Lewat musiknya Azis mencoba untuk terhubung dengan diri sendiri dan orang lain.
Azis Malik: Musik sebagai Terapi dan Narasi

Profil Singkat
Azis Malik adalah seorang solois lokal asal Purwakarta bergenre folk yang juga bekerja sebagai fotografer lepas dan kontributor segmen Pojok Sejarah di media Urang Purwakarta. Ia mulai belajar musik secara otodidak sejak SMA dengan memusikalisasi puisi, dipengaruhi oleh Iwan Fals, Iksan Skuter, dan sebagainya. Berkarya melalui musik baginya adalah terapi dan ruang untuk bercerita.
Ia baru saja tampil di Café Veteran 155 Purwakarta lewat hearing session pada hari Sabtu, 28 Juni 2025, bertajuk “Belum ½ Jalan” membawakan lagu-lagu ciptaannya yang sarat narasi dan emosi. Salah satu lagunya, “Untukmu Untukku”, lahir dari percakapan sederhana dengan seorang teman, namun tumbuh menjadi refleksi tentang penerimaan dan kesendirian.
Azis juga diketahui membangun kelompok musik baru bernama Swargakelana yang beraliran balad. Bagi Azis, berkarya adalah bentuk keberanian, dan musik folk adalah bahasa yang paling pas untuk menyampaikan dirinya. Mari simak wawancara Nyimpang dengan Azis di bawah ini:
Halo, Azis! Bisa cerita sedikit dulu nih tentang dirimu ke pembaca Nyimpang?
Halo, teman-teman Nyimpang! Kalau profil pribadi, saya besar di Purwakarta, lahir 30 Juni 1999. Lahir hingga SMA ada di Purwakarta, lalu kuliah Ilmu Komunikasi di Jogja. Sehari-hari, saya bekerja sebagai kontributor di media Urang Purwakarta di bagian Pojok Sejarah, dan juga sebagai fotografer lepas. Waktu pulang dari Jogja, saya diajak bergabung ke Urang Purwakarta. Saya mengenal fotografi sendiri sejak SMA.
Saya ya orangnya kadang tampil, kadang berkegiatan, kadang berkesenian juga.
Kenal musik sendiri sejak kapan tuh?
Sejak saya SD, dari pengaruh keluarga dan saudara. Waktu itu saya ditemani lagu-lagu Iwan Fals yang diberikan oleh om saya. Akhirnya om saya dan teman-temannya bikin band, dan saya diajak nonton konsernya. Itu masuk ke alam bawah sadar saya. Waktu kuliah, saya makin banyak mendengar musisi yang menampilkan karyanya sendiri, dan itu membentuk hobi sekaligus kemampuan saya dalam bermusik.
Walau sempat ngeband dan menyanyikan lagu pop demi menyesuaikan kelompok, secara personal saya lebih sering memainkan lagu-lagu seperti Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan Doel Sumbang. Yang lahir dalam alam bawah sadar saya ya genre balad atau folk.
Gimana ceritanya kamu belajar musik?
Saya belajar musik secara otodidak. Ini lumayan personal. Dari kecil saya merasa seperti “anak bawang” yang rapuh. Di situ saya mencari pengakuan, mencari cara menunjukkan bahwa saya hadir. Lalu muncul anggapan, kayaknya saya mesti bisa main gitar deh. Nggak harus jago, yang penting bisa menyampaikan keluh kesah, dan perasaan lainnya yang mewakili teman-teman.
Akhirnya, saya mulai memperhatikan teman-teman yang bisa main gitar, saya amati kunci-kunci yang mereka mainkan. Saya juga ngulik-ngulik lagu dari CD. Lalu saya praktikkan. Mungkin, cara saya bergaul dengan teman-teman adalah dengan bernyanyi dan memainkan alat musik.
Lama-kelamaan, saya mulai memusikalisasi puisi waktu SMA, sekitar tahun 2015. Saya bikin lagu dari puisi untuk lomba musikalisasi puisi antar kelas, juga mewakili sekolah.
Puisi-puisinya ada dari Sapardi, seperti “Selamat Pagi Indonesia”, dan Chairil Anwar yang berjudul “Doa”, yang saya ubah ke berbagai aransemen seperti ska dan reggae. Ada yang sedih, ada juga yang senang. Saya juga membawakan puisi Wiji Thukul berjudul “Peringatan”. Dulu saya membenci puisi karena saya pikir itu lebay. Tapi lewat musikalisasi, perspektif saya berubah. Ternyata puisi bisa jadi menggetarkan atau serem juga.
Apa yang membuat kamu tertarik memilih jalur musik akustik atau folk?
Saya dulu pernah ikut kosidah pas SD, ngeband waktu SMP, dan ikut kelompok musikalisasi puisi saat SMA. Waktu kuliah, situasinya lebih individual. Susah nyatu dalam kelompok musik, sementara keinginan saya untuk bermusik sangat kuat. Jadi, saya memilih genre solo akustik atau folk.
Pertama, karena saya belum punya keberanian untuk merepotkan orang lain. Kedua, karena saya ingin punya ruang untuk ekspresi personal. Tapi saya juga membangun kelompok musik baru, Swargakelana. Genre-nya folk atau balad. Saya merasa musik folk cukup mewakili diri saya.
Apakah ada musisi yang paling memengaruhi warna musik kamu selain Iwan Fals?
Iya. Secara musikal, saya terinspirasi dari Iwan Fals, baik dari segi lirik maupun aransemen. Dari observasi saya, musik beliau lebih mengedepankan pesan dibanding teknis. Selain itu, Bob Dylan juga sama. Mereka membuktikan bahwa nggak harus tampil dengan band penuh untuk bisa menyampaikan lagu. Tapi, saya juga nggak bisa menyangkal bahwa ngeband itu bisa lebih asyik.
Oh iya, tadi kan kamu sempat bilang bahwa kamu kontributor di Pojok Sejarah Urang Purwakarta. Kamu membahas apa tuh di Pojok Sejarah Purwakarta?
Saya membahas sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Purwakarta, entah itu tokoh, bangunan, wilayah, atau peristiwa lainnya. Itu juga jadi energi buat saya. Misalnya lagu “Gembala”, saya gali peristiwanya dari acara itu sendiri. Saya ingin berbagi cerita sejarah lewat lagu—juga soal hal-hal di sekitar kita.
Apa peristiwa sejarah yang menurutmu paling seru?
Peristiwa Wanayasa Tionghoa. Dulu pernah ada pemberontakan hebat di sana. Lalu kebun teh yang sangat besar juga jadi bagian sejarah itu. Ada juga unsur mistis di Purwakarta. Menarik dan tragis.
Apa aja pengalaman berharga yang kamu dapat dari menjadi kontributor di Urang Purwakarta?
Itu jadi tempat saya melatih public speaking, jadi sosok yang berbeda, mengembangkan karakter, belajar membawa diri, membacakan cerita, dan sebagainya. Saya jadi lebih peka terhadap sejarah Purwakarta—apa yang terjadi, siapa yang berpengaruh, dan apa dampaknya secara nasional.
Di mana dan kapan penonton bisa menyaksikan acara Pojok Sejarah itu?
Bisa ditonton di YouTube Urang Purwakarta, setiap hari Rabu. Channel ini masih baru. Waktu itu saya masih magang, kontributor magang.
Oh iya, kamu baru saja tampil di Café Veteran 155 Purwakarta seminggu yang lalu. Bisa diceritakan bagaimana awalnya kamu bisa punya acara di sana?
Sebetulnya itu dipantik oleh energi Kang Farid. Jauh sebelumnya saya sudah kenal dia, walau cuma sebatas kenal. Dia cerita tentang ruang aman, ruang berekspresi, dan lain-lain. Lalu dia main ke Jogja, saya bilang, saat saya pulang nanti minimal saya membawa karya. Saya berusaha menawarkan diri, walau karya saya belum sepenuhnya terproduksi.
Akhirnya, Kang Farid punya ide: kita adakan hearing session saja untuk menyanyikan lagu-lagu saya. Saya sempat ragu, merasa bukan siapa-siapa, meski Purwakarta itu kecil. Tapi Kang Farid memberi ruang dan dukungan. Saya ingin menjadi pemantik bagi teman-teman musisi lokal agar lebih berani tampil. Saya membayangkan, bagaimana kalau kafe-kafe di Purwakarta bisa memutar lagu-lagu musisi lokal kita.
Apa hal yang paling berkesan dari penampilanmu di acara tersebut?
Dari awal kedatangan, saya merasa semangatnya melebihi ekspektasi. Saya adalah tipe orang yang ekspektasinya tidak tinggi, tapi yang saya alami waktu itu sangat hangat. Buat saya, satu pendengar saja sudah seperti konser. Jadi ketika musik saya ditonton banyak orang, termasuk orang tua saya, waktu itu sangat berkesan. Beberapa teman juga ikut sing along karena mereka hafal lagu saya.
Apakah kamu membawa konsep khusus untuk hearing session di Café Veteran 155?
Konsep acaranya secara umum hearing session, tapi saya berkolaborasi dengan acara malam puisi. Konsep saya: bercerita lewat lagu-lagu saya. Saya nggak hanya menyampaikan nada, tapi juga narasi. Misalnya lagu pertama, “Si Zaki”, menceritakan sosok yang tumbuh, mengenal cinta, dan emosi. Saya ingin ada konteks yang kuat—kenapa lagu ini dibuat, dan apa inspirasi di baliknya.
Lagu “Untukmu Untukku” terdengar menyentuh dan personal. Apa inspirasi utama di balik lagu itu?
Inspirasi awalnya datang dari teman masa kuliah. Waktu itu saya sedang berada di lingkungan yang menghadapi banyak masalah. Teman saya datang dan bercerita soal masalahnya. Situasinya rumit, dan saya nggak bisa memberi solusi apa pun. Dari situ, lirik lagu itu muncul begitu saja. Intinya, kita semua harus menerima hal-hal yang kita hadapi, apa pun itu. Mau punya harta atau materi, kalau punya masalah, ya harus dihadapi sendiri. Karena datang dari teman, lagu itu terasa sangat reflektif.
Proses kreatif seperti apa yang kamu jalani saat menciptakan lagu tersebut?
Saya ingat betul, waktu ngobrol dengan teman itu, bagian reff langsung muncul begitu saja saat saya main gitar. Nada dan liriknya keluar bersamaan. Respons teman juga bagus, jadi saya kembangkan lagi. Setelah bagian reff, baru saya susun bagian lain. Lagu itu saya buat tahun 2020, saat pandemi Covid-19.
Jadi lagu tersebut juga mencatat kegelisahan zaman ya?
Ya, betul. Secara tidak langsung begitu.
Apa rencana ke depan dalam hal bermusik?
Kang Farid sempat tanya, “Apa rencanamu lima tahun ke depan?” Setelah tampil dan dapat energi dari teman-teman, saya merasa perlu bertanggung jawab dengan karya-karya saya. Teman-teman mengaku sering mendengarkan lagu saya dan merasa relate. Saya berharap bisa masuk ke label indie dan makin produktif berkarya untuk teman-teman.
Dalam hal bermusik sendiri, apa tantangan yang kamu hadapi?
Saya bukan musisi yang skillful. Tantangannya lebih ke teknis—main gitar yang mesti terus saya latih dan kembangkan. Saya juga nggak bisa sendirian meluncurkan lagu. Belum ada rezeki untuk ketemu orang label agar lagu-lagu saya bisa dipublikasikan. Lewat lagu yang saya dendangkan di acara hearing session itu, saya ingin bercerita dan memperkenalkan diri. Siapa tahu ada studio indie yang tertarik.
Apa pesanmu untuk musisi folk yang baru mulai?
Jangan berhenti. Jangan biarkan semangat itu mengendap. Terus perjuangkan. Seperti anak yang baru lahir—jangan telantarkan anak itu. Biarkan ia hidup sebagai karya. Setiap karya punya energinya sendiri, penikmatnya sendiri.
Kalau ada ketakutan, hadapi dengan pertanyaan: “Berani nggak?” Berkarya itu untuk diri sendiri juga, sebagai terapi. Jangan tunggu bagus. Bagus atau jelek bukan kita yang nilai. Yang penting kita jujur.
Apa pesan untuk pembaca Nyimpang?
Saya ingin mengucapkan terima kasih atas uluran tangannya. Saya merasa nggak sendirian. Saya merasa ada energi yang ditularkan oleh teman-teman Nyimpang. Tetap jadi ruang aman, ya.
Leave a Comment