Hujan deras disertai petir tak lantas membuat gadis cantik itu melambatkan laju mobil yang dikendarainya. Dia malah semakin tancap gas, hingga di persimpangan jalan, sesuatu membuat ia hilang kendali. Trotoar dihantam, “Brakkk!” Mobil terbalik, api menjalar, dan terbakar!
10 Menit Sebelumnya
Malam itu, “Dar-der-dor” petir menyambar-nyambar di langit Purwakarta, dan angin membawa hujan turun menderas.
Namun, Muit enggan meneduh. Ia tak goyah melanjutkan langkah kakinya menelusuri trotoar jalan. Entah ke mana arah yang ia tuju, tak satu pun orang tahu, termasuk dirinya sendiri.
Pemuda ini sudah lupa semuanya. Dia tak tahu siapa dirinya, apa masa lalunya, bagaimana masa depannya. Bahkan untuk menafsirkan rasa dingin yang mendera kala itu, ia tak mengerti.
Itulah mengapa ia tetap berjalan angkuh dalam derasnya guyuran hujan, meski hanya mengenakan sehelai kain sobek yang membungkus tubuhnya!
Rupanya sudah menahun akal sehat Muit terganggu, jadi agak-agak miring begitu.
Penyebabnya tidak lain adalah persoalan asmara yang membuat jiwa Muit hancur, hilang tanpa serpih!
Kini yang tertinggal hanyalah badan kurus, kering kerontang, terbungkus kulit yang legam menghitam lantaran jarang mandi dan kerap terbakar terik matahari.
Persisnya hidup Muit menyerupai kapal tanpa layar di lautan lepas. Dia pasrah terombang-ambing ke mana pun pergi, sekalipun karam menjemputnya!
Tragedi cinta dua tahun silam membunuh Muit dari dalam. Hatinya remuk redam kala Suci hilang dibawa pergi sang calon mertua. Mau bagaimana lagi, cinta mereka tak direstui. Ekonomi yang senjang jadi pemicunya.
Muit yang hidup susah tak bisa berbuat banyak, saat orang tua Suci tak dapat mempercayainya dan memilih mengamankan Suci sejauh mungkin dari dirinya.
Di Sudut Lain
Dekat persimpangan jalan, duduk meneduh di warung emperan seorang polisi pamong praja, Gopar namanya.
Pemuda ini belum setahun mengenakan seragam pasukan penegak Perda.
Tapi, sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi aparat penegak hukum. Setelah empat kali gagal di seleksi kepolisian negara, Gopar tak lantas berputus asa. Baginya, Perda dan Undang-Undang sama saja. Sama-sama harus ditegakkan!
Gopar sangat menikmati tugasnya, meskipun harus berdinas hingga larut malam. Baginya ini adalah pengabdian kepada negara, terkhusus kepada Purwakarta yang merupakan kampung halamannya sendiri.
Dapat berbakti untuk kampung halaman adalah kebanggaan Gopar. “Karena dapat membantu tetangga yang sedang mengalami kesusahan,” pikirnya.
Tempo hari, Gopar didatangi keluarga Muit yang merupakan sahabat karibnya sewaktu kecil. Hati Gopar terenyuh kala mengetahui kabar Muit yang sudah dua tahun ini mengalami gangguan jiwa dan hilang entah di mana rimbanya.
Gopar dimintai pertolongan untuk membawa pulang Muit jika sewaktu-waktu bertemu dengannya, dan Gopar menyanggupi.
Menangkap Muit
Tiga gelas kopi hitam sudah diangkat Gopar malam itu. Hujan yang deras merayunya untuk memesan gelas kopi keempat. Diangkatlah kopi gelas keempatnya, ia tiup perlahan-lahan lalu diseruput. Namun belum sempat ia meneguk, kopi dimuntahkannya.
Seketika Gopar berlari menyusuri trotoar menembus derasnya hujan untuk menangkap Muit yang berada tak jauh dari pelupuk matanya.
Muit yang merasa terancam kala menyadari seseorang mendekat dengan cepat, buru-buru menghindar sesaat sebelum tubuhnya disergap. Muit spontan berlari kencang menyusuri trotoar dan seketika bertolak menyebrangi jalan.
Tahu Muit dalam bahaya, Gopar berteriak, “Muit, Muit, tong lumpat ka jalan loba mobil!”
Tapi sial! Dari arah samping keburu datang mobil dengan kecepatan tinggi.
Mobil tersebut berusaha tak menabrak Muit dengan ngerem mendadak. Namun, jarak yang begitu dekat mengharuskan pengendara banting setir.
Muit selamat tanpa lecet sedikit pun. Tapi naas bagi si pengendara, mobilnya tergelincir hingga terbalik dan hancur menghantam trotoar. Tak hanya itu, api muncul dan menjalar dengan cepat! Mobil seketika terbakar.
Lokasi Muit yang tak jauh dari mobil membuatnya dapat dengan jelas melihat wajah si pengendara. Dia adalah Suci, pujaan hati yang selama ini dicarinya.
Muit seketika menjadi waras! Saraf-sarafnya yang miring mendadak lurus kembali. Tapi, kini dia berlomba dengan waktu sebelum api menjalar semakin besar dan membahayakan nyawa Suci.
Dramatis! Muit berani menembus api. Dia merangsek melalui celah kaca mobil. Akhirnya, setelah melalui detik-detik pertaruhan hidup dan mati, Muit berhasil mengevakuasi Suci ke tempat yang aman, agak jauh dari mobil yang terbakar!
Suci pingsan, sekujur tubuhnya lecet. Untungnya tak ada cedera fatal. Tak lama, Suci tampak hendak membuka mata. Tapi, buru-buru Muit melarang!
“Neng Suci, ini ada Muit, sebentar ya, jangan dulu buka mata!”
“Iya, A.”
Muit meminta Gopar agar mencarikan pakaian. Pikir Muit, nggak mungkin ia ketemu Suci dalam kondisi acak-acakan begini.
Dapatlah satu setel baju dan celana, pisau cukur, dan minyak rambut. Muit pun berpakaian rapi seperti orang normal sediakala, tapi masih ada yang kurang.
“Bro, parfumnya mana?”
“Nggak punya, Bro. Habis,” jawab Gopar.
“Nggak apa-apa, A. Udah jangan pakai parfum! Neng suka kok. Biarin bau juga, udah biasa!” ujar Suci. Ia membuka matanya. Muit dan Suci pun berpelukan. Gopar cuma melihat.
“Aku nggak nyangka bisa lihat wajah Aa Muit lagi,” ujar Suci, sambil nangis terisak, “walaupun sekarang jadi tambah jelek, tapi aku tetap suka kok.”
Mendengarnya, Gopar agak mual. “Cinta memang buta,” pikir Gopar.
“Neng Suci, jangan tinggalin Aa Muit lagi ya! Kita kawin lari aja, terus kita pergi jauh dari sini,” ajak Muit.
“Iya A, asalkan sama A Muit, ke mana aja aku mau, asalkan jangan dibawa susah ya, A!”
Muit pun melirik ke arah Gopar. Gopar pun mengerti dan memberikan sejumlah uangnya ke Muit. “Apes!” pikir Gopar. (*)