Ahli Kabur

Seperti Ronald Reagan yang saat diejek “ketuaan jadi capres” Amerika Serikat oleh Walter Mondale, ia menangkis dengan pernyataan:

“Saya tidak akan memanfaatkan kurangnya pengalaman lawan saya untuk memenangkan pemilu ini.”

Juga Cicero, yang mampu mengelak dari sindiran Metellus Nepos terkait asal-usul bapaknya yang bukan aristokrat Romawi dengan silatan,

“Lebih susah buat saya menjelaskan siapa sebenarnya bapakmu ketika semua orang tahu ibumu seorang Don Juana” dalam The Art of the Political Putdown

Zulkifli Hasan pun menguasai teknik humor defensif macam itu.

Ceritanya, Senin (8/12/25), ia curhat habis “dilabrak” ibu-ibu di Jalan Sudirman saat berolahraga.

“Ada dua ibu-ibu bertanya, ‘Pak Zul, berasnya mana? Enggak gotong beras?’.”

Zulhas kemudian menjawab, “Ini saya lagi olahraga karena kecapean gotong beras.”

Selanjutnya, Zulhas mengklaim ibu-ibu tadi tertawa mendengar selorohnya.

Seakan-akan, Menteri Koordinator Bidang Pangan itu sedang menggunakan hak jawabnya. Sebab belum lama ini, ia dituduh melakukan pencitraan lewat video memanggul beras di tengah korban bencana Sumatra.

Dalam video yang diunggah di media sosialnya itu, walau didampingi banyak orang, tampak cuma Zulhas yang memanggul karung beras sendirian.

Defensive humor adalah celetukan spontan yang lahir dari situasi tidak nyaman. Namanya juga gak disiapkan, kadangkala yang keluar dari mulut bisa saja asal bunyi (asbun) atau tidak logis. Tujuannya memang mengganggu, mengganti, bahkan menyetop alur pembicaraan yang berlangsung, seperti yang disebut Wheeler dalam Using The Power of Humor (2004).

Walau bukan eksklusif milik kelompok tertentu, politikus kerap melakukannya. Masalahnya, celetukan-celetukan macam itu berpotensi jadi problematik, mengingat aspek performatif dalam politik kerap kali lebih menjual dan viral daripada produk yang politikus harusnya berikan, contohnya kebijakan. Terlebih di era postmodern ini, celetukan-celetukan asbun begitu justru memisahkan politik dan hiburan seperti mengukir di atas air.

 

Kabur & Mengaburkan

Mengutip Mehnaaz Momen dalam Political Satire, Postmodern Reality, and the Trump Presidency (2019), postmodernisme—yang semangatnya berakar pada dekonstruksi dan subjektivitas—telah dijadikan senjata politikus untuk mengaburkan banyak hal.

Banyak kata kini bergeser maknanya secara politis. Misalnya, secara semantik, “hoaks” dulu dipakai untuk menyebut kabar burung yang sumber dan faktanya tidak jelas. Namun, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate pernah menggunakan kata tersebut untuk melabeli narasi yang kontra dengan milik pemerintah.

“Kalau pemerintah sudah bilang hoaks, ya dia hoaks. Kenapa membantah lagi?” tandas pelaku korupsi pengadaan BTS itu di sebuah siaran langsung acara televisi tentang UU Ciptaker, 14 November 2020.

Terbaru, ada polemik seputar kata “pendengung” alias “buzzer”. Senin (8/12/25), Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta, mengusulkan revisi UU ITE mengandung penindakan pendengung tanpa delik aduan. Katanya, di Indonesia, buzzer adalah aktivitas terorganisir dan dioperasikan oleh entitas tertentu.

Lagi-lagi, di sini ada upaya pengaburan. “Pendengung” atau buzzer umumnya warganet sematkan kepada influencer yang sohib abiez sama pemerintah. Namun kali ini, pemerintah berdiri seakan-akan sebagai oposan, mencoba melawan dan memberantasnya.

Maka dari itu, jadi relevan untuk mengangkat kembali temuan Indonesia Corruption Watch pada 21 Agustus 2020, yang dari penelusuran mereka digamblangkan bahwa ternyata APBN kita pernah digunakan untuk membayar jasa pendengung.

Informasi Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) tersebut diperoleh lewat penelusuran pada situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Pemerintah Daerah, dan dua lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI. Selama kurun waktu 2017-2020 saja, negara sudah membayar 40 paket pengadaan pendengung dengan nominal lebih dari Rp90 Miliar.

Lucu bukan? Kok jadinya malahan negara yang—setidaknya pernah memanfaatkan uang pajak kita—mengorganisir dan mengoperasikan para pendengung, pakai APBN pula. 

Penggeseran makna kata ini juga mirip dengan apa yang terjadi di AS. Presiden Donald Trump sudah terbiasa menggunakan frase “fake news” untuk melabeli banyak produk hingga lembaga jurnalistik. Yang lolos dari stempel tersebut hanya berita dan media yang pro-Trump, misalnya Fox News. Nyimpang tidak termasuk tentu saja.

Dengan track record doyan mengubah makna kata demi kepentingan politis, humor politikus tak bisa lagi kita anggap netral.

Humor mereka bakal sarat akan kepentingan—apalagi saat sedang dalam sorotan. Ujungnya, humor politikus tak ubahnya jadi sebuah strategi buat kabur saja.

Dengan humor defensif, politikus bisa mengubah narasinya jadi tombak serangan utama: mengaburkan serangan padanya bahkan kabur dari konsekuensi atas perbuatannya. Melalui amplifikasi media arus utama maupun media sosial yang mereka kelola, politikus yang sedang tersudut dapat menandingi bahkan mendekonstruksi narasi yang sudah ada dan menggema.

Giliran kita yang perlu lebih waspada terhadap gimmick dan gerak-gerik politikus postmodern. Jangan sampai humor mereka mereset pemikiran kritis dan rasa skeptis—untuk sekarang maupun di musim pemilu nanti.

Ini era mereka kabur dan mengaburkan fakta. Ooops! Kabur dulu ah, bhay! 

Author

  • Ulwan Fakhri

    Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan pionir Certified Humor Professional AATH di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like