Kebiasaan gampang nyimpulin sesuatu pake prasangka dan asumsi negatif itu bisa bikin kepala mumet.
Alasan Kita Mudah Berprasangka Buruk

Jangan-jangan kita selama ini kejebak sama kesimpulan yang didasari perasaan sinis, prasangka, asumsi negatif, dan semua sifat jelek yang dimiliki Arini, yang walhasil, bikin kita sulit ngeliat sebuah persoalan secara objektif dan netral.
Efeknya, kepala jadi mumet sendiri. Lebih jauh, tentu hal itu sangat berpotensi mengganggu pekerjaan. Tapi kenapa, ya? Kenapa kita–atau saya aja mungkin–terbiasa menyimpulkan sesuatu seenaknya dibanding konfirmasi atau tabayyun terlebih dulu, atau gampangnya: kita (atau saya) malas mempertimbangkan sesuatu dengan logika dan pikiran jernih.
Saya menyadari hal ini awalnya tuh pas temen-temen guru yang lain ada jam ngajar, lalu di kantor guru, tinggalah saya dan seorang teman saya, sebut saja PakGur. Ngobrol lah kami.
Awalnya saya nanya gimana matematika bisa diterapkan ke hal-hal kecil dalam hidup sehari-hari–sok iye banget sih tapi itu seru banget, sampe pembahasan itu berhilir ke gibahin kondisi tempat kami kerja.
Saya merhatiin cara PakGur secara konsisten ngasih tanggepan dengan rapi, jernih, dan objektif. Singkatnya, berlogika banget. Semua yang dijelaskannya jadi terasa berisi dan tepat. Di sisi lain, waktu dia ngomong kayak gitu tuh rasanya seolah-olah ia ngejentikkan jari dan bikin saya sadar: gak semua orang punya skill seperti itu.
Di suatu obrolan, ceritanya saya menginisiasi bahas teman saya yang lain (singkatnya, ya ngomongin orang). Saya bilang gini,
“Ah. Si itu emang udah gitu deh karakternya.”
Lalu PakGur ini menampar saya dengan satu kalimat. Dia bilang,
“Sebenernya saya tahu, kenapa dia begini dan begitu karena ada bla-bla dan bli-bli dari orang-orang terdekatnya.”
Dengan jawaban demikian saya cukup malu dan memaki diri saya sendiri karena tentu za harusnya jangan menilai sebelum tahu betul kejadian sebenarnya seperti apa.
Berdasarkan konsistensinya yang selalu nanggapin sesuatu dengan sikap netral dan berlogika, saya sadar ternyata saya tidak di level yang sama. Di situlah saya akhirnya tahu: logika itu kalau dilatih, dipakai terus hingga konsisten, maka bakal kita bawa ke setiap obrolan kita. Bikin obrolan kita jadi punya suasana yang objektif, netral, dan berkelas. Angzay!
Bahkan saya yakin, orang yang seperti itu ketika dihadapkan dengan orang yang hobi gibah bisa jadi obrolannya gak jadi gibahan. Lalu apakah gibah jadi ciri orang yang bodoh? Apakah pelaku gibah tidak berlogika? Saya enggak tahu, kayanya enggak sepenuhnya salah, tapi itu persoalan lain.
Mari kita kembali saja ke pertanyaan besar di atas. Kenapa seseorang mudah membuat kesimpulan yang didasari dengan perasaan sinis, prasangka, dan sebagainya?
Menurut asal-asalan saya, ada tiga faktor utama yang jadi sebab untuk masalah tersebut. Komunikasi yang buruk antar teman, tim atau rekan, trust issue (masalah kepercayaan), dan minat baca negara kita yang rendah (untuk tidak bilang kebanykan IQ orang indo di bawah rata-rata aja). Empat deng berarti. Tentu pendapat ini sangat bisa salah.
Komunikasi yang Buruk Antar Tim atau Rekan
Komunikasi adalah kunci membangun pemahaman antar individu dalam tim atau lingkungan kerja. Namun lain cerita, kalau komunikasi enggak berjalan semestinya. Muncullah tuh yang selama ini kita sebut miskom. Ngomongin komunikasi bikin saya ingat nama Fallowfield yang dalam tulisannya Effective Communication Skills are The Key to Good Cancer Care, memvalidasi bahwa komunikasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kebingungan sehingga menimbulkan tekanan.
Selain itu, dia bilang
“Kurangnya komunikasi yang efektif antara spesialis dan departemen juga dapat menyebabkan kebingungan dan hilangnya kepercayaan di antara tim.”
Pada dasarnya komunikasi yang buruk rentan membawa tim atau rekan kerja terpeleset ke dalam kesalahpahaman, dan parahnya lagi bisa memicu terjadinya konflik. Jika suatu informasi atau pesan yang hendak disampaikan enggak jelas arahnya, maka akan menimbulkan berbagai penafsiran. Sudah tentu setiap anggota tim cenderung atau segera mengambil kesimpulan berdasarkan persepsi pribadi yang sering kali tidak sesuai dengan kenyataan atau pokok dari informasi tersebut.
Sekarang bayangkan, semisal ada sebuah tim projek yang terdiri dari lima orang mau mengerjakan presentasi untuk klien. Manajer tim mengirim pesan ke grup WA,
“Tolong buatkan materi untuk presentasi. Pastikan semua slide sudah siap diperiksa besok.”
Namun, karena itu pesan random dan manajer enggak nyebutin siapa yang bertanggung jawab buat membuat bagian tersebut. Salah satu anggota tim, Si A misal, merasa bahwa pesan dan tanggung jawab itu ditunjukan untuknya.
Dikerjakanlah oleh A hingga larut malam–ceritanya, untuk menyelesaikan semua slide. Di lain anggota, Si B udah bikin dan menyelesaikan setengahnya. Mengetahui B juga bikin presentasi, A merasa kecewa dan menganggap B tidak berkoordinasi dengan baik, sementara B merasa A terlalu ambil alih. Nah, kita sepakat komunikasi yang enggak jelas dari manajerlah yang memicu kesimpulan negatif dan ketegangan antar anggota tim. Bahaya banget itu.
Trust Issue
Kepercayaan adalah fondasi dari hubungan yang sehat–maaf sok bijak. Hasil riset Michael Calnan dan Rosemary Rowe dalam Researching Trust Relations in Health Care: Conceptual and Methodological Challenges mengatakan urusan kepercayaan tidak berkaitan dengan kepribadian atau an individual attribute. Tapi kepercayaan terbentuk selama antar individu melewati serangkaian interaksi yang didukung oleh berbagai aturan, hukum, serta kebiasaan yang telah melembaga.
Ketika kepercayaan bermsalah kemudian trust issue tumbuh di dalam diri, maka seseorang akan cenderung untuk memandang orang lain dengan skeptis. Seseorang pengidap trust issue ini biasanya langsung menafsirkan tindakan atau kata-kata orang lain secara negatif. Dari artikel Hermina Hospitals, Trust Issues dalam Hubungan, dijelaskan bahwa trust issue dapat memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan orang lain, menciptakan jarak emosional, dan memperbesar prasangka terhadap orang lain.
Nah, hubungannya dengan lingkungan kerja atau sosial adalah hal ini dapat menyebabkan kesimpulan yang tidak objektif dan penuh dengan sinisme.
Secara umum seseorang yang mudah mengalami trust issue disebabkan oleh pengalaman pengkhianatan di masa lalu, trauma, dan kurang percaya diri atau perasaan tidak aman dalam diri sendiri. Saya kira trust issue ini cukup serius karena melibatkan batin atau jiwa seseorang yang dampaknya mengganggu kehidupan sosial atau pekerjaan si pengidapnya. Proses pemulihan trust issue, saya kira pun, perlu pendampingan langsung oleh ahlinya, seperti psikolog.
Minat Baca yang Rendah
Minat baca yang rendah sering kali berkorelasi dengan kurangnya kemampuan berpikir kritis, berpikir kritis erat kaitanya dengan kemampuan berlogika (agak cocokologi sih, yang penting mah nyambung).
Sebagai bagian dari negara yang minat bacanya rendah, saya sepakat membaca adalah aktivitas paling membosankan dan bikin pegal leher–kadang-kadang. Semenjak kecil kita lebih senang nonton TV untuk mendapatkan informasi atau sekedar mencari hiburan, sementara buku yang sering dipegang dan dibaca hanya buku pelajaran sekolah–justru buku yang bukan kita minati sejak liat sampulnya. Boleh jadi itu salah satu pangkal masalah rendahnya minat baca kita. Akibatnya kita enggak tahan dengan kalimat-kalimat panjang dan mual sama buku-buku tebal.
Dampak lainnya yaitu, bagi kita mencari informasi tambahan dirasa tidak perlu, kita lebih memilih mengambil keputusan berdasarkan informasi yang terbatas atau bahkan hanya berdasarkan emosi. Jurnal Inspirasi Manajemen Pendidikan mencatat bahwa minat baca yang rendah dapat menyebabkan seseorang kurang mampu memahami dan mengevaluasi informasi secara mendalam, sehingga rawan terjebak dalam asumsi dan prasangka.
Faktanya, persoalan rendahnya minat baca kita menimbulkan dampak negatif yang kaditu-kadieu, sepanjang yang saya tahu, seperti matinya kepakaran: orang-orang lebih senang percaya omongan influencer yang followers bejibun ketimbang membaca atau mencari hasil riset para ahli–matinya kepakaran ini dikupas habis sama Tom Nichols, penulis Amrik yang menulis The Death of Expertise.
Kemudian brainrot, pembusukan otak karena terlalu banyak menelan konten-konten digital yang kualitas isinya sampah. Terakhir (paling memilukan), rendahnya minat baca di Indonesia jadi salah satu faktor Indonesian Kids Don’t Know How Stupid They Are yang ditulis Elizabeth Pisani–jurnal ini viral beberapa tahun lalu.
Di bagian ini, selewat saya jadi penasaran negara seperti Finlandia yang tingkat minat bacanya tinggi dan anak SMP-nya udah belajar logika dasar, kalau nongkrong ngomongin apa ya? Finlandia emas 2030, gitu?
Jadi intinya, kebiasaan kita yang gampang nyimpulin sesuatu pake perasaan sinis, prasangka, atau asumsi negatif itu bukan tanpa alasan. Menurut saya, kurang lebih ada tiga faktor yang bikin kita sering terjebak di pola pikir ini: komunikasi yang buruk, trust issue, dan minat baca yang rendah.
Komunikasi yang nggak jelas sering bikin kesalahpahaman, yang akhirnya nyeret kita buat nebak-nebak sendiri tanpa konfirmasi. Trust issue juga punya andil besar—kalau udah nggak percaya sama orang lain, semua tindakan mereka rasanya mencurigakan. Terus, rendahnya minat baca bikin kita males buat cari tahu lebih dalam, jadi gampang puas sama informasi setengah matang yang malah bikin kesimpulan kita makin ngawur.
Kesimpulannya? Kalau pengen ngobrol atau diskusi yang lebih objektif, jernih, dan “tampan” (seperti yang disebut tadi), kita perlu latih logika kita, belajar komunikasi yang lebih jelas, mulai percaya sama orang dengan porsi yang wajar, dan kalau bisa, pelan-pelan naikin minat baca. Siapa tahu, kalau kita udah bisa mikir lebih kritis, gibah pun bisa berevolusi jadi obrolan berbobot yang nggak sekadar nyebar prasangka.
Leave a Comment