Merujuk pada Merriam-Webster Dictionary, AI (Artificial Intelligence) adalah teknologi kemampuan berpikir komputer atau mode yang dapat menirukan kemampuan berpikir manusia. Jadi di sini bentuk-bentuk kemampuan menalar manusia untuk menyimpulkan sesuatu, melakukan asosiasi, menggambar, melukis, sampai menulis puisi bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan ini. Dilihat dari segi kegunaannya teknologi ini sifatnya beragam. Pada prakteknya di dalam kehidupan bermasyarakat, orang-orang memanfaatkan AI sebagai media untuk belajar dan sumber hiburan. Anak-anak sekolah sampai mahasiswa menggunakan AI untuk mencari konsep atau rumus tertentu dalam bentuknya yang bisa dipahami oleh mereka dan mempermudah mendapatkan referensi akademik.
Dalam memanfaatkan AI seperti di atas, masyarakat umum pun menggunakan AI sebagai sumber hiburan untuk mengedit foto dengan filter yang unik dan lucu, membuat gambar digital serta animasi video yang menarik. Hal ini dilakukan untuk mengisi waktu luang yang tersisa setelah berjam-jam fokus pada tugas akademik atau pekerjaan yang menyita tenaga.
Teknologi AI ini memiliki turunan yang bernama deepfake. Merujuk pada Merriam-Webster Dictionary lagi, deepfake adalah sebuah gambar atau rekaman yang telah diubah dan dimanipulasi secara meyakinkan untuk menampilkan seseorang secara salah melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya ia lakukan atau katakan.
Sekarang fokus mesti diarahkan pada bagaimana teknologi ini bekerja. Menurut Maia Mulko, deepfake bekerja dengan cara menggunakan generative adversarial networks yang pada intinya melatih fitur generator untuk mengambil dan menganalisa gambar-gambar sample yang ada untuk kemudian memunculkan gambar yang baru sesuai dengan keinginan pengguna lewat sebuah fitur yang bernama discriminator. Catatan: hal yang sama bisa dilakukan pada rekaman video atau pun audio.
Sebagai contoh: ada seseorang yang bernama B. Si B ini ingin mempunyai gambar sandwich tertentu dengan gambar wajah temannya. Di sini dia menggunakan Salah satu software atau perangkat lunak AI tertentu untuk mewujudkan keinginannya tersebut. Di sini teknologi deepfake menganalisa gambar wajah temannya dan gambar sandwich setelah itu menggabungkan keduanya menjadi sesuatu yang baru: sandwich tersebut akhirnya jadi berwajah temannya. Tentu saja hal seperti ini bisa berakibat buruk: gambar deepfake bisa dijadikan alat pemerasan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Kejahatan Pemerasan Menggunakan AI sebagai Modus Kejahatan Terbaru
Kegiatan pemerasan berarti mengancam seseorang dengan suatu hal untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Motif dari kejahatan ini pun dapat beragam dari mulai membalas dendam, perbedaan sikap politik, hingga ketidaksukaan pribadi. Biasanya hal yang dijadikan sebagai alat pemerasan adalah sesuatu yang bersifat memalukan atau mengancam keberadaan korban (bisa merupakan hal memalukan yang bersifat fakta yang disebut aib atau pun hal memalukan yang bersifat bohong yang disebut fitnah atau pencemaran nama baik).
Teknologi deepfake sebagai teknologi turunan dari AI ini berpeluang untuk dijadikan sebagai jalan baru pelaku untuk memeras korbannya yang kemudian terjadi adalah hilangnya rasa aman korban dan orang-orang dalam memanfaatkan internet (utamanya sosial media di mana dokumentasi foto dan video pribadi itu dibagikan) serta terampasnya kehormatan, serta harta-benda orang lain karena kepentingan pelaku pemerasan. Lalu di sini muncul pertanyaan-pertanyaan: Kenapa hukum perlu mengatur AI? Bagaimana cara hukum untuk mengatur hal tersebut?
Pengaturan Hukum tentang AI
Seorang politisi sekaligus ahli hukum Romawi yaitu Cicero pernah berkata, “Ubi societas ibi ius,” yang bermakna, “Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum.” Jadi di sini hukum dapat muncul karena adanya kehidupan bermasyarakat. Ketika orang memiliki relasi dengan orang lain, maka perlu diatur secara jelas dan tegas mengenai berbagai hak, kewajiban, larangan, dan sanksinya apabila kewajiban atau larangan tersebut dilanggar. Hal ini sengaja diatur, dan dilaksanakan supaya adanya ketentraman dan stabilitas sosial. Penjual seblak nggak mungkin dong bisa berjualan kalau ada konflik antar golongan masyarakat di daerahnya. Anak-anak sekolah dan mahasiswa nggak bisa tenang belajar dong kalau di setiap sudut jalan ada perampokan, pembakaran, vandalisme, dll. Ada dan tegaknya hukum adalah sebuah pra-kondisi atau syarat supaya kehidupan bermasyarakat itu bisa terjadi dan berjalan terus-menerus.
Dalam mengatur AI melalui hukum ini diperlukan lembaga-lembaga negara tertentu.
1. Peran Lembaga DPR dalam Menyikapi AI
Hal yang sama berlaku untuk AI. Keberadaan AI ini perlu diatur oleh hukum selaras dengan prinsip negara hukum pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga negara yang diberikan kewenangan oleh pasal 20A ayat (1) UUD 1945 untuk urusan legislasi mesti membuat Undang-Undang yang mengakomodir keberadaan, dan kejahatan yang berkaitan dengan Artificial Intelligence termasuk yang ada di dalamnya yaitu kejahatan pemerasan menggunakan AI. DPR mesti menempatkan hal ini pada prolegnas (program legislasi nasional) sebagai perwujudan memprioritaskan kebutuhan zaman akan pengaturan kejahatan AI. Pasal 19 ayat (1) dari UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa materi yang wajib ada pada prolegnas adalah judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Lampiran II angka 2 dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur format judul dari peraturan perundang-undangan tingkat pusat termasuk RUU wajib memuat: jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan perundang-undangan dengan memuat frasa Republik Indonesia.
Materi yang diatur dalam RUU ini pun mesti lengkap dan jelas untuk memenuhi salah satu cita hukum menurut Gustav Radbruch yaitu kepastian hukum selain keadilan dan kemanfaatan hukum. Di dalam sebuah RUU itu ada tiga bagian yaitu materi pembukaan, batang tubuh RUU, dan lembaran penjelasannya. Di bagian pembukaannya mesti memuat landasan filosofis dan sosiologis tentang pentingnya RUU tersebut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara serta landasan yuridis dengan cara mencantumkan pasal-pasal yang relevan seperti pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Selanjutnya di bagian batang tubuh RUU nya perlu memuat pasal-pasal yang berisi mengenai definisi mengenai AI, kejahatan-kejahatan yang berhubungan dengan AI, pihak yang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya (bisa organisasi berbadan hukum maupun individu), mekanisme pembuktiannya, jenis alat bukti yang sah, sanksi-sanksi hukumnya serta pemberian restitusi atau ganti rugi yang layak bagi korban.
Pada lembaran penjelasannya perlu untuk memberikan keterangan lebih lanjut pada pasal-pasal mengenai kejahatan AI yang masih bersifat umum supaya menghindari multi interpretasi kalimat atau frasa yang ada.
Lalu yang terakhir adalah keterhubungan antara RUU ini dengan peraturan Perundang-Undangan yang lain. Secara vertikal, RUU ini berhubungan dengan UUD 1945 sebagai dasar hukum peraturan Perundang-Undangan nasional utamanya pasal 28G ayat (1) tentang hak warga negara atas rasa aman dari tindakan ancaman. Ini adalah perwujudan dari asas atau prinsip “Lex superiori derogat lege inferiori,” yang bermakna, “Aturan hukum yang lebih rendah mesti sesuai dengan aturan hukum yang lebih tinggi.”
Secara horizontal RUU ini berkaitan dengan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Ada dua jenis KUHP yaitu KUHP lama yang masih berlaku sekarang dan KUHP baru yang baru akan aktif di tahun 2026. Pasal 368 ayat (1) KUHP lama sendiri mengatur pidana pemerasan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
Sementara pasal 482 ayat (1) dari KUHP baru berbunyi sebagai berikut:
“Dipidana karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap Orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan untuk:
a. memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau
b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa KUHP lama dan KUHP baru masih bersifat umum perihal pengaturan kejahatan pemerasan. Istilah “kekerasan” dan “ancaman kekerasan” di sini masih dimaknai sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan fisik yang bisa menggunakan otot, senjata tajam, atau senjata api. Padahal kekerasan mental yang kerapkali dilakukan menggunakan video vulgar, rekaman sarkastik yang dimanipulasi, dll. itu perlu diatur juga.
Pun kejahatan pemerasan yang dilakukan menggunakan AI di dalam ruang cyber atau internet oleh orang yang memiliki kemampuan tertentu mesti diatur secara khusus menggunakan UU khusus. Hal ini dilakukan supaya dapat beradaptasi dengan kebutuhan zaman, menentukan ukuran sanksi yang setimpal dengan bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, serta mengatur mekanisme pemprosesan hukum yang butuh tenaga ahli dalam bidang cybercrime.
2. Peran Lembaga Pemerintah dalam Menyikapi Kejahatan AI
Apabila sebuah RUU tentang Kejahatan AI itu sudah disahkan dan diundangkan di dalam lembaran negara, maka ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya mengikat secara umum dan mesti dilaksanakan oleh lembaga eksekutif yaitu lembaga presiden yang disebut pemerintah sebagai perwujudan sikap terhadap ketentuan hukum yang sudah dibuat oleh Parlemen atau DPR. Dasar hukum mengenai hal ini terdapat di pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Di sini tentu saja peraturan pemerintah itu mesti dijelaskan lebih lanjut di peraturan presiden dan dilaksanakan secara spefisik dengan keputusan presiden supaya apa yang dilaksanakan, siapa pihak yang melaksanakannya serta apa dampak yang diharapkannya bisa jelas. Tentu hal ini tidak selesai sampai di situ. Masih diperlukan peraturan menteri, keputusan menteri dari kementerian-kementerian yang terkait juga Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota agar pelaksanaannya bisa menyeluruh.
Pada pokoknya kerjasama antar lembaga dan pejabat negara dalam pengaturan dan pelaksanaan regulasi AI itu perlu supaya warga negara bisa memiliki rasa aman hidup dengan teknologi AI.
Referensi:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (versi lama).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (versi baru yang disahkan dan diundangkan pada tahun 2023 dan akan berlaku pada 2026).
Merriam-Webster. (n-d). Artificial Intelligence. Di kamus Merriam-Webster.com. Diakses pada tanggal 13 Maret 2024 pada
(https://www.merriam-webster.com/dictionary/artificial%20intelligence).
Merriam-Webster. (n-d). Deepfake. Di kamus Merriam-Webster.com. diakes pada tanggal 13 Maret 2024 pada (https://www.merriam-webster.com/dictionary/deepfake).
Mulko, M. 2022. “What is Deepfake Technology and How does It Work?” Interesting Engineering. Diakses pada tanggal 13 Maret 2024 pada (https://interestingengineering.com/culture/deepfake-technology-how-work).