Belum lama ini saya menghadiri resepsi pernikahan seorang kawan lama di salah satu desa di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sedikit terlambat, saat saya sampai, acara sudah berjalan dan mulai masuk sesi mau’idhoh hasanah atau ceramah dari seorang tokoh masyarakat. Saya dibuat kaget bukan kepalang ketika mendengarkan pembukaannya. Begini kurang lebihnya:
“Sebagai pembuka, akan saya sampaikan kabar gembira untuk bapak-bapak hadirin sekalian yang ada disini. Dilansir dari blogbojonegoro.com, ada 2.486 janda baru per November 2020 di Bojonegoro. Ini janda yang masuk hitungan adalah janda yang 30 tahun ke bawah lho ya! Jadi buat mas-mas, atau bapak-bapak ini yang mau nyari janda, tinggal pilih aja, ada ribuan.”
Miris sekali. Framing luar biasa yang ditujukan kepada perempuan dan dilontarkan di ruang publik oleh tokoh masyarakat seperti ini rasanya harus dilawan agar tidak ada lagi penormalan atas hal tersebut di masa depan. Dalam banyak kesempatan, seringkali kita lihat tokoh yang dituakan dan memiliki kharisma di masyarakat secara sadar telah memilih untuk mengobjektifikasi perempuan.
Dalam logika sederhana, apabila ada kenaikan angka cerai di pengadilan agama, maka jumlah peyandang status “janda” akan sebanding dengan peyandang status “duda”. Kedua status tadi mempunyai peluang yang sama untuk menikah lagi di kemudian hari. Menggunakan cara-cara subyektif dan menggiring opini untuk fokus pada perempuan janda menunjukkan bahwa ada ketimpangan gender serius yang sedang dipupuk secara konsisten oleh masyarakat patriarkis kita.
Saat itu juga saya teringat masa kecil saya, ingatan tentang bagaimana kesan ini terus menerus diperbaharui; bahwa perempuan janda dikonstruksikan sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, dianggap sebagai perempuan yang matang dan memiliki pengalaman untuk dijadikan istri, dengan segala macam laelnya: pandai memasak, membersihkan rumah dan merawat anak.
Di sisi lain, janda dilabeli sebagai perempuan yang gagal dalam urusan rumah tangga. Percerain yang menimpa janda kerap kali dipersamakan dengan ketidakmampuan perempuan dalam mengurus suami. Pada titik ini, janda dinilai memenuhi syarat toxic bahwa perempuan seutuhnya adalah ia yang mumpuni dalam urusan domestic, sekaligus tidak boleh gagal dalam pernikahan (yang anehnya pada laki-laki alias duda tidak berlaku hal yang sama).
Di masa kini, yang mana jarak sudah tinggal debu lewat perantara teknologi komunikasi, stigmasisasi terhadap janda justru terlihat sangat massif. Janda yang mengekspresikan dirinya melalui sosial media langsung dengan mudah dicap sebagai perempuan yang sedang sok cantik, menggoda dan menginginkan untuk didekati oleh laki-laki. Stigma ini yang kemudian disiram dengan bumbu diskriminasi, dirawat setiap hari menggunakan paradigma bahwa janda (ataupun perempuan secara luas) kendatipun menggoda laki-laki tetapi niscaya dia tidak dapat memilih laki-laki, ia-lah yang akan dipilih oleh laki-laki.
Slogan Indonesia sebagai negeri yang menjunjung tinggi adat ketimuran serta negeri dengan mayoritas pemeluk agama yang memuliakan perempuan, pada kenyataanya justru mengingkari prinsip-prinsip dasar ketimuran dan pemuliaan terhadap perempuan. Perempuan hanya melulu ditempatkan sebagai obyek pemuas ambisi society. Perempuan harus melulu patuh untuk terjun di urusan domestik dengan segala aksesori yang melekat di dalamnya.
Seperti perempuan harus berambut panjang, ia harus menikah di usia sekian, harus bisa memasak berbagai jenis hidangan, harus melayani suami apapun kondisinya dan harus mau disalahkan jika ternyata kehidupan rumah tangganya gagal.
Perempuan diminta secara paksa (kadangkala agar disebut sebagai perempuan idaman) untuk tunduk dan patuh (sendiko dawuh) dengan apa yang diminta oleh masyarakat. Dan seperti yang kita semua ketahui, masyarakat meminta agar laki-laki ditempatkan sebagai gender pertama serta diberikan hak untuk menguasai perempuan.
Pembiaran yang kita lakukan terhadap objektifikasi perempuan sama artinya dengan mengamini keseluruhan kuasa timpang yang diciptakan oleh patriarki.
Lingkaran setan penindasan terhadap perempuan juga tidak akan pernah terurai jika tradisi menguasai perempuan dibiarkan tumbuh dan beregenerasi. Kekerasan terhadap perempuan, pemiskinan struktural, hingga hambatan dalam memperoleh hak pendidikan serta kehidupan yang layak bagi perempuan tidak akan pernah selesai jika masyarakat enggan memberikan ruang yang setara dan hak untuk menentukan nasib sendiri kepada perempuan.