“Kubayangkan, Bapak berlutut dengan kepala ditutup sehelai karung dan kedua tangannya diikat ke belakang. Bapak tidak akan menunduk; tidak mungkin menangis, meratap apalagi memohon ampun dan melata. Dia mengucapkan cinta kepada kehidupan tetapi tidak takut kepada kematian.
Terdengar aba-aba, terdengar hitungan. Kemudian senapan-senapan yang dikokang. Tembakan pertama, tembakan kedua, tembakan ketiga, tembakan keempat, semua dengan serempak. Suara kepak sayap burung-burung nasar beterbangan dan anjing-anjing berhenti menyalak.
Bapak tergeletak. Sendiri. Sunyi. Burung-burung nasar berputar-putar di langit mendekati bau lezat darah. Perlahan warna merah kental itu mengepung jasad Bapak, membasahi tanah.”
Seperti yang sudah disebutkan pada judul, Bagaimana Kehidupan Anak Seorang Eks-Tapol 1965? buku ini akan memberikan jawabannya. Namaku Alam merupakan salah satu spin off dari novel Pulang, yang akan bercerita bagaimana dinamika, kesulitan, dan perjalanan hidup seorang anak eks-tapol tahun 1965, yang bernama Segara Alam.
Sekilas penjelasan, Pulang menceritakan kisah hidup seorang tahanan politik dengan latar tahun 1965. Juga menceritakan kondisi keluarga yang ditinggalkan karena hilang ditangkap, melarikan diri, bersembunyi, atau eksekusi mati. Alam menjadi tokoh yang terdapat dalam Pulang. Pembaca akan mendapatkan sekilas kisah Alam saat kecil dan saat sudah dewasa. Singkatnya, Pulang akan menceritakan tentang latar belakang keluarga Alam. Ayahnya yang seorang tapol lalu dieksekusi mati. Dan apakah setelah kematian ayah nya maka kehidupan Alam dan keluarga menjadi normal seperti masyarakat yang lain? Ternyata tidak.
Saya mengira bahwa Namaku Alam 1 akan meneruskan alur cerita dari Pulang, tentang perjalanan hidup Alam yang sudah dewasa atau tentang hubungan asmara dengan Lintang. Tetapi ternyata Leila memberikan kejutan lainnya. Novel Namaku Alam 1 menceritakan kehidupan Alam pada masa anak-anak: kecerdasan, perkelahian, romansa remaja, dan kisah sekolah.
Diskriminasi terhadap Anak Eks-Tapol
Seperti anak-anak pada umumnya, Alam selalu bermain dengan Bimo dan hanya Bimo yang menemaninya saat itu. Dikarenakan anak-anak lain menganggap bahwa Alam dan Bimo adalah anak pengkhianat negara. Mereka berdua memang memiliki latar belakang yang serupa, yang merupakan anak eks-tapol.
“Aku ingat bagaimana Pak Kepala Sekolah menggerutu ‘Dasar anak komunis ya, kelakuannya tak ada aturan.'”
Begitulah perundungan terjadi hingga Alam duduk di Sekolah Menengah Atas Negeri. Saat itu, Alam dan Bimo mendapat perlakuan buruk dari segerombolan murid yang merupakan anak seorang pejabat atau orang penting di pemerintahan, terjadi perkelahian fisik antara Alam dengan segerombolan murid yang dipicu karena hinaan kepada Alam hingga orang tuanya hingga kekerasan fisik yang dilakukan gerombolan murid tersebut kepada Bimo. Kejadian seperti itu sudah terjadi berulangkali. Akhirnya Alam dan Bimo memutuskan untuk pindah sekolah.
Kritik Terhadap Sistem Pendidikan
Bagian ini menjadi sangat seru dan mendominasi dari buku Namaku Alam 1. Bagaimana Alam dan Bimo sangat bersyukur karena telah keluar dari area yang menakutkan seperti sekolah lamanya. Area lingkungan sekolah yang tidak sehat, juga pihak sekolah yang tidak tegas pada kebenaran dengan mementingkan segelintir golongan; orang kaya atau pejabat.
Putra Nusa menjadi sekolah tujuan Alam dan Bimo setelah memutuskan untuk pindah. Putra Nusa merupakan Sekolah Menengah Atas Swasta yang diperkenalkan sebagai sekolah bebas dengan konsep hijau. Dikarenakan murid sekolah tersebut tidak memiliki seragam wajib, karena menurut sekolah Putra Nusa bukan seperti itu cara untuk mendisiplinkan murid. Putra Nusa berbeda dari sekolah Alam dan Bimo sebelumnya karena sistem pendidikan yang diterapkan di Putra Nusa sangat progresif dengan berbagai mata pelajaran tambahan, belajar di luar kelas, ruang diskusi yang terbuka antara murid dengan guru dan taat pada aturan untuk tidak membedakan siswa-siswinya, juga memberikan kurikulum tambahan di luar yang sudah pemerintah berikan, seperti pelajaran filsafat, antropologi, dan sastra dunia. Murid di Putra Nusa memiliki pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, ambisius, dan kompetitif secara sehat.
“Mengapa kita jarang percaya pada sejarah? Ayo, ini pertanyaan sederhana. Tidak ada jawaban yang salah. Yang ada hanyalah jawaban yang menarik atau kurang menarik.“
Saat membaca bagian ini, saya merasa bahwa Indonesia sudah seharusnya mempertegas kembali sistem pendidikan seperti Putra Nusa. Saya sebagai yang pernah bersekolah negeri sangat merasakan apa yang dialami oleh Alam dan Bimo, dan saya sangat menginginkan pendidikan seperti apa yang Putra Nusa terapkan.
Psikologis Anak Eks-Tapol
Alam memiliki kemampuan mengingat yang sangat baik, ia mampu untuk mengingat kejadian dengan rinci saat dirinya berusia 3 tahun. Kemampuan mengingat tersebut diperkuat dengan bakat menulis Alam juga kesukaannya dalam membaca buku. Sedangkan Bimo memiliki bakat melukis, dia mampu untuk mengutarakan perasaannya melalui pensil, kertas dan menjadi sketsa.
“Begitu ayat kelima diucapkan: sanggup menguasai diri! Kekki no you o imashimuju koto,” aku melirik kearah Om Aji yang berdiri di pinggir lapangan bersama Bimo. Ini satu-satunya ayat yang sulit kumasukkan ke dalam hati.“
Mereka, anak-anak eks-tapol seperti Alam dan Bimo memiliki cara-nya masing-masing dalam menghadapi perasaan. Begitu juga dengan dampak psikologisnya, Alam cenderung lebih mudah terbawa emosi, hal tersebut yang membuatnya sering berkelahi, dan akhirnya menemukan solusi untuk melatih emosinya melalui karate dan menulis jurnal harian. Sedang Bimo cenderung tertutup dan pendiam, untuk itu Bimo selalu menjadi target perundungan dan Alam akan selalu melindungi Bimo. Mereka saling mengisi kekurangan masing-masing.
Terasingkan Dari Lingkungan Sosial
Stigma terhadap anak eks-tapol menyebabkan diskriminasi, pengucilan, dan bahkan pelecehan seperti apa yang dirasakan oleh Alam dan Bimo. Beberapa faktor yang menyebabkan stigma ini adalah ketidakpahaman tentang alasan di balik status mereka sebagai anak mantan tahanan politik, serta stereotip negatif yang masih melekat pada situasi politik saat itu terjadi.
Alam dan keluarganya merasakan itu, terasingkan dari lingkungan sosial. Bagaimana saat kumpul dengan keluarga besar Ibu Alam, mereka selalu dikecilkan keberadaannya karena Ibu Alam menikah dengan wartawan yang dekat dengan organisasi Lekra dan tidak seperti anggota keluarga lainnya yang menikah dengan dokter atau tentara. Hal tersebut dianggap oleh keluarga besar sebagai sebuah masalah.
“Hati-hati, Ari, kamu terpesona anak kampung yang sok heroik macam begini. Ibunya juga dulu terpesona oleh komunis yang akhirnya dihukum mati. Akibatnya, pacarmu ini bukan hanya anak komunis, tetapi juga anak janda gatal.”
Ketika Alam sedang mendekati seorang perempuan, hal yang sama juga terjadi. Bagaimana keluarga perempuan tidak menerima Alam untuk mendekati anggota keluarganya, sebab Alam dianggap sebagai anak pengkhianat negara yang tidak beraturan. Stereotip negatif seperti ini selalu menjadi bayang-bayang bagi anak eks-tapol.
Namaku Alam 1 berakhir dengan kisah alam duduk di bangku SMA. Saya sangat menunggu novel selanjutnya dari Leila. Namaku Alam 2 dengan harapan bisa melihat lebih dalam bagaimana kehidupan Alam setelah selesai pendidikan SMA. Saya ingin mengetahui bagaimana kehidupan Alam saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi atau juga saat Alam memiliki sebuah penerbitan dan memiliki posisi penting pada situasi politik tahun 1998. Saya juga ingin melihat kisah Alam dengan Lintang yang sempat hadir pada Pulang. Saya menunggu kejutan yang akan Leila berikan. Buku yang layak untuk dibaca dan kita wariskan kepada orang-orang terdekat kita.