TRIGGER WARNING! Tulisan ini bukan tutorial mempertebal iman.
Seringkali pertanyaan-pertanyaan semacam:
“Apa sih agama itu?”
“Apa cuma perantara kita dan Tuhan?”
“Agama dibikin untuk apa, sih? Untuk kepentingan Tuhan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengantarkan saya untuk duduk di majelis, forum diskusi, atau nonton YouTube bertema keagamaan dan spiritualitas. Tapi, itu semua tentu tidak cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Tentu jha saya tidak mengatakan duduk di majelis blabla itu sia-sia. Tapi faktanya, ketika saya duduk di suatu perkumpulan itu, saya memilih untuk asyik menyimak diskusinya dan menyimpan pertanyaan-pertanyaan tadi tetap di kepala saya. Saya sering berharap akan ada seseorang yang mengeluarkan sebuah quotes menggelegar yang bisa menampar saya dan seketika mencerahkan pikiran saya gitu tah. Tapi gak pernah. Hiks.
Saya berkesimpulan jika pembahasan yang dibawakan oleh orang-orang ‘di sana’ terlalu berat untuk diterima oleh level awam seperti saya. Sampai pada akhirnya saya kuliah di Bandung. Di sana, saya menjadi mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) yang sok-sokan banyak organisasi tapi ujung-ujungnya kandas juga. tapi setidaknya hal itu membawa saya bertemu banyak orang dengan preferensi keyakinan yang beragam. Asik juga, sih.
Di kampus-kampus, pembahasan tentang Tuhan dan keyakinan menjadi topik menarik dan selalu hangat dibahas di circle kampus. Mulai dari yang kekiri-kirian, kekanan-kananan dan netral-netralan. Berbagai kalangan dan pemikiran memenuhi ruang-ruang kampus. Ya semua sah-sah aja. Gak ada yang salah dan berbahaya, kok. Kadang kan ada aja yang bilang sekulerisme lah, liberalisme lah, komunisme lah, sampai atheis. Tapi bentar, bukannya justru yang mengkhawatirkan adalah skeptisisme, ya? Wihiw.
Gini, loh. Acapkali pengalaman manusia itu kan beda-beda, apalagi kalau ngomongin ‘pengalaman meyakini Tuhan’ atau katakanlah, ‘pengalaman berkenalan dengan Tuhan’, ya saya sih nyebutnya ‘mengalami Tuhan’. Misal, nih:
- Ada yang mengalami Tuhan karena belajar gitu sengaja di pesantren atau di sekolah katholik;
- Ada yang mengalami Tuhan waktu ban bocor di perjalanan kerja. Maki-maki motor dan mrungut tapi ternyata 1 Km dari titik ban bocor ada tabrakan beruntun yang baru aja terjadi;
- Ada yang mengalami Tuhan karena tersadarkan oleh orang yang tak diduga-duga;
- Ada yang mengalami Tuhan karena menyadari penderitaan tidak selamanya buruk dan bukan pula sebagai kutukan umat manusia;
- Ada yang mengalami Tuhan waktu ngelamun.
Pada intinya kan, banyak jalan menuju Tuhan. Kalau kamu mengalami Tuhan dengan cara belajar agama, ya bukan berati yang gak belajar agama gak punya kesempatan mengalami Tuhan, dong.
Di Bandung, saya sering menemui orang dengan latar belakang preman, penjudi, atau psk yang –sebutlah insyaf. Yang membuat saya kaget, justru orang-orang dengan latar belakang seperti itu justru dapat lebih mudah menerima ‘kenakalan’ ataupun ‘kesalahan’ orang lain sebagai rangkaian dari proses kehidupan. Bukan justru melaknatnya dengan pelabelan gak manusiawi seperti yang sering dilontarkan tetangga. He3x.
Anehnya, kalau diperhatikan… polanya selalu sama. Kalau ngomongin soal Tuhan, hidup, dan lain segala macam, mereka yang masa mudanya diombang-ambing kerasnya hidup justru gak pernah menganggap rendah orang lain. Malah kayanya lebih ngerti dan paham bahwa jalan hidup tuh gak ada yang tau.
Begitupun saya menyadari, bahwa kita seringkali menyama ratakan nilai ketakwaan berdasarkan penampilan, pada hal-hal yang sifatnya simbolis. Ya kalau seseorang berpenampilan sesuai syariat, dianggap baik dan mulia. Kalau enggak ya dianggap sebelah mata. Padahal, esensi dari takwa, agama, dan lain-lain itu kan ada di dalam diri. Ya sekarang orang mau pakai peci, gamisan, bewokan, tapi kalau kerjaanya menghujat, memfitnah, ya ngapain?
Saya pernah dengar, ceramah beberapa waktu lalu. Kurang lebih gini:
Kalau mau ngikutin sunah nabi, ya jangan cuma penampilannya aja, tapi tiru juga kecerdasan kenabiannya. Utamanya kecerdasan berpikir, kearifan pekerja, dan kemampuan menjadi penengah (mendamaikan).
Meskipun saya bukan pribadi yang taat, bukan berati saya gak mau jadi lebih baik lagi. Sangat ingin malah. Cuma, saya ingin beragama sesuai dengan kesadaran, bukan karena paksaan atau tuntutan dari luar. Kira-kira gitu, lah.
Toh, saya selalu percaya jika Tuhan akan selalu mendampingi setiap proses hamba-Nya, kok. Siapa yang tahu suatu saat kamu dan Tuhan berkenalan di waktu yang gak terduga?