Rasanya dunia saya berubah setelah mendengar perkataan seseorang di mimbar khotbah pada saat saya masih duduk di kelas satu SMA. Dengan pikiran yang belum matang dan masih menebak-nebak urusan hidup di masa pubertas, saya nyaris kebingungan dan galau berat setelah mendengar pernyataan seorang senior saat itu.
Saya bersekolah di boarding school mengharuskan semua siswanya untuk tinggal di asrama, bisa dibilang sebuah pondok modern di salah satu kota yang cukup unik. Dan sebagai seorang siswa yang tidak punya banyak keinginan, saya tidak mengikuti saran teman-teman saya untuk bolos dari kajian sore.
Kebanyakan dari mereka memilih untuk membaca novel, bermain basket di lapangan, atau diam-diam menyelinap ke lab bahasa untuk nonton film-film yang entah mereka dapat dari mana. Namun, saya tidak pernah mengikutinya dan lebih memilih untuk duduk mendengar kajian sambil merasakan angin sepoi-sepoi dari pintu mesjid.
Ada satu alasan kuat, mengapa saya hampir tidak pernah bolos kajian. Yaitu banyaknya senior yang memiliki materi menarik dan analisis yang dalam pada khotbah mereka. Penceritaan soal sejarah hampir tidak pernah membosankan, apalagi sains menurut Al-Qur’an yang membuat saya seratus persen fokus untuk mendengarkan.
Namun, di suatu hari pandangan saya tiba-tiba berbelok. Saya tidak setuju terhadap salah satu kajian yang kemudian membuat saya kabur lalu pergi mandi karena kesal. Padahal, seseorang yang menyampaikan argumen itu, adalah orang biasa yang saya segani karena materi-materi beliau selalu menarik. Tapi kali itu entah kenapa saya marah, kecewa, dan ingin mencari kebenaran.
Dalam kajian itu, senior tersebut mengatakan bahwa “Laki-laki dilihat dari masa depannya, sedangkan perempuan dilihat dari masa lalunya” seketika saya bingung, marah, dan ingin mengacungkan tangan. Namun lagi-lagi saat itu umur saya masih 15 tahun, saya belum bisa berpendapat dengan benar, tapi saat itu saya sadar bahwa argumen orang tersebut salah.
Tiba-tiba saya teringat pada dua orang yang saya kenal, yang keduanya harus keluar dari sekolah karena masalah yang cukup besar. Saya pikir tidak adil sekali jika teman laki-laki saya akan tetap memiliki kehidupan yang baik di masa depan, karena masa lalunya tidak penting. Sedangkan teman perempuan saya di cap sebagai orang gagal dan dipandang tidak utuh karena masa lalunya akan terus dilihat dan ditimbang oleh orang-orang. Saya marah dan kecewa tanpa tau harus berbuat apa.
Selama berhari-hari saya tidak semangat untuk mengikuti kajian sore. Dalam beberapa lingkaran, saya mengobrol dengan teman-teman mengenai hal ini dan mereka mengubah dunia saya menjadi lebih besar karena menjawab “Iya juga ya, gak adil dong. Tapi faktanya emang gitu sih di masyarakat” dalam sekejap, dunia saya benar-benar berubah. Saya mulai tau kata kuncinya, bahwa ada ketidakadilan yang justru diabaikan dan dilanggengkan oleh masyarakat kita dengan sengaja.
Ketidakadilan yang membawa perempuan menjadi terkekang seolah kesucian diri adalah segalanya dalam hidup. Hingga akhirnya banyak yang menganalogikan perempuan sebagai barang yang mudah pecah yang harus dijaga keutuhannya, yang jika pecah maka nilainya jadi hilang. Dan yang lebih miris lagi, mereka mengamininya dengan khidmat, tanpa tau konsekuensi apa yang sedang mereka hadapi karena mengabaikan dan memakluminya.
Bertahun-tahun saya bergulat dengan pikiran ini hingga akhirnya sampai pada wacana kesetaraan gender ketika kali pertama memasuki dunia perkuliahan. Teman-teman lama saya khawatir paham saya berbahaya, mereka mengatakan saya harus jaga-jaga. Padahal, saya menghabiskan waktu berlama-lama di perpustakaan, diskusi ini itu dengan berbagai orang mengenai gender, hingga bisa mendeklarasikan diri bahwa saya mendukung gerakan feminis, semua itu untuk menjaga mereka, menjaga kita semua, perempuan Indonesia-perempuan dunia.
Wacana-wacana yang mengatakan bahwa mayoritas perempuan dari agama saya banyak yang menolak kesetaraan gender karena dikatakan tidak sesuai dengan kitab suci dan ajaran agama kami, akan saya buat jadi pecutan untuk saya membuktikan diri, bahwa agama saya pun sejatinya bahkan lebih dulu mendeklarasikan kesetaraan gender. Hanya saja sering kali dalil yang dipakai hanya menunjukkan atau menguntungkan kalangan tertentu.
Saya sadar, di muka bumi ini tidak ada perjuangan yang mudah. Paham masyarakat yang sudah mengakar hingga pikiran-pikiran dalam pertemanan saya, semuanya harus saya usahakan untuk sampai pada jalan keadilan. Agama saya sejak awal memerintahkan untuk mencari kebenaran. Maka sekecil apapun ketidakadilan yang lewat di mata dan telinga saya, harus diperjuangkan untuk kembali benar pada apa yang seharusnya. Tradisi adalah kebudayaan yang mahal, tapi tradisi tidak boleh mendiskriminasi. Begitulah kira-kira.