Sejak lahir, saya memiliki hak untuk memilih apa yang saya yakini, saya memiliki hak untuk membuat pilihan, dan menentukan jalan mana yang akan saya tempuh buat mencapai tujuan saya. Selama hal itu tidak menyakiti orang lain, saya memiliki hak penuh akan keputusan-keputusan dalam hidup saya sendiri.
Saya lupa baca buku siapa, tapi yang saya ingat kutipannya adalah, “Seseorang/kelompok yang sudah berkuasa, akan berupaya untuk melanggengkan kekuasaannya.”
Ini adalah teori yang saya yakini, dan sekali lagi saya tuliskan, saya memiliki hak untuk memilih apa yang saya yakini. Tidak ada seorang atau suatu lembaga mana pun yang bisa merenggut hal itu.
Menjadi warga negara Indonesia merupakan nasib terburuk dalam hidup saya. Bahkan saat saya lahir di tahun 1998, Indonesia sedang dalam keadaan carut marut. Krisis –saya menyebutnya krisis segala bidang, pada tahun 1998 jadi diskursus yang sampai saat ini tidak selesai, setidaknya untuk saya.
4 mahasiswa berdemonstrasi menuntut Soeharto turun dari kursi Presiden tewas ditembak di kampus. Hasil otopsi menunjukkan peluru tajam menembus kepala, tenggorokan, dan dada. Kekerasan golongan anti-Cina memicu rasisme memicu pemerkosaan, pembunuhan, dan penjarahan terhadap masyarakat Indonesia beretnis Cina.
Setidaknya kerusuhan itu yang sudah jelas terjadi di tahun kelahiran saya. Entahlah, mungkin nangisnya saya waktu lahir bisa jadi karena saya kecewa kenapa Tuhan takdirkan saya jadi WNI. 24 tahun saya jadi WNI, masih juga kufur nikmat ya karena saya gak tahu apa yang negara berikan sama saya? Apa coba?
Kemakmuran? No. Kesejahteraan? No. Pendidikan? No. Asuransi Kesehatan? No. Jaminan Rasa Aman? BIG NO. Sampai saat ini, selain dengan teman-teman saya, saya tidak pernah merasa aman untuk merokok di tempat umum, saya tidak pernah sekalipun merasa aman untuk bergaya sesuai dengan keinginan saya karena patriarki begitu mengakar di Indonesia dan tentu saja itu tanggung jawab pemerintah. Ada banyak permasalahan yang telanjur kusut di sini.
Pertama, sebagai wanita, saya memiliki hak yang sama dengan pria untuk merokok. Selama saya tidak merokok di dekat orang tua, anak-anak, atau orang yang sesak dan memiliki gangguan pernapasan, saya tentu saja berhak melakukan itu. Tapi, patriarki yang terus-terusan dilanggengkan tanpa upaya nyata pemerintah menghapuskan toxic-masculinity nyatanya masih merugikan saya dan wanita dewasa perokok lainnya.
Pemerintah bisa memberikan anjuran kepada pengusaha rokok untuk mengingatkan ‘bahaya rokok’, bahkan pemerintah bisa membuat iklan “Memakai Helm.” atau “Jauhi Narkoba.” Tapi bisakah pemerintah membuat iklan terkait “Stop Menghakimi Wanita Perokok.” atau “Stop Menghakimi Cara Berpakaian Wanita (Bahkan Laki-laki).” Atau “Stop Judi Online.” ? Rasanya nihil.
Lelaki di Indonesia gak ketinggalan menderita, seringkali ia harus berjuang sendiri dalam kehidupan rumah tangga karena “Loh, wanita itu kan kodratnya di dapur… Biar suami yang cari uang.” Atau, seorang pria dan wanita sama-sama bekerja dan wanita memiliki penghasilan yang lebih besar, maka habislah pria itu ditikam omongan mereng tetangga.
Sejak bekerja, lelaki sudah dibebani kewajiban membeli rumah untuk istri, membeli kendaraan, dan lain segala macam. Padahal, berumah tangga itu kesepakatan berdua, terkait rumah, kendaraan, cicilan, dan lain segala macam. Bukan hanya lelaki. Ibaratnya, kau punya baju, kau lah yang cuci baju kau. Pekerjaan seperti itu kan bukan soal perempuan dan laki-laki, tapi persoalan manusia atau bukan. Ya, ini terkait dengan pola pikir. Tetapi tentu pemerintah memiliki tanggung jawab untuk itu.
Apabila pemerintah tidak merasa memiliki tanggung jawab pola pikir patriarki seperti itu, untuk apa pemerintah meloloskan RKUHP yang memuat Pasal Pelarangan Penyebaran Marxisme-Lenninisme? Ini jelas langkah pencideraan terhadap ilmu pengetahuan, keyakinan, dan pola piikir. Pemerintah telah mengambil hak saya, dan jutaan masyarakat Indonesia lainnya untuk mempelajari sesuatu. Ini terkait keyakinan.
Pada beberapa kasus pelecehan seksual yang berhasil dilaporkan, ada berapa sih kasus yang berhasil dikawal sampai selesai? Ada berapa banyak kasus pelecehan seksual, pembunuhan, penculikan, kelaparan, ketidak adilan, kemiskinan, banjir, bencana, yang tidak ditayangkan media dan lenyap, hilang, begitu saja tanpa ada titik terang penyelesaian pemerintah? Lumpur Lapindo, Bekas-bekas Lubang Galian Tambang di Kalimantan, Ledakan PLTP Dieng, Wadas Melawan, Tamansari, Minyak Tumpah Pantai Karawang, dan lain sebagainya bagaimana solusinya? Munir, Marsinah? Everyone?
Kasus-kasus yang tidak selesai –semua kasus, bukan hanya pelecehan seksual menjadi bukti konkret tinggal di Indonesia adalah nasib yang lebih buruk daripada menjomblo seumur hidup.
Pemerintah mampu meloloskan sinetron-sinetron nirguna tayang di layar kaca, kisah cinta remaja sekolah nol moral sarat akan adegan bullying, talkshow dengan pemain panjat sosial yang nol karya, segunduk sensasi dan settingan belaka. Tapi tayangan yang memuat konten edukasi seks, sejarah, pola pikir, boost kepercayaan diri, self-improvement, dan segala yang berhubungan dengan kegiatan seni cuma bisa saya dapatkan melalui Youtube dan medsos. Apa yang negara berikan kepada saya?
Saya jadi teringat sebuah lagu dari Bars of Death,
Jangan pernah tanyakan apa yang negara berikan kepadamu
Karena hasil pemilu akan menentukan pasar yang investor serbu
Sehingga kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan para C.E.O
Akan membuka lahan serupa Roma yang dibakar oleh ribuan Nero
Negara hanya mampu memberikan saya sanksi tilang dan gas air mata pada demonstrasi #TolakUUCiptaKerja2020.
Comments 1