

Sulit dipercaya rasanya pada masa kemajuan teknologi seperti sekarang. Informasi dapat dengan cepat dan mudahnya dibagikan, tapi when it comes to urusan transparasi anggaran yang dikelola pihak pemerintah masih menjadi suatu informasi yang langka, dan perkara cerai Ridwan Kamil mudah sekali bocornya. Betul apa betul?
Padahal, transparansi sangat diperlukan sebab menjadi pilar utama tata kelola yang baik, membangun kepercayaan publik, mencegah korupsi, meningkatkan akuntabilitas, dan mendorong partisipasi masyarakat yang rajin mengaudit kinerja para bawahan entuh (seperti Minpang).
Padahal di Indonesia, regulasi terkait informasi publik diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang memberikan hak akses bagi masyarakat terhadap informasi yang dikelola oleh badan publik.
Di tengah banjir bandang yang menerjang beberapa wilayah di Sumatra urusan transparansi ini semakin terlihat jelas. Apalagi jika dibandingkan dengan aksi bantuan dari sesama warga, Ferry Irwandi misalnya. Mas-mas berkacamata yang wajahnya mirip Sang Professor di series Money Heist itu melakukan penggalangan dana melalui plaftrom Kitabisa.com yang dalam 24 jam berhasil mengumpulkan lebih dari Rp. 10,3 miliar yang berasal lebih dari 87.600 donatur.
Penggalangan dana yang dilakukan oleh pentolan Malaka Project tersebut menjadi contoh bagaimana transparansi seharusnya dilakukan. Dana yang dihimpun dari publik dilaporkan secara berkala, rinci dan mudah di akses. Donatur dapat memeriksa berapa jumlah dana yang terkumpul, disalurkan ke mana, dalam bentu apa, dan sudah sejauh mana dana itu sudah terpakai. Transparansi semacam ini bukan hanya sebuah etika, tapi memang sebuah keharusan. Transparansi adalah cara paling wajar untuk merawat kepercayaan.
Padahal pihak pemerintah bekerja dalam skala yang jauh lebih besar, dana yang lebih melimpah, tim yang lebih banyak, dan memiliki sistem akuntabilitas yang (seharusya) lengkap. Namun yang terjadi justru transparansinya terasa abstrak. Informasi yang tersedia cuma bersifat persentasi dan perinciannya tidak bisa di akses oleh masyarakat luas.
Di sinilah persoalannya terlihat jelas. Transparansi itu bukan cuma soal laporan, tapi soal akses dan keterbacaan. Bagaimana bisa masyarakat percaya pada kinerja pemerintah kalau soal transparansi aja gak bisa diakses? Ya gak, Brody?
Bukan hanya soal transparansi, di tengah bencana Sumatra kita juga di hadapkan pada ngeyelnya pejabat kita. Ada yang sok-sokan panggul beras, ada yang pake rompi kemudian tunjuk-tunjuk, ada yang bilang akses listrik sudah menyala 90 persen padahal bohong. Ada juga ternyata yang tega-teganya melakukan tindak korupsi di tengah-tengah bencana.
Bencana harusnya jadi momentum evaluasi bagi pemerintah. Negara perlu mengatur ulang soal transparansi anggaran. Biar masyarakat tahu sebesar apa anggaran yang dikucurkan, ke mana saja anggaran itu mengalir, dalam bentuk apa bantuannya dan laporan real time.
Terakhir tentu saja, yang lebih penting adalah evaluasi besar-besaran tata kelola lahan. Tujuannya? supaya hutan di Sumatra tidak diubah menjadi kebun sawit semua. LIhatlah Jokowi, rambutnya deforestasi. Uh kasihan.