Alasan Kita Harus terus Gerutui Pemerintah yang Tak Pernah Becus Ngurus Negara

Arini

Kita tetap perlu waspada dan tak berhenti kritis pada mereka yang berkuasa.

Saya menulis ini dari sebuah ruangan ber-AC di kedai kopi di lantai dasar gedung tinggi pusat perkantoran Jakarta Selatan. Area elit dan terlampau mevvah untuk saya yang cenderung tak ramah teknologi.

Saya menyeruput americano yang 1 gelasnya seharga Rp70.000 dan menghisap rokok legal yang hampir menyentuh Rp30.000 per bungkusnya. Dari dalam ruangan ini, saya menyaksikan mobil mahal mondar-mandir keluar masuk area basement. Pulangnya, saya akan berjalan kaki menyeberangi jalan-jalan super besar yang juga dipenuhi kendaraan-kendaraan bagus. Lalu saya akan mengutuk kaki saya yang berkeringat dan bau, lalu mandi air hangat, merebahkan diri dan menyalakan AC dengan suhu 30 saja.

Saya lalu akan membuka laptop dan meneruskan pekerjaan yang saya tunda sebelumnya. Kalau sedang beruntung, saya akan dijemput dengan mobil necis, datang ke pameran seni, jajan di Blok M, dinner fancy di Langham, sekadar makan Mi Aceh di sekitar Kemang, atau mencari Teh Talua di Senayan. Kalau tidak ya paling hanya main game bersama dari ponsel saja.

Sebuah kenyamanan hidup yang beruntung saya dapatkan, eh gak beruntung juga lah. Sulit dapatinnya karena tentu saja saya harus mengorbankan 80% waktu bermain saya untuk fokus pada hal lain yang bikin jengah, marah-marah, pegal kaki, dan pegal punggung. Apakah itu berarti saya bekerja jauh lebih keras daripada yang lain? Ah, gak juga. Terkadang betul, saya selalu merasa jadi yang paling lelah sa-alam-dunya, tapi ada waktunya saya gak capek-capek amat juga. Saya masih bisa menyunting video, menonton Hamtaro, Shincan, atau saya tutup laptop, lihat berita, dan voila!

Deretan kasus korupsi dan kebobrokan negara makin panjang. Dari benih lobster sampai BTS 4G, dari minyak goreng sampai kasus perdata yang tiba-tiba diputuskan secara ugal-ugalan. Ah, masih relevan gak sih ngomongin kebobrokan negara? Atau kita sudah terlalu kebal?

Berita-berita semakin gila. Meskipun saya juga memang sudah lama gila, tapi kalau setiap hari muncul pemberitaan tentang negara, rasanya bukan gak mungkin akan lebih banyak lagi yang gak waras. Kindly reminder, sedikit za saya rangkumin;

  1. Korupsi Benih Lobster Eks Menteri Kelautan dan Perikanan
  2. Korupsi Dana Bansos Covid-19 Eks Mensos
  3. Korupsi Pengadaan Pesawat PT. Garuda Indonesia
  4. Kasus Tata Niaga Timah Circle Harvey Moeis
  5. Pertamax Oplosan
  6. Kasus BLBI (yang sampai sekarang belum selesai)
  7. Penyerobotan Lahan PT Duta Palma Group
  8. Kasus Korupsi Migas PT TPPI
  9. Korupsi PT Asabri dan Jiwasraya (yang sampai sekarang belum selesai juga)
  10. Korupsi Izin Ekspor Minyak Sawit
  11. Korupsi Proyek BTS 4G
  12. Kasus Dugaan Manipulasi Laporan Keuangan  Pupuk Indonesia
  13. Kasus Korupsi Tom Lembong
  14. Kasus Korupsi Dana Desa (yang dipake bayar biduan)
  15. Kasus Korupsi Pengadaan APD di Menkes
  16. Tiba-Tiba Paman di MK Ketok Palu (Pilpres dan Pilkada)
  17. Pagar Laut (2025 saya taunya)
  18. Minyakita (2025)
  19. Pameran Galnas soal Ketahanan Pangan Dibatalkan (2025)
  20. Band Punk Sukatani (2025)
  21. Korupsi PT Antam (2025)
  22. Korupsi Bank BJB (2025)
  23. Korupsi PT Waskita Karya (2024)
  24. Korupsi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (2024)
  25. IKN Mangrak
  26. Foodestate yang nirfaedah
  27. Pajak naik
  28. Coretax
  29. Bahlil
  30. BPJS gak jelas
  31. Makan Bergizi dan bully-an Pe-A
  32. RUU TNI yang beli cangcut masih dibayarin kita semua itu
  33. Pencabulan oknum polisi b4b1
  34. Tapera teu kaharti
  35. Pembunuhan warga sipil sama naon atuh nyebutna oknum? Tapi asa kabeh kararitu
  36. Natnitnut klakson mobil orang-orang gak jelas plat merah dan babibu stafsus
  37. Pemblokiran Paypal
  38. RUU Penyiaran

Dan saya rasa masih banyak lagi daftar yang tentu saja saya bosan nulisnya. Belum lagi efisiensi pedut yang kacau banget lah.

Terkait kasus-kasus di atas, tentu banyak sekali orang yang memilih jalannya sendiri. Ada yang melanjutkan hidup seperti biasa, ada yang aksi, ada yang rebahan saja, ada yang share-share story terkait, gugurutu di Medsos, ada juga yang garang-gusuh di story WA.

Saya cukup lama berhenti menulis tentang kebobrokan negara (6 bulan lama gak, sih?), karena selain mencari aman dan ingin disayang mertua, saya juga merasa kehabisan waktu untuk terus-terusan dikejar isu lain saat belum selesai menulis suatu isu. Singkatnya, jadwalnya gak kekejar dan saya terlalu malas saja.

Meskipun begitu, saya merasa dosa saya tetap bisa dimaklumi karena saya (merasa) tetap aktif pada diskusi-diskusi lain yang membuka fakta baru bahwa ada satu kepala daerah di Sumbar yang ternyata pernah membuat event bersama Kapolda untuk menembak hewan yang dilindungi di Kawasan Cagar Alam di Sumbar sana.

Argh! Ingin nyanyi uia-uia-iu aiuaiua iaiaui saja.

Indonesia Bubar bukan cuma main ramal-ramalan. Saya rasa sebelum masuk 2030, Indonesia sudah bubar duluan.

Dari sebanyak itu lahan yang Nusantara punya, berapa banyak diantara kita yang hidup enak? Berapa banyak diantara kita yang gak usah pusing mikirin cicilan karena dijamin negara? Berapa banyak diantara kita yang hidup enak gak usah mikirin besok makan apa?

Saat ini, pajak yang dibayarkan, yang harus kita laporkan sampai akhir Maret ini mungkin sudah jadi mobil-mobil mewah pejabat, sudah jadi skincare, sudah dipakai beli stik golf, sudah jadi lift di rumah bapak-bapak DPR yang patriarkinya minta ampun, sudah jadi iPhone Promax terbaru gengannya Mario Dandy, sudah jadi tas atau sepatu biduan, dan selempak TNI.

Di sisi yang lain, ada yang gak bisa ke rumah sakit karena gak punya ongkos, ada yang bunuh diri sekeluarga karena gak kebeli beras, ada yang lagi ngeremukkin Indomie mentah karena gak punya gas, ada yang lagi panas-panasan bagiin brosur kredit motor.

Saya gak mau ngomongin njelimetnya proses korupsi, da lieur oge dan saya cuman tahu sedikit. Tapi saya mau mengingatkan betapa urgent hidup kita di Indonesia saat ini kecuali kalau kalian anak Jokowi.

Satu malam di sekolah pilot, seseorang dengan gaya rambut plontosnya melarikan diri. Alasannya? bengek dengan senioritas dan tingkah semena-mena kakak-kakak tua di sana. Ia berupaya kabur, berlari, dan memanjat pagar tinggi. Lalu, ketika ia hampir melompati pagar itu, menancaplah kulit wajahnya. Kulit di bagian bawah hidungnya berlubang panjang dan mengeluarkan darah. Meskipun sakit, tapi seseorang itu berhasil melarikan diri. Tanpa membawa apa-apa. Tapi sampai saat ini, meskipun dengan luka di wajahnya, ia hidup bebas.

Iya, hidup bebas dari senior-senior sok iye yang berani keroyokan dan terus memlonco. Sama kayak geng-geng sok kuat padahal omongannya tahi semua. Berlagak paling asyik padahal basi. Berlagak paling melawan tapi kelakuannya sama kaya yang lagi dilawan. Beraninya keroyokan, suap sana suap sini, ngasih jatah ke yang itu dan yang ini, bersembunyi pengecut gak bisa balas argumen, hobi mengalihkan fokus dan isu. Iya, sama kan?

Nyatanya, Indonesia memang sudah sejak lama gagal membentuk negaranya sendiri. Pemerintah selalu merasa siap membela rakyat, padahal tidak begitu. Lumpur Lapindo dan 98 saja tidak selesai-selesai, apalagi yang lain.

Kebobrokan semakin timpang dan simpang siur, sampai kita bosan sendiri ngomonginnya. Kalau konsep surga dan neraka ada, saya gak bisa bayangin orang-orang yang jarang ibadah dan jelek akhlak seperti saya akan berada di antrean yang sama di pintu neraka bareng pejabat-pejabat Indonesyah.

Haha. Akhlak. Mamam tuh akhlak BUMN.

Jangan jauh-jauh deh, berapa banyak demonstrasi yang berhasil membuahkan mufakat? 5 tahun terakhir aja ricuh mulu, kan? Kanjuruhan sampai mana? Oh belum selesai juga ya? DPR lagi sibuk apa sih memang? Sibuk nangkap tikus di gorong-gorong mungkin buat neror media.

Kekuasaan dan Ambisi buat Mempertahankannya

Saya lupa ini teori siapa, tapi seseorang yang udah tau rasanya jadi penguasa itu pasti bakal berupaya sekeras mungkin buat mempertahankannya. Kekuasaan, katanya, pada akhirnya hanya akan berfungsi buat mempertahankan dirinya sendiri. Makanya, kalau ada pejabat yang udah enak di atas, mereka bakal jungkir balik cari cara buat tetap di sana. Jadi ya udah gak usah heran dong kalau mantan presidenmu tiba-tiba naro anaknya jadi wapres bersama dengan lawannya di 2 periode sebelumnya.

Foucault bilang kalau kekuasaan itu harusnya dipandang sebagai relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang punya ruang lingkup strategis. Jadi kalau ngomongin kekuasaan sih ya harusnya gak cuma dari mana kekuasaan berasal, tapi gimana kekuasaan itu dioperasikan dan beroperasi. Negara gak akan pernah benar-benar ada untuk rakyat kalau sistemnya dibangun di atas kepentingan elit. Wacana “demi rakyat” yang mereka jual itu cuma alat buat memastikan kita tetap manut, tetap bayar pajak, tetap ngeluh tapi gak benar-benar ngelawan. Lihat aja, semua kebijakan ujung-ujungnya menguntungkan siapa?

Gramsci bilang, kita ini sebenarnya sedang dikendalikan lewat persetujuan tanpa sadar. Negara bikin kita percaya kalau ini semua normal, bahwa kerja rodi 9 to 5, bayar pajak mahal, harga sembako naik, dan rumah makin gak terjangkau itu bagian dari hidup. Kita dikasih ilusi bahwa kalau kita kerja lebih keras, kita bisa sukses. Padahal? Ujung-ujungnya siapa yang tetap tajir melintir? keluarga sebelah, lah.

Kita dipaksa hidup di sistem yang mengubah semua jadi komoditas. Pendidikan? Mahal. Kesehatan? Mahal. Air? Mahal. Hutan? Jadi punya investor. Udara? Nextnya mungkin dijual ugha. Guel sibuk nyari makan, orang DPR asik bagi-bagi proyek. Euh, State capture, state capture!

Belum habis menggerutu, ini pula RUU TNI. Udah mirip ordal-ordal inkompeten yang dititipin kerja tahu, gak? Coba perhatikan aja deh cara kerja titipan ordal di kantormu yang udah pada jadi leader, atau anak-anak yang ngerasa paling oke di tongkronganmu lah.

Udah mulai dimintain tolong hal-hal yang bukan pekerjaanmu? udah mulai disuruh kerjain hal-hal yang merupakan urusan pribadi? wah kasihan sekali. Turut berduka ya. Untungnya aku sih tydack. Wooo love my life banget.

Kesal gak punya leader yang gak mumpuni, gak kompeten, apa-apa minta tolong sedangkan dirinya gak berusaha bisanya nyuruh dan nyalahin, tapi giliran dikritik tiba-tiba kita didor? Ya kesal lah. Itu baru urusan korporat dan tongkrongan ya. Bukan negara.

Terus gimana solusinya?

Terus bawel, terus berisik, karena orang-orang yang kalah argumen akan selalu mengalihkan fokus dan isu permasalahan, akan selalu menghindar berlindung di balik isu yang lain, akan tiba-tiba nyerang sesuatu yang sama sekali gak ada hubungannya sama fokus masalah.

Melalui tulisan ini, saya mengajak teman-teman untuk terus menggerutu, garang-gusuh, dan terus melawan melalui berbagai lini. Kita (yang katanya waras, merasa diri berpendidikan karena aware sama isu-isu negara)  mungkin bisa mencontoh para fans K-Pop yang kompak mengcancel film A Business Proposal.

Lawan dengan cara yang kamu bisa. Dimulai dari melawan hawa napsu dan kebobrokan di dalam diri sendiri, baru ikut turun ke jalan, ikut menggerutu, terus posting semua kebobrokan pemrentahmu.

Saya rasa kita harus terus melawan, harus terus menjadi public enemy di jalan yang benar. Suarakan mereka yang gak punya akses seperti kita, yang tak punya tanah dan harus membeli mahal air kalau kata Homicide atau Yo Doyz ya lupa. Jangan cuma menyuarakan kepentingan sendiri pake blau blau padahal kepentingan kelompok. Kalau gitu lu pada gak beda sama pemerintah yang tiap hari lu gerutuin. Cuih.

Apa kita merasa hidup kita aman dan baik-baik saja hanya karena THR sudah cair dan kita masih bisa beli kopi 70rebu? Apa kita merasa hidup kita masih aman hanya karena kita masih bisa party dan masih gajian? Apa harus nunggu in the other shoes dulu baru mau ngelawan?

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik. Buku kumpulan puisinya As Blue As You telah diterbitkan di Pustakaki Press. Juni 2023 telah mengadakan Pameran Tunggal bertajuk A Quarter Century untuk mempertunjukkan hasil lukis sekaligus merayakan kelahiran buku keduanya, Jayanti. Buku ketiga, Notes of The Lost Sheep baru saja diterbitkan.

Related Post

No comments

Leave a Comment