Film Pengabdi Setan 2 besutan Joko Anwar ditayangkan di bioskop-bioskop di Indonesia sejak 4 Agustus 2022. Tapi, entah kenapa, ya? Saya kurang puas dengan film ini. Meskipun gak semua aspek buruk, tentu lagi-lagi saya acungi jempol buat Joko Anwar, yang meskipun juga saya gak tahu apa pentingnya jempol saya buat Joko Anwar?
Tapi serius, deh secara feeling, film ini justru lebih mengingatkan saya ke Pintu Terlarang atau Modus Anomali ketimbang Pengabdi Setan yang dirilis 2017
1. Disturbing Scene yang Too Much
Okay, saya paham betul membeli tiket film horor sama dengan membeli tiket wahana Dufan. Tapi saya gak nyangka akan disuguhkan banyak disturbing scene yang aduhai dalam hati saya, saya terus-terusan ngomong “Aduh kapan berhentinya, sih?” karena serius, deh. Kerja jantung saya dipompa terus-terusan. Menonton film Pengabdi Setan 2, rasanya terus-terusan dibawa terjun dari pudunan roller coaster. Lelah Hayati, Bang!
Contoh adegan yang menurut saya disturbing banget ya ketika Rayuan Pulau Kelapa muncul di TV, lalu gak lama, ada pelangi (apa sih diksi saya sangat dangkal sekali? Intinya, garis warna yang ditampilkan ketika TV sudah gak siaran.) dengan audio yang nuuuut, kemudian ada semut-semut TV yang sedikit demi sedikit nunjukkin sosok Ibu, ditambah dengan suara yang bising, sangat bising. Believe me, deh. Audio yang dihasilkan selama scene ini gak ingin kamu dengar terlalu lama, it’s just a way too noisy untuk ditampilkan selama lebih dari 15 detik. Selain itu, adegan lift jatuh juga terlalu lama untuk ditampilkan basa-basinya. Jatuhnya, badan saya malah capek duluan sebelum klimaks.
2. Underlighting
Gelap memang identik dengan film horor, sih. Tapi gak semua adegan harus malam dan gelap terus, kan? Dalam rangka menunjang jumpscare, efek menyeramkan, dan lain-lain, saya gak muluk-muluk dan gak mengharapkan Pengabdi Setan 2 harus terang, colorful, seperti Midsommar. Lagian rasanya apa banget juga kalau bandinginnya sama film-film yang udah jelas beda. Biar fair, saya mau bandingin film Pengabdi Setan 2 sama Pengabdi Setan (2017).
Alur cerita yang ada di Pengabdi Setan (2017) rasanya lebih banyak menunjukkan “siang hari” ketimbang Pengabdi Setan 2. Saya lebih nyaman nonton Pengabdi Setan (2017) karena ya saya jadi gak harus mengerungkan jidat aja gitu dan gak bikin mata saya capek cari-cari objek di frame yang gelap banget itu. Hue yang ditampilkan pun gak jauh-jauh dari merah dan oranye yang remang. Padahal, saya mengharapkan yang agak terangan dikit gitu hehe.
Terkait dengan hal ini, saya akhirnya membandingkan latar kedua film. Di film pertama, Rini dan keluarga tinggal di sebuah rumah yang pencahayaannya luar biasa dari mana-mana, sangat memanjakan mata. Pas deh untuk film horor. Gak terlalu gelap, gak terlalu terang juga. Tetapi di film kedua yang mengambil latar rusun, yang terjadi adalah kecerahan yang saya lihat hanya diluar rusun, sedangkan ketika masuk ke dalam rusun, saya malah merasa dibawa ke film-film action yang nunjukkin capsule box tempat jagoan-jagoannya istirahat. Let’s just say semacam shelter-nya Katness Everdeen dkk. Sebelum memulai pemberontakan di The Hunger Games, atau World War Z tempat ibu dan anak-anaknya istirahat selama sang Bapak bertugas menghentikan sebaran zombie. Ya, semacam itulah. Bedanya, ini lebih redup dan temaram, dan terjadi di hampir keseluruhan film. Bayangkan betapa menyiksanya saya harus mencari objek yang kiranya bakal muncul supaya ikut kaget pas muncul jumpscare?
3. Lack of Motivational Movement
Ketika saya bermain teater (yang bisa dihitung jari cuma berapa kali manggungnya itu), saya sering diingatkan soal “Motivasi”. Gini, kadang manusia suka aja gitu kan menggaruk padahal gak gatal, megang-megang rambut padahal gak kusut dan gak ada kecoa jalan di kepalanya?
Nah, kadang, di panggung teater, hal kaya gitu tuh dihindari.
Contoh lain, di suatu panggung latihan pementasan teater, saya berjalan ke satu arah, mengambil gelas. Tapi, kalau gak ada adegan minum atau adegan saya haus, saya pasti disemprot
“Lu ngapain ngambil gelas? Motivasi kamu ngambil gelas apa?”
Begitu lah singkatnya. Nah, di Pengabdi Setan 2 ini saya lihat cukup banyak adegan yang “kurang motivasi” diantaranya: (1) Adegan Tari narik Tony keluar dari lift, dan Tony gak berdaya nolak padahal itu bapaknya di-lift, woy. Entah, ya. Menurut saya terlalu maksa kalau masalahnya cuma karena Tari takut sama orang tengil (Dino) yang nunggu di luar lift, jadinya dia narik Tony. (2) Lagi-lagi Tony muncul sebagai orang gak enakan yang manut-manut aja disuruh Pak Ustaz ngecekin mayat. (3) Dino ngopek-ngopek bata oyag pakai garpu sampai tembok tetangga bolong. Pas lagi badai, dan mati lampu. Entahlah, Dino Si Paling Gabut.
Tapi selain poin-poin di atas, yang lainnya bagus, sih. Beberapa adegan yang bikin merinding banget, tuh:
Dan akhirnya juga, ada beberapa point yang dibiarkan nggantung, akhirnya ya ada gak sih hubungan antar para penghuni rusun? Sejak kapan sekte berlangsung? dan bagaimana awal keterlibatan Ibu-Bapak Rini? Ya hal-hal semacam itu lah. Tapi, saya dapat insight. nih. Seperti film-film bertema “sekte” dan “penganut aliran tertentu”, saya rasa karakter “Ibu” ini di kemudian film (jika memang mau dibuat sekuel selanjutnya) akan mirip seperti Ida di film Equinox, atau film Hereditary, atau Midsommar, yaaang si pemeran utamanya ini memang “dirancang” untuk menjadi “Ratu”nya sekte. Ya, sekedar insight aja sih ketika Rini bilang,
“Ibu tuh dulu dandan dan cara berpakaiannya gak kaya gini.”
Overall, oke lah. Oh iya, itu mohon maaf Mas Fachri Albar, saya kadang gak kuat sama usia-usia om-om yang ganteng kaya kamu, yah! Jadi kapan-kapan munculnya jangan kelamaan, plz.
Ya, sejauh ini masih oke, lah. Tapi lebih suka yang pertama, tetep.