Halaman-Halaman Pertamanya

“Ambil lagi sana bukunya!” bosku lalu memerintahku untuk mengambil stok buku di dalam gudang toko di dalam mall.

Aku baru bekerja di sini sekitar satu atau dua bulan, di sebuah toko buku yang memajang buku-buku berbahasa Inggris, dan harga paling murah tiga ratus ribu rupiah, setara dengan uang makanku satu minggu.

Toko buku tempatku bekerja menyatu dengan sebuah kopi mahal yang satu gelasnya delapan puluh ribu. Semua orang yang datang ke sini pun aku yakin bukan orang-orang yang sama sepertiku.

Aku suka bekerja di sini karena aku bisa membaca buku gratis, dan untungnya aku tak pernah ngantuk ketika pelajaran Bahasa Inggris.

Dulu, waktu pertama kali kembali bersekolah di Karawang, aku suka sekali mendatangi penjual agar-agar yang juga menjual komik-komik Si Gareng dan Si Petruk.

Aku suka membaca komik hantu dan meskipun aku tahu banyak sekali gambar wanita dewasa berpakaian ketat dan menonjolkan payudaranya akan membuatku dimarahi habis-habisan sama Bapak dan Ibu. Tapi, aku tetap menyelesaikan semuanya itu, dan buatku tidak masalah.

Dulu Bapak langganan koran Sindo. Aku suka membacanya. Paling, menu-menu masakan atau jadwal tayangan di televisi. Aku lalu berjalan sambil mengingat masa-masa itu dan melewati seisi mall yang luasnya seperti gedung setengahnya gedung DPR.

Para pekerja mengotak-ngatik mesin kasir dan menyalakan lampu yang membuat dagangan si saudagar terlihat dan menyala. Aku selalu terpesona melihat ritual pagi mall: penjual berlian dengan lentik menata ulang kalung pada manekin leher, dan membariskan cincin-cincin mahal itu dengan renggang

Di sepanjang koridor, layar terus-terusan mengulang kalimat

TOP SPENDER! HABISKAN UANGMU DAN MENANGKAN HADIAH!

Aku tidak tahu kenapa orang-orang senang juga melihat layar itu. Buatku, itu seperti khusus buat orang yang mau mengambil napas lebih panjang dengan cicilan-cicilan saja.

Aku melanjutkan perjalanan dan melewati toko game. Pekerjanya sepertinya sudah menyalakan konsol bahkan sebelum lampu toko benar-benar hidup

Jujur saja biasanya aku menghabiskan waktu lima belas menit untuk menyaksikan pekerja toko game itu memainkan game-nya di waktu senggang, ya seperti aku membaca buku di waktu senggang juga.

Aku suka membaca buku, tapi aku juga suka bermain game. Tentu saja Rumble Nascar, GTA, Downtown Hill,dan game-game bertema horor seperti Silent Hill atau Resident Evil. 

Aku lalu menyelesaikan tugasku dan kembali ke toko buku.

Tak lama kemudian, datanglah seorang ibu kaya yang selalu memegangi ponselnya. Balitanya digandeng oleh seorang pengasuh berseragam. Ibu itu selalu berpakaian seperti tokoh perempuan di komik Si Gareng dan Si Petruk: baju bagus tidak kusut, berkulit putih tanpa bekas luka atau bulu, dan tasnya lebih mahal daripada gajiku sebulan mungkin.

Ibu itu selalu menaruh matanya pada ponsel, anaknya tidak berhenti berjalan ke sana-ke sini. Si pengasuh itu terus-terusan menjaga si anak, sedangkan si ibu masih sibuk dengan ponselnya.

Ketika si Ibu menemukan buku anak yang mahal dan sampulnya bagus, si Ibu barulah memberikan itu kepada anaknya,

Tak tahunya, si Ibu meminta anaknya untuk memegang buku itu, “De, Ade sini foto dulu.

Si Ibu kemudian memotret anak itu dan melanjutkan memainkan ponselnya, membiarkan lagi anaknya dengan si pengasuh.

Aku yang terus memperhatikan si pengasuh, melihatnya terpesona dengan deretan buku yang banyak ini.

Si pengasuh itu bertanya,

“Kak, di sini ada buku Bahasa Indonesia gak, ya? Saya kepingin sekali baca di sini tapi saya gak ngerti Bahasa Inggris. Saya juga suka dimarahin kalau gak ngerti Bahasa Inggris sama atasan saya, karena anaknya ngomong Bahasa Inggris.”

Aku lalu menjawabnya “Belum ada, Kak.”

Si pengasuh itu hanya mengangguk sambil tangannya memegang-megang anak si Nyonya. Lalu ia memutar buku yang dipegangnya untuk kemudian ia cari tahu harganya.

Begitulah awal pertemuanku dan dia.

Lama-lama, aku menyadari pola kedatangannya. Ia sering muncul satu jam menjelang tutup toko, atau saat Nyonya sibuk pilates di lantai dua.

Ia selalu datang dengan alasan, “Anaknya mau lihat buku.”

Padahal jelas-jelas dia yang ingin membaca, tapi tentu itu bukan jadi suatu hal. Aku malah jadi sering mengobrol, dan kami semakin dekat. Bahkan, aku mengajarinya Bahasa Inggris.

Aku tak keberatan mengajarinya Bahasa Inggris. Kami memilih sudut yang tersembunyi. Pelajaran pertama kami sederhana: warna. Red, blue, green.
Minggu berikutnya kami membaca buku tentang seni. Ada banyak nama baru yang baru dia kenali. Lalu ia mengeja nama itu perlahan, dengan patah-patah, kemudian tertawa malu dan geli sendiri.

Ia bilang ingin bisa menjawab pertanyaan si anak kalau nanti si anak bertanya soal gambar di buku.

“Aduh Kak, malu saya kalau dia nanya ini apa itu apa tapi saya gak ngerti,” ujarnya.

Saat ia membaca keras-keras untuk pertama kalinya, suaranya bergetar. Aku mendengarkan dengan sabar.

Di hari-hari tertentu, seorang tukang pembersih kaca mall selalu memperhatikan kami dari jauh. Ia terus mengelap kaca sambil curi-curi lirikan.

Kadang ia senyum ketika si pengasuh berhasil membaca satu kalimat penuh. Aku pura-pura tidak melihat, tapi diam-diam aku ikut geli. Rasanya seperti sedang menonton sinetron saja.

Waktu berjalan dan ia makin sering datang.

Sampai suatu malam, saat lampu toko mulai diredupkan, ia datang terburu-buru. Nafasnya naik turun.

“Kak… boleh baca sebentar? Lima menit saja?”

“Hm, boleh dong,” jawabku. “Sebentar lagi tutup, tapi ayo.”

Kami duduk di tempat biasa. Ia membuka buku bergambar laut. Halaman pertama adalah gambar paus biru.

Ia menarik napas panjang, lalu membaca perlahan:
This… is… a blue… whale.

Untuk pertama kalinya, ia tidak ragu. Tidak menoleh padaku untuk memastikan. Aku menatapnya bangga, bangga dan gak tahu harus menjawab apa.

Saat ia hendak pergi, tukang pembersih kaca lewat sambil pura-pura sibuk. Dari sudut mataku, kulihat mereka saling menyapa pelan. Aku hanya tersenyum.

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like