Cita-cita.
Apa artinya itu? Aku senang? Ya, tentu saja. Tapi apa? Hanya senang? Aku kelimpungan menebak dan mencari arti cita-cita dan aku seperti membutuhkan penjelasan yang lebih banyak dan memuaskan.
Tapi, akhirnya aku berhenti menebak apa artinya itu karena seharusnya cita-cita bagi seorang anak buruh tani yang tinggal di pedesaan sudah cukup menjelaskan arti cita-cita yang berakhir pada harapan. Cita-cita itu memudar ketika melihat Ayah dan Ibu datang sehabis seharian jadi kuli tandur di sawah. Wajahnya legam terbakar matahari seperti lagu, namun senyumnya selalu hangat setiap kali pulang ke rumah.
Aku mengalihkan pekerjaanku dari melamun ke mandi sore. Aku menanggalkan satu persatu pakaianku, seperti halnya aku menanggalkan mimpi dari lamunanku tadi. Mengecek semua dari mulai sabun, odol, hingga sampo yang separuhnya kuisi air. Setelah selesai mandi, aku kemudian mencatat beberapa ‘keinginan’ dalam sebuah kertas yang aku beli beberapa waktu lalu. Ya, aku mulai mencatat keinginan-keinginanku. Memiliki mimpi yang semakin melebar dari hasil kalkulasi harap dalam kepalaku, hanya membuatku kewalahan saat memikirkannya.
Sepertinya, sudah banyak orang menceritakan perihal mimpi-mimpi yang mereka catat dalam sebuah buku atau melalui apapun. Hingga suatu saat mimpi itu bisa terjadi. Bagiku hal itu lebih besar dari sekedar tabungan mimpi yang disimpan dalam sebuah catatan. Melainkan sebuah daftar untuk dilakukan, untuk mengingatkan, serta untuk memindahkan data mimpi itu agar tidak memberatkan kepalaku.
Kehidupan di desa setiap pagi selalu dihiasi oleh suara riuh dentuman Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang bunyinya memecahkan harapan para pekerja proyek dan gemuruh ombak yang menyapu pasir pantai.
Pak Tono dan Bu Siti. Kehidupan kedua orang tuaku sederhana, namun penuh kasih sayang dan kehangatan. Aku selalu melihat Ayah dan Ibu bekerja keras di sawah. Kala panen tiba, Ibu berdagang lauk di masa paceklik mencurahkan keringat demi menghidupi kebutuhan keluarga keci kamil. Peran Ibu hampir menggantikan Ayah sebagai kepala keluarga.
Ada tetangga bilang,
“Ayah adalah sosok lelaki yang hanya bisa bersembunyi di balik ketiak istri,”
Aku sadar, sebagai seorang anak lelaki perkataan seperti itu merupakan perkataan seksisme. Tetanggaku, sebelum belajar feminis ataupun keseteraan gender alangkah lebih baiknya menyaring dan tidak menormalisasi perkataan seksisnya.
Alih-alih bercanda, kata tersebut lebih bernada seksis dan menghina laki-laki. Merendahkan laki-laki, tidak mandiri, lemah atau tidak mampu memimpin dan bertanggung jawab. Memperkuat pandangan bahwa laki-laki harus selalu kuat, dominan, dan tidak bergantung pada perempuan.
Aku pernah membaca tulisannya Kalis Mardiasih dalam buku yang berjudul, Luka-Luka Linimasa. Seksisme adalah prasangka dan stigma negatif terhadap gender tertentu yang mengakibatkan diskriminasi gender dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menghindari seksisme, penting mengakui dan menghargai peran dan kontribusi setiap individu dalam hubungan tanpa mengaitkan mereka dengan stereotip gender yang kaku dan merendahkan. Setiap orang, tanpa memandang gender, memiliki hak untuk mencari dukungan dan bekerja sama dalam hubungan yang saling menghargai dan mendukung.
Sejak kecil, aku selalu diajarkan untuk menghormati orang lain tanpa memandang gender. Namun, di desaku, pandangan masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan masih sangat kaku. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, sedangkan perempuan harus mengurus rumah tangga dan anak-anak. Hal ini sering membuat aku merasa tidak nyaman, terutama ketika melihat adik perempuanku, Ana, yang harus berkorban banyak demi membantu pekerjaan rumah.
Ana adalah anak yang cerdas dan penuh semangat, sama seperti aku. Namun, berbeda denganku, Ana seringkali dibatasi oleh norma-norma sosial yang ada di desa. Suatu hari, ketika aku sedang bermain di halaman rumah, dia mendengar percakapan antara Ana dan ibu. Ana bertanya,
“Bu, kenapa aku tidak boleh sekolah tinggi seperti Kakak? Aku juga ingin belajar dan meraih cita-citaku.”
Bu Siti menjawab dengan suara lembut namun penuh keprihatinan, “Nak, bukan ibu tidak ingin kamu sekolah. Tapi, kita butuh bantuanmu di rumah. Lagipula, perempuan di desa ini biasanya tidak sekolah tinggi.”
Mendengar percakapan itu, hatiku tergerak. Aku merasa tidak adil jika hanya lelaki yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah sementara perempuan harus tinggal di rumah. Aku kemudian berbicara kepada ayah dan ibu, mengungkapkan kegelisahanku.
“Ayah, Ibu, kenapa Ana tidak bisa sekolah? Dia juga pintar dan punya mimpi. Kita harus mendukungnya.”
Pak Tono dan Bu Siti terdiam sejenak. Mereka tahu bahwa aku benar, tetapi realita kehidupan mereka membuat keputusan itu sulit. Namun, dorongan dari aku membuat mereka berpikir ulang. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada Ana untuk bersekolah meski dengan segala keterbatasan yang ada.