang pernah aku baca dari seorang sastrawan Aceh yang tidak dikenal luas bernama Musmarwan. Dia pernah berkata bahwa waktu itu relatif, karena kita menempatkan perasaan-perasaan di sana: terasa cepat dan lambat tergantung dari perhatian dan penantian kita terhadapnya.
Aku sekarang berumur 25 tahun, dan rasa-rasanya apa yang dikatakan Musmarwan terlihat benar adanya. Akhir-akhir ini waktu terasa melambat, sebab seringnya aku kebingungan mencari cara untuk membunuh beberapa menit dari dirinya. Di keadaan-keadaan seperti itu, aku jadi mengerti bahwa tidak melakukan apa-apa bisa jadi akan lebih melelahkan daripada melakukan banyak hal, sebab kita seolah mengejar sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak diketahui ujungnya.
Agar lebih mudah dipahami, pada kesempatan ini, aku akan menggambarkan tentang rasanya hidup di seperempat abad tanpa melakukan apa-apa. Adapun sebenarnya tidak melakukan apa-apa di sini bukan berarti tidak melakukan apa-apa, kami berusaha untuk melakukan sesuatu dengan cara melamar pekerjaan atau melakukan hal-hal yang sekiranya berguna. Tapi anggaplah semuanya masih terlihat sia-sia, tidak menemukan di mana ujung jalannya, dan kita asumsikan bahwa hal itu adalah tidak melakukan apa-apa.
Ketika kamu telah hidup di seperempat abad dan tidak melakukan apa-apa, kamu akan sering menginginkan semuanya jadi cepat berlalu dan menemukan fase baru dalam hidup. Tapi di sisi lain, ada suatu ketakutan untuk menjadi tua, yaitu ketika kamu tidak lagi masuk dalam kriteria sebagai pelamar kerja. Ada pula ketika kamu mengupayakan segala hal agar bisa mendapatkan pekerjaan, kegagalan-kegagalan yang telah kamu terima sebelumnya membuat kamu kehilangan motivasi. Kamu jadi takut untuk tetap terus melangkah, kamu takut jika perlahan-lahan pencarian itu akan membuat kamu hancur.
Kamu tidak lagi berani dalam mengambil keputusan, karena hidup kini tidak menyediakan banyak pilihan. Di umur-umur sebelumnya, ketika kamu melakukan kecerobohan, kamu akan lebih leluasa dalam memperbaikinya. Tapi di usia-usia sekarang, rasanya waktu tidak menyediakan banyak kesempatan. Kamu jadi lebih berhati-hati dalam memutuskan sesuatu, memperhitungkannya, mungkinkah itu akan benar-benar berhasil atau tidak. Kupikir, hanya orang-orang berani–bisa juga bodoh—yang melakukannya serampangan tanpa pertimbangan yang matang.
Melalui semua kekalutan itu, hidup di seperempat abad yang tidak banyak melakukan apa-apa ini, kamu akan sering mempertanyakan banyak hal, terutama yang berkaitan dengan diri kamu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu bermulai dari hal-hal terkecil sampai dengan apa yang akan kamu lakukan, dan akan jadi apa kamu nanti di beberapa tahun lagi. Kemudian, kita akan berusaha untuk menemukan apa yang sebenarnya kita sukai, apa yang membuat kita merasa tenang, apa yang membuat kita merasa lebih bernilai. Pertanyaan-pertanyaan itu akan terus berputar-putar di kepala. Kadang kala, meskipun sebenarnya kamu telah menemukan jawabannya, tapi kamu akan merasa tidak yakin bahwa jawaban tersebut dapat benar-benar merepresentasikan diri kamu yang sebenarnya. Di keadaan terburuk, kamu tidak akan menemukan jawaban yang memuaskan, sampai akhirnya berkesimpulan bahwa dirimu tidak benar-benar bernilai, dan tidak mempunyai keahlian apa-apa, bahkan bisa jadi tidak bisa diandalkan sama sekali. Pada akhirnya, ketika seharusnya kamu melakukan apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki diri, kamu akan kesulitan, karena ternyata perkara-perkara tersebut menguras terlalu banyak tenagamu.
Di saat kamu merasa kelelahan dan kamu tidak bisa menahannya lagi, akan ada perasaan ingin sekadar meluapkannya. Namun, seketika kamu akan tersadar bahwa lingkar pertemanan sudah tidak lagi sama, teman-temanmu itu telah sibuk dengan keadaannya masing-masing. Perlahan kamu tahu bahwa kamu telah sendirian, dan tidak bisa menemukan siapa-siapa lagi untuk sekadar berbincang hal-hal remeh atau bahkan menenertawakan sesuatu yang receh di internet. Kamu akan berusaha mengenang semua itu, dan berharap waktu bisa dikembalikan ketika semuanya berjalan begitu menyenangkan. Peristiwa-peristiwa hangat tadi hanya bisa kamu proyeksikan di kepala.
Akan tetapi jika hal-hal tadi tidak terjadi padamu, maka bersyukurlah. Kamu bisa menceritakan hal yang kamu resahkan kepada seseorang atau salah satu lingkaran pertemananmu, dan itu merupakan hal yang begitu berharga. Kamu setidaknya bisa memiliki waktu, meski hanya sebentar, untuk melarikan diri dari kepenatan dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalamu. Hal tersebut akan membuatmu merasa sedikit lebih lega. Selepas itu, kamu akan merasa hidup bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya.
Namun waktu terus bergerak maju dan hal-hal baru akan selalu berdatangan ke setiap orang. Ketika kamu sadari bahwa tidak ada lagi siapa-siapa yang dapat menerimamu, akan ada kemungkinan kamu berubah menjadi orang yang sentimentil. Sebab ketika kamu membutuhkan ruang untuk mendisuksikan apa yang ada di kepalamu, ketika orang-orang tersebut perlahan menghilang entah ke mana, atau bahkan bisa jadi fokus mereka bukan lagi mengenai kegiatan yang kamu harapkan, kamu akan merasa diabaikan.
Di waktu-waktu awal, kamu akan menyalahkan mereka atas ketidakpedulian. Akan tetapi, semuanya berubah saat menyadari bahwa kamu tidak bisa mengatur semua orang, dan semua orang tidak berporos pada dirimu yang begitu-begitu saja. Mereka berubah sesuai dengan apa yang mereka terima dan inginkan. Pada saat itu, kamu akan berupaya untuk memaklumi semuanya, tapi di saat yang sama kamu akan merasa bersalah karena telah berbuat jahat kepada mereka dan itu menjadikan dirimu semakin tertekan.
Meskipun sebenarnya kamu mungkin saja bisa mendapatkan lingkar pertemanan yang lain, dan merasakan hal-hal yang sebelumnya kamu rasakan dan kamu inginkan. Sayangnya, kamu tidak punya cukup tenaga untuk mencari orang-orang baru, berkenalan dengan mereka dari awal, berusaha mengakrabkan diri lagi.
Bahkan ketika kamu menemukan seseorang yang dapat menerima cerita-ceritamu, kamu akan bercerita kepadanya, seterbuka mungkin. Akan tetapi, akan ada di saat-saat tertentu kamu akan berpikir bahwa barangkali orang tersebut memiliki permasalahan yang lebih berantakan dari apa yang kamu alami. Ketika memikirkan itu, kamu akan merasa bersalah karena tidak mempedulikan kondisi orang lain lebih dulu, kamu merasa diri kamu ini egois, dan seolah menjadi satu-satunya korban kehidupan.
Hidup di seperempat abad dan tidak melakukan apa-apa sebenarnya tidak dapat dibandingkan dengan hidup di seperempat abad dan melakukan banyak hal, keduanya mempunyai situasi sulitnya masing-masing. Tulisan ini hanya berusaha untuk memberi tahu bahwa sebenarnya tidak melakukan apa-apa bukan berarti juga tidak merasakan apa-apa. Kupikir tidak ada pula orang yang ingin hidup dalam tekanan tanpa bisa berbuat banyak. Mereka juga bukannya pasrah dan pengecut, mereka hanya menginginkan sebuah kesempatan untuk bisa hidup dengan layak, ditambah keberanian dalam memutuskan banyak hal.
Di seperempat abad dan belum melakukan apa-apa ini, waktu hanya meninggalkan kekhawatiran, dan itu akan bertambah seiring dengan berjalannya usiamu. Kamu akan memasuki pertaruhan-pertaruhan dengan waktu yang menempatkan perasaan dan penantian dalam menjalankannya: akankah melambat, cepat berlalu, atau berhenti di suatu saat tertentu.