Di siang hari yang lapar, matahari rasanya nrelep alias menyengat di kulit yang hampir gosong ini. Suara berisik berasal dari perut. Aku memutuskan untuk cari lauk. Aku beli lauk di warung langganan. Terlihat banyak ibu-ibu yang sudah lebih awal datang dan menghadap bibi-bibi warung. Karena aku tahu bakal lama, aku memilih duduk dan bermain gawai.
Ibu-ibu itu masih bingung memilih lauk apa yang bakal dibelinya. Jarinya menunjuk kesana-kemari. Matanya stereo yang lirik kiri dan kanan, ya seperti lagunya Wali. Mulutnya tak mau diam, konsentrasinya terbagi antara memilih lauk dan gosip yang sedang hangat di desa sebelah. Aku hanya tersenyum, melihat obrolan mereka yang semakin jauh, semakin ketus.
Giliranku pun tiba, aku mulai ke depan. Lauk apa yang akan ku beli. Sontak, ada seorang ibu-ibu yang menyerobot dari belakang. Ia melirikku dan melontarkan untaian kata yang kayak tahi.
“Ora due rabi, ya, Nang?” (Tidak punya istri, ya, Nak?) kata si Ibu penasaran.
Aku mengernyitkan dahi dan lamat-lamat memandangi wajah Ibu itu. Maksudnya, aku bertanya-tanya pada diriku apakah aku mengenalnya atau tidak. Setelah beberapa terjeda karena aku tak mengenalinya.
Aku langsung jawab, “Durung, Bi, durung due rabi. Dudu ora, ya!” (Belum, Bi, belum punya istri,) jawabku sekenanya.
“Oh iya, pantas durung due rabi. Lawue tuku dewek!” (Oh, iya, pantas belum punya istri. Lauknya beli sendiri!) balas Ibu itu ketus.
Aku pun enggan meladeni bicaranya lagi. Aku telanjur tersinggung karena kata-katanya yang kayak tahi itu. Aku melengos dan fokus memilih lauk apa yang akan kubeli. Aku lupa karena sempat terjeda karena ibu-ibu itu. Ibu-ibu itu mencari topik lain pembicaraan.
“Menggawe apa, Nang?” (Kerja apa, Nak?) tanya Ibu itu.
“Nganggur, Bi,” jawabku serampangan.
Melihat respons itu, si Ibu terlihat jijik pada jawabanku.
Pada akhirnya, aku meralat jawabannya. “Aku ngajar di Jogja,” tandasku.
“Ngajare adoh temen, Nang!” (Mengajarnya jauh banget, Nak!) jawabnya takjub.
Aku pun selesai memilih lauk, ya seperti biasa: jengkol, orek, sayur asam, sambel, ikan, sama pete dua biji. Aku langsung pergi tanpa permisi sama ibu-ibu itu dengan membawa rasa kesal yang benar-benar kesal.
“Pertanyaan macam anjing, masih ada aja zaman sekarang!” umpatku berkali-kali dalam hati.
Aku memaklumi orang-orang di desa (atau di belahan bumi di manapun) memang ada yang suka basa-basi saja, saking sukanya jadi gak tahu etika bertanya. Harusnya, orang kan tahu gimana basa-basi, harusnya tahu apa itu bertanya dengan baik dan benar.
Aku tak peduli layer berapa yang mereka pakai untuk komunikasi sama seseorang tapi setidaknya mereka tahu tentang batasan-batasan apa saja yang sekiranya tidak boleh ditanyakan pada seseorang.
Perihal etika bicara, beberapa orang memahaminya serampangan. Masih sompal-sompal dan tentunya tidak utuh. Akibat dari itu ya tadi bertanya sekenanya, tanpa memedulikan perasaan orang lain. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri yang telah puas telah melontarkan tahinya yang tak seberapa itu. Bangsat!
Saya semakin paham bahwa gaya orang-orang berkomunikasi itu berbeda-beda. Berbeda-beda di sini maksudnya; direct atau indirect. Gaya komunikasi ini, biasanya ada di masyarakat rural yang seringkali berbasa-basi dahulu lalu menyampaikan apa yang sebenarnya ia sampaikan. Selama saya tinggal di tengah masyarakat rural, saya belum menemukan gaya bahasa direct, ya memang ada sih tapi sampai saat ini masih belum kentara.
Saya mengira bahwa orang yang suka berbasa-basi ini memiliki niat baik bagi sudut pandangnya: niat baik akan lebih dekat dan akrab dalam mengobrol dengan yang lain. Ya menurut saya, bebas-bebas aja orang mau memakai gaya bahasa manapun asalkan ia tahu tentang batasan apa saja yang tak boleh dilanggar.
Saya pernah mendengar kata-kata seperti ini:
“Kebebasanmu tidak berlaku untuk orang lain, dan kebebasan itu sendiri adalah sebuah batas yang membatasimu untuk tidak bebas.”
Jadi, ya tetap tidak bebas masih ada batasan yang perlu diketahui dalam lingkup komunikasi antar sesama.
Jadi, ya fuck you aja untuk ibu-ibu itu! Ibu-ibu yang tak tahu diri. Melontarkan kata-kata seperti tahi seenaknya saja. Kulempar balik, baru tahu rasa. Lho, Mampus makan ta*i! Bazingan! 🙁