Minggu lalu, saya berlibur ke Kawasan Ancol. Terkesan agak jadul vibes banget, tapi faktanya saya butuh refreshing. Selain karena saya suka sama laut, biru, awan, pantai, (suka banget ini mah parah!) saya ke Ancol karena jaraknya dekat sekitar 1,5 jam perjalanan lewat jalan tol.
Begitu sampai, saya langsung bermain dan ngantri gak jelas di Dufan, check in hotel, dan barulah saya jalan kaki ke warkop(?) di dermaga yang gak jauh dari hotel tempat saya nginap.
Sejenis warung yang jual seafood dan kopi sachet gitu. Tapi viewnya gak main-main. Betulan dermaga. Saya nongkrong sampai malam, menghabiskan rokok dan ngahuleng tarik seperti yang sering Para Penyimpang lakukan juga. Enakeun banget kata saya teh dalam hati.
Di tengah-tengah perjalanan tadi yang bau remis, bau bensin kapal, dan bau air yang saya gak ngerti bau air itu dari mana, begitu saya ngopi dan duduk merokok di dermaga, saya rasa itu terbayar. Ditambah dengan burung-burung yang beterbangan, lagu-lagu gak populer di Spotify yang juga gak premium, dan langit senja, tiba-tiba saya merasa seperti anak indie yang sedang ibadah.
Setelah sendawa dan merasa ada kunti di punggung, saya memutuskan pulang ke hotel buat istirahat. Keesokannya, hari begitu panas dan saya enggan ke pantai. Saya memilih untuk jalan-jalan ke suatu theme park.
Yang dengan bodohnya, saya menonton pertunjukkan singa laut. Pertunjukkan dibuka dengan berang-berang yang tiba-tiba muncul dari balik panggung, membawa papan gabus berisi poster dengan tajuk pertunjukan yang berlangsung, dengan gaya berjalan seperti manusia (2 kaki).
Gelak tawa muncul dari para penonton. Lengkap dengan narasi dan latar suara dan tingkat volume yang mirip pementasan kabaret Kopel di Cibungur Lake Park yang sound-nya kekencengan itu. Saya lantas berpikir, saya sebagai manusia aja keganggu dengan sound yang gitu, apalagi hewan?
Ditambah, hewan tersebut harus tahan mendengarkan sound yang gandeng banget itu minimal 3x sehari (jadwal shownya). Betapa menyakitkan. Di saat kita memiliki pilihan mau mendengarkan lagu apa, bahkan kita punya pilihan mau mendengarkan lagu atau gak, satwa yang jadi “bintang” pertunjukan itu malah harus mendengar narasi dari suara bising yang sama 3x sehari! seumur hidupnya!
Satwa di sana harus terlebih dahulu memasukkan bola ke dalam ring buat mendapatkan potongan ikan segar. Saya gak tahu apakah hal yang sama berlaku juga di habitat aslinya? saya rasa tidak. Saya gak kuat lihat raut wajah hewan itu ketika mereka harus berlagak dan bergerak sesuai instruksi manusia.
Bacot kalau ada yang bilang taman-taman eduwisata seperti itu adalah konservasi dan upaya melindungi. Mereka gak ngerti konsep konservasi. Upaya melindungi itu ya dengan membantu melindungi di habitatnya, memastikan habitatnya gak dirusak dengan tidak mengganggu insting hewaninya.
Tolol kalau ada yang bilang upaya yang dilakukan di taman-taman wisata itu untuk membudi dayakan. Kalau emang membudi dayakan, ya budidaya weh. Gak usah bikin pertunjukan segala, ditiket lagi! Ngapain coba kalau gak ngambil untung?
Makanya saya gak suka konten Alshad Ahmad, ngapain melihara harimau dikontenin? Gak malu memang? Logikanya kebalik atau gimana?
“Tapi alam kan sekarang gak seperti dulu, alam kan semakin rusak blablabla”
Ya iya makanya kalau udah tahu kaya gitu ya bantu selamatkan bumi! Climate action now!
Kurangi produksi sampah, kalau makan habisin, kurangi beli baju, baju yang udah gak kepakai di lemari kamu sumbangin atau kamu jual, mulai berhenti pakai plastik, bawa misting ke mana-mana! Gitu kan lebih gampang kalau memang ngelawan kapitalis lebih susah, mah. Bangun kesadaran bersama, bukan malah ngegelontorin duit buat perizinan melihara satwa buat dikontenin. Alih-alih kongsi pemberi izin dan oknum, ternyata ekploitasi hewan gak cuma melibatkan orang kaya dan pemodal besar, saya mengingat beberapa waktu di belakang. Motor saya pernah nabrak mobil karena itu mobil berhenti mendadak akibat ditabrak kuda (delman). Kuda yang kurus, terlihat lelah, dan ileran. Ileran seperti dehidrasi. Ya meskipun gak disuruh bayar ganti rugi karena aura miskin saya emang lebih kuat daripada aura antikritiknya Anne Ratna, tapi tetap aja saya sedih karena saya pikir, kuda itu lemas, sakit, atau kenapa-kenapa.
Saya seorang cancer. Zodiak paling sensitif, cenah.
Saking sensitifnya, dulu waktu kecil, saya pernah nemuin burung yang jatuh, entah kenapa kakinya. Tapi namanya masih kecil, saya gak tau dan akhirnya burung itu mati. Saya menggali lubang pakai sendok di kebun di rumah saya dulu. Di bawah pohon madu keraton. Saya tempelin kayu tulisannya,
“Jangan diinjak! Kuburan hewan!“
Eh gak tahunya itu diinjak Ayah saya.
Saya juga anti nonton Natgeo edisi Wildlife. Saya selalu nangis kalau ada scene hewan yang dimakan harimau/singa. Ya pokoknya gitu, lah. Ronggeng monyet juga. Makanya, dulu saya pernah dicakar monyet karena saya ngasih pisang ke ronggeng monyet. Ya, Arini kecil berpikir “Mendingan dicakar karena ngasih pisang ke monyet daripada ngasih duit ke amangnya.”
Setelah dewasa, saya berpikir lagi. Kalau udah gini, apa yang harus diperbaiki? Seburuk itukah pemerintah mengelola sumber daya, manusia, dan pola pikirnya sampai-sampai harus mengeksploitasi binatang buat duit, popularitas, makan dan beli beras?
Meskipun saya bukan vegan dan mungkin masih jadi bagian dari penyiksa binatang (karena masih makan daging), tapi saya rasa semua satwa bebas hidup dengan layak di habitat aslinya.