“Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana,” kata Sapardi. Tapi Negara Ngaririweuh

Cinta tak lagi sekadar perasaan, tapi juga pertarungan dengan realitas sosial.

Aku, kamu, dan siapa pun pasti pernah mengalami yang namanya jatuh cinta. Anggap saja, itu peristiwa di mana sesuatu yang tanpa kita sengaja tiba-tiba datang: hati kita direnggut oleh orang lain, khususnya lawan jenis.

Anehnya kita mengikhlaskan begitu saja, makin aneh kita menikmati itu. Setiap kali aku membayangkan itu, aku merasa ada banyak kupu-kupu di dalam perutku.

Begitu banyak pengandaian dan pengistilahan tentang cinta. Mulai dari akademisi hingga penyair dalam puisi-puisinya. Satu hal yang pasti: cinta seakan-akan menjadi komponen dari kehidupan dan interaksi sosial. Namun, kenyataannya cinta itu manusia sendiri—bersifat dewasa, dinamis, bertumbuh, dan juga berkembang.

Saya ulangi, tak ada manusia yang tak memiliki cinta, sebab cinta itu manusia sendiri. Kamu bisa saja menganggap cinta begitu kejam. Kamu bisa saja membayangkan mencintai begitu melelahkan. Namun, satu-satunya alasan kita hari ini masih hidup itu karena cinta. Entahlah, aku juga malu membayangkan itu.

Apakah Mencintai Harus Dicintai?

Aku tak yakin jika setiap kali kita mencintai seseorang kemudian orang itu juga mencintai kita. Aku cukup ragu akan hal itu, namun apa salahnya? Apa salahnya cinta yang tak diutarakan? Apa salahnya mencintai dengan diam? Apa salahnya mencintai tanpa harus memiliki? Ohh shit!

Sebelum itu, kamu mungkin perlu tahu— Plato, bapak idealisme itu, dalam teori ilustrasi guanya seolah-olah menjelaskan jika kedamaian bisa kita rasakan di dalam gua kenapa harus keluar? Jika kebahagiaan bisa kita rasakan hanya dengan merendamnya kenapa harus diutarakan? Anjay…

Saya berbicara dengan beberapa kawan, tentunya yang memilih untuk memendam rasa cintanya itu. Membungkus dalam botol namun tidak juga mereka lempar ke laut, hanya satu-dua orang yang memilih untuk melemparnya ke pinggiran Sungai Citarum atau Kali Malang.

Tentu ada banyak alasan untuk itu, namun alasan terbesarnya karena tidak adanya rasa percaya diri. Saya tidak dalam rangka melakukan penelitian, kamu tidak perlu percaya apa yang aku katakan.

Namun, salah satu kawanku bilang bahwa sulitnya mencari pekerjaan, dan status finansial, akhirnya membuatnya memilih untuk tetap membujang. Oh iya, aku jadi ingat, salah satu lagu Iwan Fals yang mengatakan seperti ini:

“Kalau saja aku bukanlah penganggur,

Sudah kupacari kau.

Kita semua tahu, perempuan hari ini tidak sederhana, tapi aku tidak sedang membicarakan perempuan. Sebab perempuan hari ini juga karena situasi sosial yang terjadi hari ini juga. Aku bisa menjelaskan panjang lebar, namun satu hal, ada campur tangan negara yang membuat mengapa perempuan hari ini sangat tidak sederhana. Tidak seperti cintanya Sapardi.

Apakah Mencintai Artinya Juga Harus Memiliki?

Seperti halnya kamu, mereka, dan normalnya orang—tujuan akhir dari mencintai yaitu memiliki. Itu sebabnya negara cawe-cawe dalam urusan cinta seseorang melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Mereka yang melangsungkan pernikahan dengan mendatangi KUA akan dibuatkan surat nikah dalih kepemilikan.

Sejak saat itu, secara hukum istri kamu sah milik kamu. Namun, mungkin levelnya belum setara dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), tapi masih Hak Guna Bersama (HGB). Anjayyy, sebab jika istri kamu berkenan, dia bisa mengajukan status kepemilikan selesai.

“Jawab Yesus: Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matius 19:4-6)

Hingga pertengahan tahun 2024, tercatat 168.889 kasus perceraian, dan menjelang akhir tahun, angka tersebut meningkat menjadi 410.175 kasus. Meskipun demikian, laporan resmi untuk keseluruhan tahun 2024 belum dipublikasikan (Kompasiana).

Selain itu, data dari Pengadilan Agama Cikarang menunjukkan peningkatan signifikan dalam pengajuan perkara perceraian hingga 35% pada tahun 2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Dikutip dari laman Kompas.com (2023) menyebutkan faktor utama ialah masalah ekonomi sebasar 108.400 kasus.

“Menikahlah. Jika istrimu baik kau akan bahagia, jika tidak, kau akan menjadi filsuf.” Socrates.

Cintaku Memang Sederhana, Tapi Negaraku Tidak!

Cinta dibatalkan oleh perceraian, perceraian disebabkan oleh kemiskinan, kemiskinan dipengaruhi oleh pendapatan, pendapatan dipengaruhi oleh pengangguran, dan pengangguran disebabkan oleh tingkat Pendidikan, kualitas SDM dan kerja keras Negara.

Sebab negara bertanggungjawab atas dua hal: memelihara fakir miskin dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi apa yang terjadi? Korupsi di mana-mana dan ada kebijakan yang tidak memihak rakyat.

Aku tidak akan mengulas begitu banyak kondisi negara. Kamu bisa mencarinya di sosial media dengan beberapa tagar yang terkait seperti #AdiliJokowi #MisteriPagarLaut #KorupsiTimah dan #KaburAjaDulu.

Namun, jika kamu belum tahu dan berupaya mencari tahu saya sarankan untuk sarapan terlebih dahulu, sebab kamu akan banyak menemukan sampah. Relatif tidak ada kabar baik untuk hari ini.

Padahal Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk selalu berpegang teguh dalam nilai-nilai Al-Qur’an.  

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Surah An-Nisa’ (4:58)

Bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Membayangkannya saja sudah membuat aku ngilu. Maka mengertilah, sayangku: cintaku memang sederhana, tapi negaraku membuatnya rumit. Bersabarlah.

Oh, ya, andaikata dunia tak punya tentara,


Tentu tak ada perang yang banyak makan biaya,


Oh, oh, ya, andaikata dana perang buat diriku,


Tentu kau mau singgah, bukan cuma tersenyum.”

Iwan FalsPesawat Tempur.

Related Post

No comments

Leave a Comment