(Tulisan ini merupakan opini pribadi. Tidak mewakili panitia acara Odaliman Depan, atau Gusdurian Purwakarta)
Mana yang lebih efektif membangunkan seseorang yang sedang tidur pulas? Teriakan kemalingan motor dari luar rumahnya, atau pemberitahuan bahwa kekasih hatinya sedang menunggu di ruang tamu?
Saya yakin yang pertama akan membuat siapapun akan terbirit-birit bangkit dari kasurnya.
Sekarang, gantikan pertanyaan tadi dengan ini: Apa yang membuat orang tersadar pentingnya kerukunan antar umat beragama? Apakah karena ancamannya, atau karena impiannya?
Itulah dua perkara yang terjadi saat dua talkshow yang berbeda bahasan digelar pada acara Orang Muda LIntas Iman Dekanat Pantura (Odaliman Depan) di Pamanukan minggu lalu.
Saat Bikkhu dan Romo Ignas ngobrol di sesi talkshow pertama, mereka seperti memberitahukan orang yang tertidur bahwa kekasih hati kita sedang menunggu di ruang tamu.
Mereka memberitahukan hal-hal baik yang terjadi jika kita bisa menepikan perbedaan dan menyongsong persatuan. Pembawaan dan suara Bikhu yang tenang membawa namaste vibe, sementara wajah tampan Romo Ignas membuat kita berasa lagi jumpa fans dengan bintang Drama Korea. Semuanya berjalan lancar, kecuali pada bagian talkshow harus bubar sementara sebab hujan mengamuk di tengah-tengah tenda. Wkwk.
Talkshow kedualah yang nampaknya bikin saya mikir keras harus nulis apa sampai detik ini. Selain karena saya moderatornya, Romo Hario membawakan konten-konten pembuka yang setara dengan membangunkan orang dengan kabar kehilangan motor.
Talkshow itu menarik karena memicu diskusi-diskusi kecil setelahnya. Setidaknya saya sendiri sudah tiga kali terlibat diskusi lanjutannya. Pertama di sesi sebelum tidur di lingkar kecil pinggir lapangan. Kemudian tengah malam di Pojok Merokok.
Semuanya membicarakan konten-konten pembuka dari talkshow Romo Hario. Kesempatan yang bagus saya kira. Karena “obrolan” yang tadinya ditutup dengan wajah peserta yang masam, mulai dibuka kembali. Saya kira ini pertanda bahwa dalam benak peserta terjadi shifting (pergeseran) dari kesadaran reaktif belaka, menjadi kesadaran reflektif. Di pinggir lapangan, beberapa peserta dari OMK bilang bahwa topik itu membuatnya tak nyaman, dan menurutnya tak adil bagi komunitas muslim. Menarik, ternyata yang paling banyak terpantik dan merasa keberatan oleh konten-konten talkshow tadi justru anak-anak dari OMK.
Kemudian di pojok merokok, Rohiman bilang: takut anak-anak muda takut menjalin perkawanan dengan kawan-kawan beda agama.
Ini juga menarik karena saya kira kekhawatirannya kejauhan.
Pertama, kita meremehkan kapasitas anak-anak muda terhadap praktek toleransi. Dengan adanya ketidaknyamanan teman-teman katolik muda pada konten talkshow kedua saja, sudah membuktikan bahwa mereka aware, pembicaraan macam apa saja yang berpotensi “mengganggu”. Kedua, dan ini mungkin bersinggungan. Menurut data terakhir yang dirilis Lembaga Studi Setara menyimpulkan, bahwa generasi Z justru lebih toleran dari generasi-generasi yang lebih tua darinya.
Bisa jadi masalah toleransi sudah beres di generasi Z. Lha wong yang mereka bahas aja jauh lebih masuk akal dari kami sendiri. Plus, gerakan-gerakan kesadaran iklim saja sudah mereka pimpin sejak 5 tahun terakhir ini. Sementara generasi kita millenial sendiri masih ngomongin agama.
Takut anak muda salah paham? Jangan-jangan kita lagi menakutkan hal yang keliru.
Intinya, membangunkan orang dengan kabar kemalingan atau kekasih di ruang tamu, keduanya sama-sama efektif. Namun siapa yang sedang dibangunkan? Kita yang sudah lama bergerak di isu inilah yang sedang dibangunin.
Sekarang mari kita bicara lebih jauh soal ini.
Dalam dunia yang dibentuk oleh huru-hara media dan opini, kita selalu berada dalam keadaan bingung dan mudah terdistraksi. Karena itu masalah kita bukan jumlah hal-hal penting yang perlu kita perhatikan, melainkan skala prioritasnya.
So the key about this conversation is… bagaimana “isu keberagaman” ini bisa masuk skala prioritas setiap orang yang bersentuhan langsung maupun tak langsung dengan komunitas perkawanan lintas iman?
Dan rasa-rasanya ketakutan yang tepat untuk kita renungkan adalah, apa yang harus kita lakukan saat ruang aman itu terbatas, dan pendekatan-pendekatan yang kita gunakan mentok di situ-situ saja.
Buat saya, selain isunya mesti dikenalkan dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda, kita juga mesti pastikan ruang aman bisa terus diciptakan dan diluaskan.
Mulai dari topik seperti hal-hal baik jika kita menyadari kesamaan kita; hal-hal buruk jika kita cuma fokus melihat perbedaan-perbedaan saja; sampai pada percakapan yang jadi titik buta kita selama ini. Misalkan bahaya menjauh dari budaya otokritik; ruang untuk yang memilih tidak beragama di antara kita; sampai pada posisi transgender dan LGBTQ di komunitas kita.
Kemudian menjadikan aktivitas persaudaraan lintas iman ini tidak melulu sebagai hajatan besar nan formil saja. Ruang-ruang itu musti melebur dengan kultur nongkrong (hang out) yang anak muda banget.
Jadi dialog-dialognya bukan cuma di Gereja atau di perkemahan besar. Ia bisa selalu dimulai di ruang-ruang pencil dan jauh dari sorotan, di kafe milik teman, angkringan milik kawan, dan seterusnya. Acara juga tak harus dengan tamu-tamu besar. Bisa nonton bareng, diskusi antar mahasiswa, malam puisi, dan lebih banyak lagi opsi. Atau cuma sekedar curhat-curhat and chill. Biasalah, anak muda kan gitu yak.
Pada akhirnya jika komunitas lintas iman kita ini mau awet dan tumbuh dengan sehat, saya kira kita mesti terbiasa melihat isu-isu dan percakapannya berkembang–-gak cuma mentok di Bhinneka Tunggal Ika atau lakum dinukum wa liya diin doang. Karena pada satu titik nanti percakapan akan makin dilematis.
Dan di saat seperti itulah iman dan perkawanan kita diuji. Apakah kita bisa saling berjanji, bahkan dalam percakapan paling alot sekalipun akan tetap saling berhadap muka, sambil minum wedangan favorit masing-masing, untuk sama-sama menjaga titik temu (kalimatin sawaa’in) kita?
Ya mau bagaimana lagi, teman-teman? Itulah resiko orang “bangun”. Lagipula tidak mungkin kita ngopi saat sedang tidur. 🙂

sisanya pada sibuk foto-foto kang…
hatur nuhun pemikirannya..