Belakangan ini saya sulit mencuri waktu luang untuk menonton film terbaru. Sebenarnya, ada sih waktu luang, tetapi saya lebih memilih rebahan sambil scroll Quora. Permasalahannya, makin kolot, saya makin gampang capek dan mengantuk. Tapi karena Fredel sudah misuh ke saya buat cepet-cepet ngirim ulasan film ke Nyimpang.com yang termasyhur kiw~ jadi saya putuskan untuk gece menulis ini.
Prisoners (2013) merupakan film garapan sutradara Dennis Villeneuve yang track record filmnya bisa dibilang mentereng. Sebenarnya sih, saya sudah menonton film-filmnya yang terbaru. Macam Arrival (2015), Sicario (2016) sampai Dune (2021). Akan tetapi, bagi saya Prisoners lebih membekas karena lingkup peristiwa yang tidak terlalu luas, membuatnya terasa lebih personal.
Prisoners menceritakan tentang Keller Dover (Hugh Jackman) dan tetangganya, Franklin Birch (Terrence Howard) yang kehilangan anaknya secara bersamaan saat perayaan Thanksgiving. Tak berselang lama, polisi berhasil menetapkan seorang remaja bernama Alex Jones (Paul Dano) sebagai terduga penculik. Setelah melewati proses interogasi, Alex justru dibebaskan. Dengan alasan Alex mempunyai kondisi mental yang membuat cara berpikirnya seperti anak 10 tahun. Belum lagi, tidak ditemukannya bukti forensik yang memadai di lokasi kejadian.
Merasa kinerja polisi lambat dalam menangani kasusnya, Keller menjadi kalang kabut dan main hakim sendiri. Keller meyakinkan Franklin untuk membantunya menyandera Alex kemudian menyiksanya dengan berbagai cara yang menyakitkan. Yang mana, bertujuan agar Alex mengakui kalau Ia memang benar-benar seorang penculik. Franklin yang percaya bahwa tindakan itu tidak akan membuat anaknya kembali, akhirnya Franklin memutuskan untuk tidak membantu Keller.
Dennis sangat cermat dalam memainkan emosi penonton. Menaruh kebimbangan bukan hanya pada karakter-karakternya. Tapi juga ikut menyeret penonton larut dalam mempertanyakan tindakan siapa yang dapat dibenarkan. Karakternya sengaja ditempatkan pada area abu-abu. Membuat penonton berprasangka dan terus curiga dengan perasaan yang kian bercampur-aduk sepanjang film. Keberpihakan penonton pun nantinya akan dibuat dinamis. Saya sendiri awalnya merasa simpati kepada Keller yang kehilangan putrinya. Sesaat kemudian saya merasa iba melihat Alex disiksa sedemikian pedihnya. Di sisi lain, tingkah Alex menyiratkan kalau dia memang benar-benar antagonisnya.
Mengingat kondisi mental Alex, sebenarnya saya ingin percaya bahwa ia bukan penculiknya dan ingin menghardik Keller seraya mengacungkan-jari-tengah karena telah main hakim sendiri. Tapi terkadang, perilaku Alex memang mencurigakan. Beberapa petunjuk juga seolah mengarah kepada Alex. Terutama ketika Alex tiba-tiba berbisik pada Keller:
“Dia tidak menangis sampai Aku meninggalkannya.”
Begitulah kata Alex, lengkap dengan reaksi tenangnya ketika diintimidasi. Membuat saya berpikir ulang kalau selama ini Alex memang menyembunyikan sesuatu.
Film ini berdurasi 2 jam kurang sedikit. Tensi ceritanya dapat terjaga dengan baik. Dennis tidak menyia-nyiakan durasi yang sebegitu panjangnya. Berkat kecerdikannya dalam menyelipkan kejutan-kejutan di setiap babak, elemen misterinya tetap terasa mencengkram. Apalagi ketika investigasi dari Detektif Loki (Jake Gyllenhaal) menguak petunjuk-petunjuk baru yang mengarahkan kepada terduga selain Alex. Memaksa saya untuk menebak-nebak siapa pelakunya.
Sinematografi dengan tone yang kelam, dingin, dan pucat juga berperan banyak dalam menyokong kegelisahan serta keputus-asaan para karakternya. Namun hal tersebut tidak ada apa-apanya, jika tanpa ensemble cast yang tampil sangat cemerlang.
Acting Hugh Jackman sebagai ayah yang kehilangan anaknya sangat meyakinkan. Semua kegelisahan, rapuh, dan marahnya dapat terpancar dari karakternya. Kehadiran Terrence Howard sebagai Franklin juga cukup berdampak besar bagi cerita dan perspektif penonton. Pilihanya untuk tetap bertindak rasional meskipun menjadi korban, seolah menjadi kompas moral bagi filmnya sendiri.
Kredit lebih patut disematkan kepada Paul Dano yang entah kenapa, saya rasa selalu cocok memerankan karakter yang cenderung berbeda dari orang pada umumnya. Untuk film yang memberi penekanan terhadap studi karakter, seluruh cast-nya berhasil memberikan performa yang solid sehingga antarkarakter mempunyai ikatan yang kuat terhadap penonton.
Dengan premis klasik tentang penculikan, Dennis piawai dalam meramunya menjadi sajian crime-thriller yang mencekam. Bukan saja dari misterinya yang dipresentasikan dengan begitu apik. Tapi bagaimana Dennis terus memprovokasi penonton lewat permainan emosi para karakternya. Tidak pernah menjaga rasa simpati terus-terusan ada pada satu karakter. Perasaan dilema terus dibiarkan berkecamuk selama film berjalan. Memperlihatkan sejauh mana batas moral manusia ketika dihadapkan pada titik terendahnya. Pengalaman menonton yang sejujurnya menganggu sekaligus mengasyikan disaat bersamaan. Bahkan ending-nya saja masih membuat saya kepikiran akan filmnya. Outstanding!