Orang tua yang dipanggilnya “Mama Barbie” itu membangunkannya ketika ia mengetahui anak kucing yang dipeliharanya mati mengenaskan tertimpa buah kelapa. Mama Barbie dan ia memang terbiasa melihat batang atau buah kelapa kering jatuh di pelataran rumahnya, tetapi pagi itu ada seonggok bangkai anak kucing tergeletak bersama tempurung kepala yang remuk. Mengetahui hal itu, Mama Barbie dan ia menangis bersama.
Itu hanya satu dari beberapa rangkaian kesedihannya. Setelah peristiwa itu, ia telat masuk ke kantor, lupa membawa alat-alat kerja dan gawainya. Ditambah ban sepeda motornya bocor saat perjalanan pulang dan serangkaian kesedihan yang lain ia sebutkan.
Kisah-kisah sial dari Dodo memang selalu menghibur kami. Hari ini, saat kami berdua saja, ia menuding semua kehidupan sial yang terjadi pada kehidupannya bermula dari urusan asmara dengan seorang perempuan ketika ia masih berkuliah di Karawang. Awalnya ia tidak ingin cerita banyak dan aku pun tak peduli tentang hal itu. Bagaimana bisa seorang mantan pacar membuatnya menjadi orang yang sial? Tetapi rasa penasaranku bangkit ketika ia memberi tahu nama sosok perempuan itu. Aku tidak sengaja menanyakan apa yang terjadi dengan mereka.
“Akan aku ceritakan, tetapi ini rahasia kita berdua! Jika orang lain tahu aku akan sangat kecewa,” jawabnya.
Aku sepakat. Dan ia pun mulai bercerita:
“Saat masih kuliah, aku merupakan mahasiswa yang cukup tenar di lingkaran seangkatanku. Bukan karena aku tajir atau berpenampilan nyentrik atau tampangku tampan, melainkan karena aku selalu bersikap konyol. Aku tidak mau dianggap manusia serius oleh kawan-kawanku. Meski aku tenar bukan berarti aku orang yang mudah dicintai perempuan.
“Satu waktu ketika aku semester tiga, saat aku sedang bolos kuliah, hujan sedang mengguyur Karawang lebih sering dari pada tahun sebelumnya. Di kantin mahasiswa, tidak jauh dari deretan bangku yang aku duduki aku tidak sengaja memergoki seorang perempuan yang sedang menangis. Sebenarnya ada sesuatu yang mendorongku untuk mendekatinya, meski aku tak mengenalnya. Namun aku urungkan, sebab akan ganjil rasanya jika aku tiba-tiba mendekatinya lalu mengajak ia berbicara.”
Entah karena malu atau apa, ia menghentikan tangisnya ketika kawannya datang, seorang laki-laki yang aku kenal. Laki-laki itu memanggilku lalu memperkenalkan perempuan itu kepadaku. Aku bicara dengannya tanpa terlalu mempedulikan sosok perempuan itu. Begitulah awal mula aku bertemu dengannya. Aku hanya mengenal namanya sesering apapun kami berpapasan.
Hingga pada satu hari yang aneh sejak dua tahun kami saling mengenal tanpa saling bicara, ia menelponku.
“Do, apa kabar? Ini aku Sely.”
Aku menjawab sewajarnya dengan hati yang gusar sekaligus penasaran.
Di sela-sela obrolan yang begitu singkat, ia berterus terang, “Aku mau pinjem uang. Aku terlilit utang,” katanya.
Aku semakin gusar. Maksudku untuk ukuran orang yang baru saling mengenal lewat telepon, bagiku meminjam uang itu terlalu konyol.
“Aku akan membayarnya dengan cara apa pun…” lanjutnya.
Masih dihantui oleh rasa gusar, aku menemuinya di kampus lalu miminjaminya sejumlah uang. Dengan gagah aku mengatakan, “Jangan menghiraukan bagaimana cara membayarnya!”
Aku benci untuk mengatakan bahwa dunia ini tanpa kita duga memberikan kita kebahagiaan secara percuma. Seringkali tanpa sebab-musabab. Tetapi masalahnya adalah terkadang kebahagiaan yang datang percuma itu hanya numpang lewat saja. Setelah menyadari itu aku putus asa, terlebih dengan pertemuan-pertemuan kami berikutnya.
Pada akhir tahun yang basah, aku berkunjung ke rumahnya pada tahun yang sama setelah kami begitu akrab entah dengan cara apa, aku tidak terlalu mengingatnya. Ia keluar menuntun ayahnya yang tunanetra. Hanya ada ayahnya. Kemudian aku mendengar ceritanya soal sepuluh tahun terakhir saat ayahnya harus berhenti bekerja karena sebuah insiden. Di waktu yang sama penyakit mata yang ia derita semakin parah, sehingga ongkos untuk pengobatan penyakit matanya terhambat. Sanak saudara tidak ada yang sanggup menolongnya. Lalu dari waktu ke waktu penyakit itu menjalar menjadi sebuah kegelapan. Ayahnya bilang dengan nada yang sendu, seringkali ia berharap kegelapan pada matanya segera membuatnya berhenti bernapas dari pada hidup dalam kesengsaraan.
Kami lebih sering bertemu di rumahnya sejak pertemuan itu. Mencuri waktu setelah mengerjakan tugas-tugas kampus sebelum pulang. Memasak, bermain catur, dan terkadang mengobrol tentang hal-hal yang remeh. Hingga pada satu waktu, di awal tahun yang masih basah kami semakin menikmati keakraban yang ganjil itu. Awalnya kami hanya berguling-guling di sofa ruang tamu yang tidak seberapa luas, kemudian beralih ke kamar, dan sesekali berpelukan di dapur ketika ayahnya menatap lurus penuh kekosongan.
Di sela-sela waktu ketika kami melakukan itu aku bertanya kepadanya, “Mengapa kamu mau melakukan ini denganku?”
Ia seperti mencari sesuatu di kepalanya, lalu berkata, “Untuk membayar utang-utangku. Kamu ingat, aku pernah mengatakannya waktu itu.”
Aku berharap mendengar jawaban lain tetapi hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Aku ingin kecewa, tetapi apa yang ia berikan membuatku seperti orang yang sangat dimiliki atau lebih tepatnya dicintai.
Aku mulai sadar sejauh apa batasanku dengan perempuan itu.
Kemudian pada siang yang terik pertengahan tahun, setelah hampir dua minggu kami tidak bertemu beserta pesan yang jarang ia balas, aku berkunjung lagi ke rumahnya dengan membawa semangkuk es campur untuknya dengan harapan kami bisa saling menyuapi satu sama lain. Aku melewati gang-gang sempit perkampungan, lalu sepintas lirik sebuah lagu terdengar dari salah satu rumah sontak membuatku ikut bernyanyi:
“Mengapa tak mencoba jujur
Pada hati kita, Kasih
Bahwa sesungguhnya
Engkau dan aku
Takut berpisah…”
Di pelataran rumahnya bendera-bendera kuning terpajang bersama beberapa orang yang tidak begitu aku kenal sedang termenung di sana. Aku masuk membawa es campur yang sudah mengembun, lalu bertanya-tanya di dalam hati, “Siapa yang meninggalkan siapa?”
Perempuan itu keluar dari kamarnya. Sembab matanya menandakan ia telah menangis dalam waktu yang cukup lama. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya menatapku. Setengah berbisik aku bertanya, “Kapan?” kepadanya.
“Satu minggu yang lalu.”
Mendengar itu aku langsung duduk bersila, sesegera mungkin merapalkan doa-doa yang aku pelajari dari guru-guru agamaku untuk keselamatan ayahnya kelak di akhirat sambil merasakan sesuatu yang mengganjal di dada. Entah mengapa aku merasa bersyukur karena kegelapan pada matanya benar-benar dapat membuatnya tidak bernapas lagi meski di saat itu pula aku merasa seperti bukan siapa-siapa baginya.
Itu hari terakhir aku berkunjung ke rumahnya. Pada hari berikutnya sesekali kami berpapasan di kampus tetapi aku memilih menghindar. Perempuan itu lulus satu tahun lebih awal dari pada kelulusanku. Kami tidak berhubungan lagi sampai sekarang. Aku tidak tahu dia di mana.
Dan aku menyesal. Aku merasa sangat bersalah. Ditinggalkan oleh orang tua bukan urusan sepele. Seharusnya saat itu terjadi aku tetap menemaninya. Setelah kupikir-pikir, aku yang sebenarnya sudah berutang banyak padanya, sebab aku merasa utang-utangnya kepadaku sudah lunas sejak pertama kali kami berguling-guling di sofa.
Barangkali aku akan terbebas dari kesialan-kesialan, jika saat itu aku tidak meninggalkannya. Aku selalu mengingat pesan dari ayahnya, ketika hujan masih mengguyur kota, ia bilang kepadaku kalau doa dari orang yang tersakiti lebih gampang dikabulkan.
Ia menghentikan ceritanya seraya menyulut satu batang rokok yang kesekian. Benar adanya, matanya seperti memancarkan sebuah kesedihan yang dipikulnya sekian lama. Diam yang tidak bisa diterka oleh sesiapa. Aku berhenti menatapnya.
“Tenang, Jon. Aku gak apa-apa,” katanya seperti membaca pikiranku. Aku tersenyum kepadanya yang sedari tadi mengingat-ingat istriku. Mendengar ceritanya membuatku dejavu.