Gua kira akhir tahun, sebagai akhir penderitaan minimal ada secercah harapan bahagia gitu, ya walaupun sedikit dan masih samar-samar. Ternyata gua salah. Akhir tahun ini, gua dihajar bertubi-tubi. Mulai dari nomor HP yang udah nggak bisa digunain lagi karena masa aktifnya habis, dan emang salah gua sih, jarang isi pulsa.
Udah coba datang ke galeri operator, tapi ternyata mereka nggak bisa bantu. “Nomor tetap harus diganti dengan yang baru,” katanya. Menurut orang-orang, ini mitos atau fakta: nomor telepon yang nggak pernah diganti-ganti bakal dianggap lebih terpercaya, terutama buat orang yang punya bisnis. Gua kan was-was ya, soalnya lagi bangun bisnis jualan buku. Semoga suatu saat nanti bisa sukses kayak Buku Akik atau Buku Mojok, dan punya tempat sendiri yang isinya buku sekaligus tempat nongkrong seru.
Selain itu, gua kan orangnya setia, jadi males ganti yang baru lagi. Udah nyaman dengan nomor HP yang lama. Terus, kerjaan yang harus diselesaikan banyak banget. Bukan cuma kerjaan biasa, tapi kerjaan yang datang bak gelombang tsunami. Tiap kali satu selesai, muncul lagi yang lain, dan gua harus terus berenang biar nggak tenggelam.
Belum lagi deadline publish jurnal. Gua merasa seperti dikejar-kejar waktu, padahal kepala udah penuh sama segala macam teori dan data yang harus diolah. Belum lagi pengumpulan datanya, gua harus berurusan dengan birokrat pemerintahan yang bikin gua, sebagai jiwa pembangkang, harus nurut dengan prosedur yang bertele-telenya pemerintah.
Kadang gua mikir, apakah ada orang yang menikmati proses ini? Kalau ada, ajarin gua dong! Terus, tugas kuliah yang numpuk kayak gunung. Rasanya pengen lempar buku dan laptop, terus kabur ke pantai biar santai dan pergi ke pulau biar selow. Tapi ya, siapa yang bakal ngerjain tugas gua kalau gua kabur? Realita kembali menghantam, dan gua cuma bisa tarik napas panjang, nyeduh kopi, eh gak jadi deh sekarang minum non-kopi dulu karena cuaca yang gak nentu seakan memaksa gua harus akrab dengan sakit.
Yaudah deh, lanjut lagi ngerjain. Di bulan Februari 2025 nanti, gua harus sidang proposal. Kebayang nggak sih, gimana rasanya harus siap-siap presentasi di depan dosen-dosen yang kritis? Gua harus siap mental, ngerti betul topik yang dibahas, dan bisa jawab pertanyaan dengan mantap. Gua emang santai orangnya, jadi nggak perlu terlalu sempurna pas sidang proposal. Kan biar para penguji dan pembimbing ada kerjaan juga, minimal ngoreksi koma, titik, subjek, predikat, objek. Sastrawi banget, ya. Tapi gimana mau siap kalau tiap hari ada aja distraksi yang bikin fokus gua buyar?
Bayar kosan dan bayar kuliah juga nggak kalah bikin pusing. Setiap bulan gua harus mikirin duit dari mana, belum lagi ada pengeluaran tak terduga. Contohnya, motor gua yang suka minta “jajan.” Kadang harus ganti oli, ganti ban, service ini-itu, bahkan ganti keyakinan—eh, bercanda. Dan itu belum semuanya. Masih banyak hal-hal kecil yang tiba-tiba muncul dan minta perhatian, walaupun awalnya nggak gua pikirin. Misalnya, soal percintaan. Kadang gua bingung, sebenarnya gua santai aja sih mau punya pacar atau nggak. Tapi masalahnya, gua tuh udah terbuka banget sama semua cewek. Syaratnya cuma satu: bisa diajak ngobrol dan nyambung, sederhana kan. Karena, pas kita tua nanti, ya ngobrol yang bakal penting. Tapi gimana kalau ceweknya terlalu nasionalis, terus gua ajak ngobrol soal teori anarkisme? Atau kalau ceweknya terlalu Islami, terus gua bahas teori pluralisme? Atau cewek yang terlalu serius dan nggak bisa diajak bercanda? Kayaknya nggak cocok. Akhirnya gua sadar, gue butuh cewek yang santai, nggak terlalu kaku, bisa diajak stand-up comedian, ketawa bareng, gila bareng dan mau belajar—eh, jangan salah, bukan bimbingan belajar (bimbel), ya.
Rasanya hidup gua lagi di-test maksimal, apalagi di penghujung tahun begini. Orang tua gua juga udah mulai sakit-sakitan. Gua jadi sering bolak-balik ke rumah buat ngecek keadaan mereka. Rasanya berat, apalagi gua juga udah mulai sering sakit-sakitan entah karena dimakan usia atau kemiskinan. Adik gua juga masih suka minta jajan, kayak dia kira nyari duit itu gampang kali ya. Kadang gua kesel, tapi gua ngerti dia juga masih butuh banyak hal.
Semua ini bikin gua pusing tujuh keliling. Dan itu belum semuanya. Masih banyak lagi hal-hal kecil yang kadang nggak terpikirkan tapi tiba-tiba muncul dan minta perhatian. Rasanya kayak hidup gua lagi di-test maksimal, di akhir tahun pula. Kadang gua ngelupain semua masalah dengan cara kumpul bareng teman-teman yang gila, nonton stand-up comedy, melamun bareng, baca puisi, belajar teater, mencoba hal-hal baru, atau sekadar mencaci maki negara. Kawan berubah jadi lawan, lawan berubah jadi kawan. Kesepian terus menghantui, sementara kesepakatan mencoba merayu. Kadang saling caci, kadang saling puji. Percintaan dihina, persahabatan diasingkan. Tapi, tetap bergerak dan bertahan.
Tapi di balik semua ini, gua coba inget-inget lagi, kenapa gua mulai semua ini. Ada mimpi yang pengen gua raih, ada tujuan yang gua tuju. Mungkin akhir tahun ini gua dihajar habis-habisan, tapi gua percaya, setelah semua ini selesai, gua bakal jadi lebih kuat, lebih siap menghadapi tahun-tahun berikutnya. Jadi buat yang juga merasa dihajar bertubi-tubi di akhir tahun ini, ingatlah, kita nggak sendirian. Tetap semangat, tarik napas, dan terus jalan meskipun harus sendirian. Habis gelap terbitlah terang, lalu gelap lagi, terus aja begitu sampai negara bubar—eh, semoga aja nggak sih.