Kemarin saya bawa teman dari USA (sebut jha Huck) jalan-jalan ke satu museum di Purwakarta. Waktu udah beres keliling, pengelolanya nyamperin sambil bawa-bawa HP (mau ngerekam gitu). Terus bilang gini,
“Punten, mau ngerekam.” kata si bapak-bapaknya sambil senyum. Anteng weeee teu punten teu naon.
Saya nanya, “Ngerekam apa, Pak?”
“Minta testimoninya ke si Bapak (nunjuk Huck).”
Iya. Ini gak sopan dan saya sudah muak dengan inferiority complex yang arggh! kunaon kudu menta testimoni ka batur?! kunaon teu ka pengunjung nu geus dumuk orang dieu? kunaon leuwih peduli omongan batur ti LN?!
Huck terusan nanya lah, “Dia mau apa?”
Saya menjelaskan dengan perasaan malu karena saya punya perasaan si Huck akan merasa privasinya terganggu, dan benar saja. Dia keberatan untuk berbicara dan direkam orang lain.
Saya inget dosen saya dulu pernah bilang, ada 3 kasta (tertinggi ke terendah) berdasarkan UU zaman kolonial. Urutannya:
- Orang-orang kulit putih Eropa
- Orang2 Timur Asing: Cina, Arab, India, atau non Eropa lainnya
- Inlander/pribumi
Lagian serius, deh. Undang-undang mana yang membagi kasta manusia, coba? berdasarkan rasial pula! Lagian kan katanya semua sama di mata Tuhan. Kenapa sepanjang hayat kita terkesan jadi selalu minder sama orang asing? Seolah apapun yang jadi identitas something luar negeri lebih hebat dan gak sebanding sama apa yang jadi identitas lokal kita. Ah atau emang tanpa minder dan inferioritas juga yang iseng mah iseng weh meureun.
Beberapa diantara kita mungkin tanpa urgensi yang jelas emang seneng aja ngomong kebarat-baratan meskipun grammar acak-acakan. Ya bodo amat, lah. Tapi jangan sampai pas ngobrol sama teman sendiri asyik main HP terus pas ngobrol sama orang asing merhatiin lekat, dong.
Coba aja deh perhatiin. Perlakuan orang Indonesia ke orang asing kok terasa lebih “istimewa” daripada ke orang Indonesianya sendiri. Se-simple kamu jadi frontliner suatu hotel atau rumah makan misalnya, lalu kamu lihat orang asing. Pasti beberapa temanmu ada yang nyeletuk,
“Ih bule, bule.”
Belum lagi orang lokalnya yang serombongan itu merasa istimewa karena ada orang asing di tengah-tengahnya sambil bilang,
“Temen saya ini bule loh, Mbak. Yang bener aja.” waktu dia tau dia harus jadi tamu waiting list.
Padahal gak ada aturan yang menyebut kalau kamu akan dapat hak istimewa ketika kamu adalah warga negara asing atau kamu bersama dengan orang asing.
Jujur, saya risih ketika ngajak Huck jalan dan ada orang yang ujug-ujug minta foto ke Huck. Masalahnya, saya yang malu. Kalaupun gak semua orang sadar kalau mereka punya inferiority complex atau perasaan minder atau apapunlah nyebutnya, tapi mungkin semua orang harus tahu urgensi mereka foto/videoin orang itu apa.
Padahal, si Huck cuma ingin jalan-jalan seperti orang biasa aja gitu kaya warga lokal. Santai dan gak diapa-apain. Tapi mungkin, selebritis juga gitu kali ya ke paparazzi?
Mungkin perasaan Justin Bieber yang nolak minta foto emang karena merasa dirinya diobjektifikasi. Merasa dirinya sejenis objek pertunjukkan, ya.
Bayangin aja kita makan bakso dan kepingin banget makan di tempatnya, tapi kita terus-terusan dilihatin dan difoto sama orang-orang di sekitar yang bahkan kita gak kenal. Gak enak, kan. Padahal kita cuma mau jalan aja kaya orang biasa gitu di Situ Buleud, yaaa. Bukankah itu lebih menyenangkan daripada cuma makan dan jalan di pusat perbelanjaan/hotel?
Setidaknya, ada 2 hal yang paling saya sayangkan kemarin: minta foto dan teriak-teriak mister ke si Huck. Perasaan gak nyaman yang saya rasakan ya mirip-mirip seperti kalau lagi di-catcalling, lah. Padahal, saya cuma dengarin aja, ya.
Tapi above all, terima kasih kepada Ibam, dan Cea karena sudah baik sekali sudah bersikap sewajarnya dan lebih mementingkan ngobrol bareng daripada minta foto. Huhu terharu. Mwah!