Keingintahuan yang membara membawanya ke batas tipis antara keyakinan dan godaan.
Babi yang Kurindukan, Dosa yang Tak Tersampaikan

Aku tumbuh di surau kecil di ujung timur Bogor, tempat dosa lebih nyata daripada pahala, di mana orang lebih takut pada sepotong daging babi daripada mencuri hak orang miskin. Sejak kecil, sebelum aku bisa mengeja dosa-dosa besar, aku sudah menghafal mana yang halal dan mana yang akan mengantarku ke perut neraka.
Dan dari semua yang diharamkan, babi adalah yang paling terkutuk.
Lebih najis dari air comberan, lebih haram dari suap pejabat yang disalurkan lewat sumbangan masjid, lebih menjijikkan dari dusta para alim ulama yang bicara soal akhirat sambil mengunyah dunia.
Seakan-akan jika kau menyentuhnya, tanganmu akan melepuh. Jika kau menelannya, ruhmu akan dimuntahkan Tuhan. Dan jika kau menikmatinya, malaikat maut akan mencatat namamu lebih awal dalam daftar penghuni neraka.
Aku percaya itu. Dulu.
Tapi, dunia lebih luas dari surau kecil dengan langit-langit penuh sarang laba-laba. Lebih keras dari ceramah subuh yang dipenuhi ancaman siksaan kubur. Lebih kejam dari pukulan rotan Pak Kiai yang mendarat di punggung anak-anak yang ketahuan bermain kartu di belakang madrasah.
Dan sekarang, aku berada di dunia yang tak memiliki pengawas dosa.
Tak ada ibu-ibu berkerudung panjang yang siap menegur kalau kau makan dengan tangan kiri. Tak ada sepupu-sepupu yang mencibir kalau kau lupa membaca bismillah sebelum menyuap nasi. Tak ada santri yang mengintip piringmu, memastikan laukmu tak mengundang murka Tuhan.
Aku bisa saja hidup seperti biasa. Tetap lurus. Tetap menghindari yang haram. Tetap menjadi anak surau yang baik.
Tapi, ada sesuatu yang terus mengusik kepalaku.
Aku ingin tahu seperti apa rasa dosa itu.
Aku menyalakan ponsel, membuka aplikasi GrabFood. Mataku menelusuri daftar menu.
Dan di sanalah ia berada.
Daging Goreng Cincang B2.
Tersamar dalam kode “B2”, tapi aku tahu persis apa itu. Pendosa lain sudah membisikkan rahasianya padaku.
Aku mengetuk layar, memilih satu kilo.
Jari telunjukku bergetar di atas tombol “Pesan Sekarang.”
“Orang yang makan babi, tubuhnya akan bernanah di neraka. Mulutnya akan disumpal dengan api. Jantungnya akan direbus hingga mendidih.”
Suara Pak Kiai bergema di kepalaku, seperti gema doa tarawih yang terlalu panjang.
Aku membayangkan tubuhku meleleh, isi perutku mengalir keluar seperti lahar panas. Malaikat maut menatapku dengan jijik, menunggu giliran untuk mengulitiku perlahan-lahan.
Aku menelan ludah.
Jari-jariku gemetar.
Tapi, bukankah dosa yang tidak dilakukan adalah dosa yang paling menyiksa?
Aku menekan tombolnya.
Klik!
*
“Ting-tong!”
Bel pintu berbunyi.
Aku membuka pintu.
Kurir berdiri di depan, wajahnya kosong, seperti orang yang sudah terlalu sering mengantarkan rahasia dalam kantong plastik.
Aku menerima bungkusan itu—plastik putih, basah oleh uap panas. Lemaknya mulai merembes, meninggalkan bercak minyak di tanganku. Licin. Melekat.
Seperti dosa yang tidak bisa dihapus dengan air wudu.
Aku membawanya ke meja, membuka simpul plastiknya.
Aroma tajam langsung menerjang!
Menusuk ke hidung, menjalar ke kepala, membangkitkan sesuatu yang selama ini terkubur dalam tubuhku.
Aku menyentuh potongan daging itu dengan ujung jari.
Hangat. Lembut. Basah oleh lemak.
Aku menekannya sedikit. Cairan bening bercampur merah merembes keluar dari serat-seratnya.
Aku berjalan ke dapur, menyalakan kompor.
“Ctek!”
Api menyala, biru dan tajam, seperti ujung lidah iblis yang menjulur dari neraka.
Aku menuangkan minyak ke wajan.
“Pluk, pluk, pluk…”
Cairan kekuningan itu menyebar, berkilauan seperti sesuatu yang siap menerima dosa.
Aku mengambil segenggam daging babi cincang, menjatuhkannya ke atas wajan panas.
“Cessssssssss!”
Daging itu mengejang, mendesis seperti makhluk yang baru sadar bahwa ajalnya sudah dekat.
Lemaknya meleleh.
Bercampur dengan minyak panas, menciptakan suara yang lebih menggoda daripada musik mana pun.
Aroma gurihnya menyusup ke dalam pori-pori dinding, merayap ke sudut ruangan, mengendap di udara seperti dosa yang tak bisa dicuci dengan doa.
Aku meraih rempah-rempah—lada hitam, lada putih, kayu manis, cengkih, kunyit—menaburkannya tanpa aturan, membiarkannya bercampur dengan daging yang mulai berubah warna.
Dari merah darah menjadi kecokelatan.
Dari kecokelatan menjadi emas yang berkilauan oleh lemak yang mengilap.
Aku menyendok satu potong kecil, meniupnya perlahan.
Aku mendekatkannya ke bibir.
Aku ingin mencicipi.
Aku harus mencicipi.
Tapi, aku menahan diri.
Aku membuka penanak nasi.
“Klik.”
Aku menekan tombolnya.
Sial.
Nasi belum matang.
Aku memutuskan keluar sebentar membeli rokok. Lima menit saja.
*
Ketika aku kembali, pintu rumah sedikit terbuka.
Aku masuk.
Di meja, piring yang tadi penuh dengan babi goreng kini kosong.
Aku diam.
Lalu aku melihatnya.
Pak Karwan.
Dengan bibir berminyak, wajahnya cerah, tangannya masih mengusap perut seperti seseorang yang baru saja menikmati makanan paling enak dalam hidupnya.
“Eh, Pak Odang!” sapanya riang.
Aku menatapnya lama.
“Nanti dapur bersihin iya, Pak. Tadi saya habis masak,” ujarku, suara datar.
Pak Karwan tersenyum lebar. “Iya, Pak! Sudah saya bersihkan tadi. Sekalian saya makan, Pak. Alhamdulillah, berkah! Terima kasih banyak iya, Pak!”
Aku terdiam, memandangnya lama.
“Makan?” tanyaku.
Pak Karwan mengangguk semangat. “Iya, Pak! Masya Allah, enak banget. Bumbu-bumbunya meresap, dagingnya empuk, lebih lembut dari sapi. Wah, ini daging dari mana, Pak? Warung Padang sebelah, iya?”
Aku menelan ludah. Perutku terasa kosong.
“Eh… iya, Pak. Dari warung,” jawabku asal.
Pak Karwan tertawa kecil, wajahnya penuh syukur. “Alhamdulillah, Pak. Rezeki nggak ke mana. Tadinya saya cuma mau ngepel dapur, eh malah dapat makanan enak. Saya bungkus juga buat anak sama istri di rumah. Mereka pasti suka.”
Aku membeku.
“Anak sama istri?”
“Iya, Pak.” Pak Karwan tersenyum. “Bapak tahu kan, saya jarang bisa beli daging. Biasanya cuma makan tahu sama tempe. Ini tadi pas saya lihat ada banyak di piring, iya saya makan, sekalian saya bawakan buat mereka. Alhamdulillah, berkah dari Bapak!”
Aku bisa merasakan tenggorokanku mengering.
Aku ingin memberitahunya. Aku ingin menghentikan tangannya yang mungkin baru saja menyuapkan haram ke mulut anak-anaknya.
Tapi, aku hanya diam.
Aku mengisap rokok dalam-dalam.
“Alhamdulillah iya, Pak,” ucapku akhirnya.
Pak Karwan mengangguk penuh syukur. “Iya, Pak. Alhamdulillah.”
Aku mengembuskan asap perlahan.
Mungkin besok aku akan pesan lagi.
Dua kilo sekalian.
Tapi kali ini, aku akan memastikan tak ada yang mencurinya dariku.
Leave a Comment