Bahlil dan Para Cukong: Sejoli Penyamun Raja Ampat

Minpang

Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika di saat yang sama bencana ekologis mengintai, dipicu oleh aktivitas pertambangan yang tak terkendali?

Raja Ampat kini tengah menghadapi ancaman serius yang mengikis keelokannya. Sebagian wilayahnya telah digunduli dan dicekik oleh lalu-lalang kendaraan berat, sebuah pemandangan yang sama sekali tidak selaras dengan citra keindahan alamnya.

Pelakunya tak lain adalah sederet perusahaan tambang yang menancapkan kukunya di sana: PT. Gag Nikel (PT GN) di Pulau Gag, PT. Anugerah Surya Pratama (PT ASP) di Pulau Manuran, PT. Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) di Pulau Kawei, serta PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele.

Mereka datang untuk meraup keuntungan berlipat ganda, namun dengan harga yang teramat mahal: kerusakan alam yang parah, hilangnya habitat bagi beragam makhluk hidup, dan terganggunya masyarakat adat yang telah lama menggantungkan hidupnya dari wilayah itu.

Bencana Lingkungan Akibat Deforestasi dan Sedimentasi

Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan ini bisa dilihat dengan mata telanjang sebetulnya, kamu gak usah jadi anak indigo buat liat deforestasi di Raja Ampat. Untuk mengekstraksi kandungan mineral di dalam tanah, perusahaan-perusahaan ini tak segan melakukan pembukaan lahan dengan cara menebang hutan secara masif. Kegiatan ini, pada gilirannya, mengundang bencana. Longsor dan banjir menjadi lebih mungkin terjadi karena akar pohon yang berfungsi sebagai penopang tanah dan penyerap air telah disingkirkan. Padahal, ekosistem hutan hujan tropis di Raja Ampat adalah penopang kehidupan yang krusial.

Jika pohon-pohon ditebang sembarangan, kualitas udara di Raja Ampat jelas akan memburuk drastis. Ini mah anak SD juga tahu tapi kalau diantara anak SD itu ada yang namanya Bahlil, kayaknya dia gak tahu.

Dampak dari seluruh aktivitas pengrusakan ini bukan cuma mengganggu dalam skala lokal hanya lokal, melainkan juga menyumbang pada krisis iklim global.

Akibat lain yang tak kalah mengerikan adalah sedimentasi. Fenomena ini merupakan proses pengendapan material seperti batuan, tanah, atau bahan organik yang diangkut oleh air atau udara. Imbasnya sangat jelas: pencemaran lingkungan.

Sedimentasi akibat aktivitas tambang mencemari perairan di sekitar wilayah tambang. Lumpur dan material halus yang terbawa erosi akibat pembukaan lahan akan mengendap di terumbu karang dan padang lamun, mematikan biota laut yang menjadi tulang punggung ekosistem Raja Ampat.

Akibatnya, masyarakat setempat gak bisa lagi melakukan aktivitas penangkapan ikan untuk kebutuhan pangan maupun ekonomi, merampas mata pencarian utama mereka dan mengancam keberlanjutan budaya maritim yang telah ada turun-temurun.

Pelanggaran Hukum dalam Proyek Tambang di Raja Ampat

Aktivitas pertambangan di Raja Ampat bukan hanya merusak secara ekologis dan sosial, tetapi juga bertentangan dengan semangat dan isi berbagai UU yang berlaku di Indonesia.

Pertama, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Undang-undang ini secara eksplisit mengatur bahwa pulau-pulau kecil, seperti yang banyak terdapat di Raja Ampat, memiliki ekosistem yang rentan dan memerlukan perlindungan khusus.

Kegiatan pertambangan, yang bersifat merusak dan non-lestari, jelas-jelas bertentangan dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan yang diamanatkan oleh UU ini. Bahkan, secara spesifik, Pasal 35 huruf k UU PWP3K menyatakan bahwa terdapat larangan untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Ini adalah larangan yang sangat jelas dan tak bisa ditawar.

Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-undang ini mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki Izin Lingkungan, yang merupakan prasyarat untuk mendapatkan izin usaha.

Proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan masyarakat terdampak. Namun, dalam banyak kasus pertambangan, termasuk yang ini, kekhawatiran mengenai proses AMDAL yang terkesan “formalitas” dan tidak mengakomodasi suara masyarakat sipil sering muncul. Kerusakan lingkungan yang nyata terjadi mengindikasikan bahwa prinsip-prinsip perlindungan lingkungan dalam UUPPLH tidak dijalankan dengan semestinya dengan tetap golnya izin yang merusak lingkungan.

Ketiga, keberadaan Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi. Sebagian besar wilayah Raja Ampat telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Status kawasan konservasi ini diatur oleh UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta berbagai peraturan turunannya.

Aktivitas pertambangan di dalam atau di sekitar kawasan konservasi adalah bentuk pelanggaran serius terhadap zonasi dan tujuan konservasi itu sendiri, yang seharusnya melindungi keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis kawasan. Bagaimana mungkin kegiatan ekstraktif yang merusak bisa berdampingan dengan upaya konservasi? Ini adalah kontradiksi yang mencolok.

Tanggapan Menteri ESDM yang Defensif dan Mengabaikan Alam

Seperti para menteri sensasional lainnya, Bahlil sekonyong-konyong ngomong seperti sapi linglung yang kabur waktu mau diqurbankan. Yang bikin kecewa adalah, ia menyatakan bahwa izin pertambangan tersebut sudah ada jauh sebelum ia menjabat sebagai menteri ESDM. Dalih ini jelas merupakan pengalihan pembicaraan dari inti persoalan yang sebenarnya.

Selain itu, argumen “izin lama” tidak serta merta membebaskan pemerintah dari tanggung jawab. Sebagai menteri ESDM yang menjabat saat ini, Bahlil seharusnya memiliki kewenangan dan moralitas untuk mencabut izin-izin pertambangan yang terbukti bermasalah dan melanggar peraturan perundang-undangan, bukan hanya menghentikan sementara, terutama yang menyebabkan kerusakan lingkungan parah di wilayah strategis seperti Raja Ampat.

Di kesempatan yang sama, ia beralasan bahwa isu-isu anti-tambang nikel ini adalah upaya pihak-pihak asing yang tidak ingin Indonesia melakukan hilirisasi. “Ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini,” ujar Bahlil. Padahal mah naon sih anjir.

Ada lagi Bahlil CS, Gubernur Papua Barat Daya yang bilang kalau isu kerusakan lingkungan di Raja Ampat adalah kabar burung.

Lingkungan Hidup Mesti yang Utama, Bukan Profit

Kedaulatan lingkungan, keberlanjutan ekosistem, dan hak-hak masyarakat adat di Raja Ampat seharusnya menjadi prioritas mutlak—bukan dikorbankan demi profit jangka pendek dari skema hilirisasi yang serampangan.

Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika di saat yang sama bencana ekologis mengintai, dipicu oleh aktivitas pertambangan yang tak terkendali?

Pemerintah gak bisa terus-menerus menormalisasi perspektif pembangunan yang mengorbankan tanah, laut, dan manusia demi kepentingan modal. Kenaikan angka PDB tidak akan berarti apa-apa jika tanah leluhur rusak, mata pencaharian masyarakat hancur, dan biodiversitas yang musnah gak tersisa.

Pemerintah—dalam hal ini Kementerian ESDM dan Gubernur—harus bersikap tegas. Gak cukup cuma blau-blau bikin statement random. Negara harus hadir untuk menyelamatkan Raja Ampat, bukan justru memfasilitasi kehancurannya lewat perizinan tambang yang ngawur. Jika negara gagal bertindak, maka bencana ekologis tinggal menunggu waktu.

Bahlil boleh berdalih soal “izin lama”, boleh sibuk jual narasi hilirisasi ke dunia, boleh pura-pura tuli saat masyarakat adat berteriak tapi alam tidak bisa diajak kompromi, apalagi kompromi yang bikin dia rugi sendiri. Raja Ampat tidak menunggu kebaikan hati birokrat. Kerusakan sudah terjadi, dan tiap hari yang berlalu tanpa tindakan tegas adalah pengkhianatan baru pada laut dan hutan yang seharusnya dijaga.

Di balik jargon-jargon pembangunan hijau, Bahlil CS mengatur rapat-rapat perizinan yang meloloskan alat berat masuk ke pulau-pulau kecil. Di balik pidato-pidato konservasi, mereka menutup mata pada pohon yang tumbang, tanah yang longsor, laut yang keruh. Yang terjadi di Raja Ampat adalah perampokan terang-terangan, dan negara memberi karpet merah bagi para pelakunya.

Kalau pejabat negeri ini lebih takut kehilangan muka di depan korporasi ketimbang kehilangan ekosistem, maka kita sebagai warga punya kewajiban untuk bersuara lebih keras. Hari ini Raja Ampat, besok pulau lain, kemarin aja udah banyak, kan?

Jangan mentang-mentang hidupmu enak, bisa ngopi-ngopi sambil update Instagram, kamu jadi tutup mata pada penderitaan masyarakat adat yang lautnya dirampas, hutannya digunduli, dan hidupnya direnggut. Suara kita dibutuhkan, dan kalau diam ya berarti maneh baturanana Bahlil. Kalau hari ini kamu memilih bungkam, jangan kaget kalau besok yang hilang bukan cuma Raja Ampat, tapi seluruh warisan alam bangsa ini.

Minpang di sini~

Related Post

1 comment

  1. KhoHand Avatar

    DPR didampingi DPRD, DPD, LSM setempat apa banyak yg sdh pd buta, bisu, tuli? Jika iyaa, maka rakyat berhak melawan !!!

Leave a Comment