Oh mother, I can feel the soil falling over my head
An as I climb into an empty bed
Oh, well enough said
I know it’s over still I cling
I don’t know where else I can go
Oh…
I Know It’s Over – The Smiths
The Smiths mengalun saat motorku melaju dengan kecepatan setara kambing berlari. Malam itu terasa lembap, dengan bulan yang tersembunyi di balik awan kelabu. Jam tanganku menunjukkan dua puluh menit menuju tengah malam. Di kaca spion, kerlip biru dan merah terlihat samar, dan beberapa detik kemudian, dua mobil ambulans menyelipku dengan tergesa.
Aku baru pulang dari acara kawanku di sebuah kedai di Cikampek. Kami berkumpul untuk membaca puisi, bergantian membawakan karya-karya kami sendiri atau puisi dari penyair-penyair garang di masanya. Egi, misalnya, dikenal sebagai ujung tombak gerakan buruh dan membakar penonton dengan membacakan puisi Teguh Esa.
Saling sapa dan kehangatan tersaji di antara kami yang sudah saling mengenal. Tentu saja, di sana aku bertemu beberapa perempuan, termasuk yang ke-12 yang menolak ajakan kencanku. Meski merasa canggung, aku tak terlalu peduli.
Motorku masih melaju dengan kecepatan yang sama saat sebuah mini bus hitam mendekat. Ketika posisinya sejajar denganku, jendela mobil itu terbuka, dan seseorang di dalamnya berbicara—tidak jelas apa yang ia katakan. Awalnya aku tidak peduli, sampai ia menodongkan pistol ke arahku.
Aku segera berhenti. Mobil itu juga berhenti. Dua orang keluar dari mobil dan menghampiriku.
“Ada apa, ya, Pak?” tanyaku gemetar.
“Sudah, jangan banyak omong. Masuk sini cepat,” kata orang yang tadi menodongkan pistol.
“Tapi… motor saya, Pak?” tanyaku khawatir, karena motor itu hartaku yang paling berharga.
“Plak!” Pipi kananku ditampar keras. Aku mencoba melawan, tapi sia-sia. Dua orang lagi keluar dari mobil itu, dan mereka menyeretku masuk.
Aku terbangun di sebuah ruangan asing setelah dibuat pingsan di dalam mobil. Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya kecil dari ventilasi. Di lantai tergelar tikar tipis, dan satu kursi plastik menjadi satu-satunya furnitur di ruangan. Di luar pintu, aku melihat totebag-ku sudah diobrak-abrik; buku catatan, puisi “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau,” novel “Seribu Tahun Kesunyian,” dan earphone-ku berserakan. Dompet dan ponselku sudah hilang, bahkan jam tanganku juga tak ada.
Setelah beberapa jam terkapar dalam keheningan, aku merasa lapar, gemetar, dan kedinginan. Lalu, seorang laki-laki masuk menghampiriku. Dia tampak berbeda dari orang yang menodong pistol tadi malam. Aku hendak bertanya soal motorku, tapi dia lebih dulu bertanya.
“Burhan, di mana kamu simpan bom molotovnya?”
“Saya gak ngerti, Pak, apa maksudnya?” Jawabku kebingungan.
“Kalau kamu gak ngaku, mungkin sakitnya akan lebih parah dari semalam!” Ancamnya.
“Saya benar-benar gak ngerti, Pak. Saya gak punya barang seperti itu. Sungguh!” Aku merengek.
Aku hampir ditampar lagi ketika seseorang memanggilnya dari luar ruangan. Rasa takut yang menghimpit membuatku tak berani melawan. Aku menangis, memikirkan rasa sakit apa yang akan menantiku, sementara nasib motorku masih tak jelas.
Beberapa saat kemudian, pria itu kembali membawa ponselku. Dia memperlihatkan hasil pencarian di ponselku: puisi Teguh Esa, Pemda Karawang, mediaunik.com, dan bagaimana cara membuat bom molotov. Jarinya menunjuk tepat pada baris keempat.
Seminggu yang lalu, aku memang berencana menulis cerpen tentang seorang mahasiswa yang ingin membakar gedung Pemda Karawang, karena kecewa pada seorang staf yang menelantarkan ibunya, istri kedua, setelah skandalnya menyebar di media sosial. Untuk memperdalam ceritanya, aku mencari informasi tentang cara membuat molotov. Begitulah penjelasanku pada pria itu.
Dia tertawa sesaat, lalu menamparku lagi, kali ini pelan, tapi tetap sakit.
“Bocah, aku bukan orang bodoh. Cari alasan lain yang bisa bikin aku puas,” katanya sambil keluar.
Tak lama, dia kembali dengan buku catatanku. Berdiri di hadapanku, ia menyebut namaku, alamatku, lalu berkata bahwa aku adalah seorang guru di SMP swasta di Karawang. Dia tahu tentang aktivitas seni yang sering kulakukan di kota, termasuk kebiasaanku membaca puisi dan patah hati yang terjadi dua belas kali dalam setahun ini.
Dia tertawa saat menyebut soal patah hati, lalu berjongkok di hadapanku.
“Sebelum kita bahas soal molotov, aku ingin tahu, bagaimana bisa kamu patah hati dua belas kali?” tanyanya.
Desember tahun lalu, setelah putus dari mantan pacarku, aku berpikir berkencan lagi adalah cara paling cepat untuk sembuh. Tanpa pikir panjang, seminggu kemudian aku mencari perempuan untuk diajak kencan.
Pertemuanku dengan Mawar, kawan dari kawanku, berjalan baik di awal. Namun, di tengah obrolan, ia tiba-tiba menjadi pendiam dan murung. Setelah itu, kami tak pernah lagi bertukar kabar.
Setelahnya, aku bertemu beberapa perempuan lain, termasuk Ra yang membawa kabur novel kesukaanku. Meski bertemu, hubungan kami tak bertahan lama. Kebanyakan hanya berlangsung beberapa kali pertemuan, setelah itu mereka menghilang.
Aku menceritakan semua itu kepada pria di hadapanku. Tapi baru saja aku hendak melanjutkan ceritaku tentang perempuan ketujuh, dia menyuruhku berhenti.
“Langsung saja ceritakan tentang perempuan kedua belas,” katanya.
Baru saja aku hendak bercerita, seseorang memanggil pria itu. Aku bisa mendengar ada perdebatan di luar, sesekali terdengar kata “salah tangkap”. Tiba-tiba, aku merasa kedinginan dan takut. Aku mulai merapal doa keselamatan dalam hati.
Tak lama, pria yang menanyaiku tadi kembali bersama dua orang lainnya, termasuk si sopir. Mereka menatapku lama. Salah satu dari mereka, yang semalam menodongkan pistol, memintaku berdiri.
“Di mana kamu simpan molotovnya?”
Aku hanya menggeleng.
“Kamu kenal kami siapa?” tanyanya.
Aku menggeleng lagi.
“Bagus. Sebentar lagi kamu akan pergi dari sini.”
Aku tersenyum lemah, air mataku menggenang. Ketika ia mengatakan bahwa aku hanya pemuda sial yang sedang patah hati, aku tak bisa menahan tangisku lagi.
“Terima kasih,” kataku pelan. “Tapi, sepeda motorku di mana?”
Mataku ditutup kain ketika mereka mengantarku keluar. Dalam perjalanan, mereka membicarakan kebakaran di Halte Sudirman, sesekali tertawa mengingatku sebagai korban salah tangkap. Sopir berbadan kurus itu berkata kepadaku:
“Eh, bocah, hidup ini memang bangsat, tapi kamu harus kuat.”
Aku hanya membalasnya dengan senyum kecut. Tak lama kemudian, kami tiba di Parkiran Masjid Al-Jihad. Mereka menyuruhku turun dan memberitahuku bahwa sepeda motorku ada di sana.
Begitu mobil mereka melesat pergi, aku memeriksa sekeliling. Sambil mencari motorku, aku teringat kembali sesuatu:
“Isi botol dengan minyak tanah dan telur busuk, masukkan sebagian besar sumbu, bakar, lalu lempar ke sasaran: ‘pof!'”
Karawang, 2023.