Bagi Ide: Gagasan Purwasukasentris yang Kalau Nongkrong Gak Cuma Minta Rokok

Arini

Bagi ide menyediakan ruang untuk talenta lokal bercerita.

Satu hari di Jogjakarta, saya dan Bjorka mendatangi sebuah pameran yang digagas sama kelompok Sakato, kelompok perupa dari Sumbar yang berdomisili di Jogja.

Saya disambut Da Hendra, Da Aby, dan kawan-kawan Sakato yang lain. Kami bercengkerama soal karya yang sedang dipajang, proses pengkaryaan, dan ya fafifu seniman lintas provinsi, lah.

Tentu za dari pembicaraan tersebut, saya dapat banyak insight. Yang saya tahu “naluri perantau” itu berkumpul dengan orang dari kontingen yang sama, dan bayangkan Sakato. Berasal dari daerah yang sama, menetap di daerah yang sama, lalu punya passion yang sama juga.

Kemudian saya bergeser sedikit ke Dangau Studio, yang usianya kurang lebih sama seperti Nyimpangdotcom. Dangau Studio base-nya memang di Kota Padang, dan menghimpun teman-teman seniman di daerah asalnya. Persis Rupapwk, hanya saja bukan hanya perupa tok, musisi juga ada, penulis juga ada, pelaku kegiatan kebudayaan juga ada.

Saya juga beberapa kali datang ke pameran-pameran di Jakarta, yang hitungannya fancy buat saya. Once, saya gabung trip seni-nya Artopologi, platform yang bentuknya hampir mirip dengan Nyimpangdotcom, bedanya mereka lebih mapan dan terlihat lebih banyak duit saja.

Saya melihat beberapa kali bikin event such as trip seni berbayar, mereka selalu ada pesertanya (dan bisa dibilang banyak). Entah itu memang as mutual sama seperti tim hore Para Penyimpang, atau memang mereka jangkauannya luas saja. Tapi menyenangkan sekali rasanya, bukan?

Bayangin, orang-orang bisa lihat karya dan melakukan transaksi jual beli karya lewat platform itu. Sangat komunal, atau ya minimal ada lah kalau enggak “sangat” juga.

“Ih, Rid. Resep siah di Jakarta.”

“Ih, Rid. Resep siah di Jogja.”

“Ih, Rid. Resep siah di Bandung.”

Ahmad Farid tentu tidak membutuhkan saya untuk menyadari hal itu dan sekonyong-konyong membuat Nyimpangdotcom hanya karena saya ngomong gitu. Saya yakin kesadaran dan pengalaman doi dan teman-teman nyimpang sebelumnya jauh lebih banyak. Cuman, saya jadi percaya dan semakin optimis kalau “Anjir. Purwasuka ge bisa atuh!”

#NoViralNoJustice versi Kebudayaan

#NoViralNoJustice versi Kebudayaan adalah #NoViralNoKalcer. Buat sebagian orang, karya atau orang baru bisa dianggap “penting” kalau udah dibahas di akun-akun dengan jumlah followers besar, dipuji-puji akun centang biru, atau udah mencapai views yang bejibun. Ya tentu za validasi lebih ngenyangin, bukan? Iya lagi iya lagi.

Padahal di kampung sendiri, banyak kok orang yang jago juga, berdampak juga, cuman memang belum kena sorot algoritma IG aja, ya kalah sama template-template Capcut yang posting selfie doang tea.

Bukan karena kurang bagus, tentu. Semua orang memang punya  orientasi yang beda. Ada yang berkarya cuma ingin tenar lalu makan validasi seperti Arini, ada yang berdampak tapi jarang bagi-bagi iPhone seperti Willie Salim sehingga followersnya gak naik-naik, ada petugas resmi kreatif yang sibuk memperkaya diri, ada juga yang pelaku seninya aja juga doyan banget jadi inferior dan suka minder, terlalu gampang kagum sama yang dari luar, selalu Jakartasentris, Bandungsentris, atau Jogjasentris. Ya kotabesarsentris lah. Macam-macam lah masalahnya.

Kalau Bukumu Belum Ada di Gramedia, berarti Kamu Belum jadi Penulis!

Gak ngerti juga sejak kapan seni lokal dianggap “remeh”. Padahal yang disebut ‘lokal’ itu bukan berarti murahan, bukan berarti numpang lewat. Funfact, masih banyak yang mikir kalau bukumu belum ada di Gramedia, berarti kamu belum jadi penulis padahal kita punya Nyimpangdotcom. Kalau kamu belum diwawancara di podcast Densu, berarti kamu belum jadi ‘sosok’, padahal kita punya UrangPurwakarta.

Justru banyak karya terbaik lahir dari ruang-ruang kecil pinggir kota, seniman mural yang nggak punya akun TikTok, atau penulis yang jaga Warkop di Telagasari, atau bunda kebudayaan terbaik kita semua, Bu Rukiah.

Tapi ya begitu. Banyak yang masih nganggep karya lokal tuh cuma cocok buat tontonan gratisan, didukung pas temennya doang yang tampil, atau malah cuma buat jadi latar di Instastory. Support? Seringnya cuma bentuk swipe-up dan emoji api.

Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?

Yang sering bikin saya ngos-ngosan tuh, kita ini kadang terlalu sibuk kagum ke luar sampai lupa melirik ke kiri-kanan. Ada penulis dari kampung sebelah yang tiap malam begadang ngedit naskah, tapi bukunya gak laku karena gak ada yang bantu promosiin. Ada perupa yang rela makan mi instan tiga hari demi beli cat akrilik, tapi lukisannya cuma dipajang di sudut rumah yang gak semua orang lihat. Tapi semuanya kalah sama bule main angklung anjir☹

Merayakan yang Dekat

Momen-momen kecil kayak datang launching temen, beli zine dari bazar lokal, atau bahkan sekadar repost karya temen sendiri tuh bukan hal remeh. Itu cara paling awal buat ngerayain. Dan percayalah, apresiasi kecil itu bisa jadi bahan bakar gede buat mereka bertahan. Di tengah dunia yang makin kompetitif dan penuh algoritma, dukungan paling tulus justru datang dari orang-orang yang paling deket.

Kita gak butuh nunggu sesuatu itu viral buat bilang sesuatu itu layak dihargai.

Di Ruampuan kemarin, saya dan Jeswill ngide untuk memberikan seniman panggung. Mereka bisa bicara latar belakang karya dan gagasan mereka di sana, lalu muncul tanya-jawab dari peserta dan teman-teman seni yang lain. Ya minimal, teman-teman seniman Ruampuan bisa sedikit-sedikit public speaking (buat yang jarang), bisa juga saling kenal wajah, saling kenal karyanya.

Iya, begitu. Saya mengadopsi dan terpapar gagasan Farid dan Nyimpangdotcom yang

Nyanggeus sitah maranehna ngomongkeun gagasan, ide, kitu. Jieun tah ala-ala Tedtalk. Jadi nongkrong teh teu menta rokok wungkul.”

Bagi Ide hadir untuk jangkauan yang lebih luas. Bagi Ide hadir untuk bilang kalau karya lokal bukan cadangan atau pemanis doang. Mereka adalah karya beneran, yang lahir dari ruang yang kadang sempit, jalan aspalna barolong, dan yang air di toren-torennya pada kering karena dipake pertunjukkan air mancur Situ Buleud. Bagi ide hadir untuk bilang kalau

Yeuh, di Purwasuka ge aya nu kikieuan!”

Dukungan itu bukan cuma soal uang, tapi soal perhatian dan keberpihakan.

Jadi lain kali kalau ada acara lokal, buku lokal, karya lokal—jangan tanya,

“Gratis gak?” tapi tanya

Urang bisa mantuan naon?”

Support Local, karena yang Lokal Bukan berarti Kalah Global.

Suatu saat, saya datang ke diskusi kebudayaan di Jakarta. Ya iya sih, narasumber dan kotanya juga Jakarta ya sudah pasti obrolannya seputar Jakarta. Tapi yang bikin ngehe adalah kita-kita yang di luar radar, dianggapnya eksotis dong.

 Kayak, “Wah lucu ya ternyata di daerah ada juga yang bisa nulis!”

Lah anjrit dia kira ngab-ngab Jakarta doang yang bisa nulis ☹

Masalahnya bukan cuma soal gerografis aja kan? Tapi bagaimana pusat-pusat itu mengatur standar. Seolah-olah kalau belum tampil di Galeri Nasional, belum pantes disebut seniman. Kalau belum nongol di Kompas, belum sah disebut penulis. Padahal banyak banget karya keren yang lahir di pojokan warung kopi, di ruang tamu sempit, atau di tengah sawah.

Lokal Bukan Lawan Global

Serius tapi ini bukan soal menolak kota besar. Kita semua tahu di Jakarta ada ruang-ruang seni keren. Bandung juga punya banyak forum diskusi produktif. Tapi yang kita lawan adalah dominasi. Dominasi cara berpikir, dominasi estetika, dominasi kurator, dan dominasi orang-orang yang kelakuannya sama busuknya sama yang diteriakin, orang-orang narsistik tea, belum lagi drama-drama gak pentingnya.

Kita gak harus ngikutin cara mereka untuk bisa disebut bagus. Kita bisa bikin definisi bagus sendiri. Kita bisa bikin layak tampil versi kita sendiri.

Saya ingat Farid pernah bilang,

Kalau kita terus-terusan tunduk sama pusat, kapan kita jadi pusat buat diri sendiri?”

Dan itu enya oge sih. Karena bener juga. Kenapa gak bikin panggung sendiri? Kenapa gak rayain aja bakat-bakat yang ada di sekitar kita?

Kesimpulannya

Buat teman-teman yang masih berkarya dari gang sempit, dari dusun sunyi, dari kota yang bahkan belum ada di Google Maps: terus aja bikin. Gak perlu nunggu disorot. Kita bikin sorotan sendiri. Gak usah ngarep validasi dari pusat, kita saling validasi aja, nya tapi mun mbung saling mere validasi ge bae sih da urang mah akan tetap menulis buku dan bikin pameran tiap tahun.

Dan kalau kamu punya duit lebih, dukung temen kamu yang nerbitin buku, yang buka gigs kecil-kecilan (yang bener! bukan yang mabok doang!), yang jual lukisan mini di bazar lokal. Jangan nunggu mereka viral dulu baru dibilang keren, asal teu pianjingeun dan clear dari kejahatan kemanusiaan kata Nyimpangdotcom.

Nah, Bagi Ide ini kita akan terus mulai sebagai “Tongkrongan Exchange.” Jadi nanti orang dari lintas bidang akan bisa presentasi, ngomongin semua gagasan dan idenya. Sebelumnya, Nyimpang udah bikin Bagi Ide 1 yang diisi sama Ahmad, Ricky Gerung, terus juga Ningrum, dan Alpiadi. Bagi Ide 2 diisi sama Zulfa dan Lusy dari teman-teman media.

Yang terdekat nih, Bagi Ide 3 bakal diisi  Stand Up Comedy ya karena tentu za Nyimpang ingin belajar berkomedi biar gak garing terus!

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik. Buku kumpulan puisinya As Blue As You telah diterbitkan di Pustakaki Press. Juni 2023 telah mengadakan Pameran Tunggal bertajuk A Quarter Century untuk mempertunjukkan hasil lukis sekaligus merayakan kelahiran buku keduanya, Jayanti. Buku ketiga, Notes of The Lost Sheep baru saja diterbitkan.

Related Post

No comments

Leave a Comment