Alasan Semua Orang Harus Kenal Kak Itwill

Foto dari Instagram @kakakitwill disunting Minpang dikit

Saya punya seorang teman yang sudah 15 tahunan menjadi kawan saya. Ya, sekarang tidak sering ketemu, sih. Tapi kalau waktunya ketemu, kami akan mengobrol sampai menghabiskan 2 bungkus rokok sekaligus. Tapi ia memang bukan tipe perokok yang sama beratnya dengan saya, ya biasa saja lah. Santai abis pokoknya, gak yang indie atau oldschool banget, tapi gak skena banget. Menjalani hari selayaknya orang pada umumnya di kota. Bangun pagi, bekerja, lalu pulang lagi.

Saya ingat, di malam terakhir kami bertemu, kami membahas persoalan hubungan seksual. Oh, omong-omong, setahu saya dia memang sempat punya pacar kalau saya lihat dari story-storynya, dan beberapa kali mungkin berganti pacar tapi dia bukan tipe yang cepat berganti pasangan begitu. Mungkin seumur pertemanan kami, dia baru 4 kali berganti pacar, itu yang ketahuan. Sisanya saya gak tahu dan gak mau tahu juga.

Obrolan kami berhenti pada suatu pembahasan tentang ketakutannya pasca diputuskan pacarnya yang terakhir, dengan ragu ia mengatakan,

“Kayaknya dia gak terlalu suka deh beraktivitas sama gue.”

“Beraktivitas apaan? Nongkrong aja jarang lu, main juga ke mana, Land of Dawn?!”

Maksud saya adalah, teman saya ini memang gak suka-suka amat main ke pusat belanja atau nongkrong-nongkrong. Ya ada sih teman nongkrongnya yang lain selain tongkrongan saya, nah, tapi saya gak tahu cara dia bergaul di sana. Apa setiap hari nongkrong, apa tiap minggu, terus ngobrolnya apa, ya gak tahu lah.

“Gak gitu, ya you know, she’s always been a star, been the popular one,”

“Aaaa… so you’re being insecure right now?”

Lalu teman saya mulai menceritakan pengalaman seksualnya.

Kemudian setelah selesai bercerita, teman saya lalu bilang terima kasih, dan intinya dia merasa dia tidak pernah merasa aman untuk berbicara soal pengalaman seksualnya, karena:

(1) Apabila ia bercerita kepada teman laki-lakinya (dan ini pernah dilakukan), ia akan dicap sebagai laki-laki yang tidak “jantan”

(2) Apabila ia bercerita kepada teman perempuan (dan ini belum ia lakukan, baru pertama kepada saya), ia takut itu akan membuat teman perempuannya tak nyaman, dan ia tak pernah kepikiran juga menceritakan itu. “Gak etis” katanya.

Lalu saya berpikir, dengan lingkungan dia di luar lingkungan saya, hal seperti ini bukan tak mungkin terjadi.

Saya lalu teringat kembali percakapan ranjang antara saya dan pasangan, dan kami cukup terbuka akan hal itu.

Jujur saja secara langsung itu memang berdampak pada hubungan kami. Tidak pernah ada masalah apa-apa dalam hubungan seksual kami, bahkan kehidupan seksual kami berjalan sangat mulus. Lalu saya berpikir,

“Oh iya, ya. Kasihan juga orang-orang seperti teman saya ini.”

 

Mengingat Sisilism dan Catwomanizer 

Di beberapa tulisan saya sebelumnya, saya selalu menyebut Sisil, Andrea Gunawan, dan Afutami sebagai tontonan saya di masa lalu. Ya, dulu ketika mereka masih aktif bikin YouTube. Ah, yang sebetulnya aktif dalam edukasi seksual tentu saja Sisil dan Andrea Gunawan. Afutami lebih ke kesetaraan gender dan feminisme pada umumnya, tidak mengacu pada hubungan seksual.

Saya ingat sekali, dulu Sisil beberapa kali hilang Instagram karena sering dilaporkan, Andrea Gunawan juga sering dibilang “liar” karena ia terang-terangan menceritakan pengalaman dan edukasi seksualnya. Dulu, sebelum ada TikTok dan Instagram punya reels. 

Lambat laun, Afutami sudah gak ngevlog di Frame and Sentencesnya, Andrea Gunawan juga sudah sukses dengan Filmorenya (which is I adore so much!), dan Sisil masih aktif dengan konten-konten edukasi seksualnya, dan saya patut berterima kasih atas media sosial yang sudah sangat terbuka dan menyediakan banyak opsi orang untuk terpapar dan sedikit lebih terbuka soal SexEd.

Meskipun jempol saya gak ada artinya, tapi tetap saya patut mengacungkan jempol untuk jagoan neon yang tadi itu, yang membuat perempuan tak takut dihakimi untuk sekadar sharing dan mendapatkan edukasi seksual, bahkan gak cuma seksual aja, ya. Tapi ketubuhan dan kesehatan organ reproduksinya juga. Thank you so much, girls! 

 

Toxic Masculinity dan Kaitannya dengan Hubungan Seksual 

Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, maskulinitas ideal sudah lama menuntut laki-laki sebagai menu paket lengkap: kuat secara fisik, tegas, tidak menangys, mandiri bahkan mampu menjadi pemberi nafkah, dan selalu harus berani. Seperti dicatat oleh Nainggolan dkk. (2025), laki-laki dibesarkan dalam tekanan untuk mengendalikan emosi dan menjaga jarak dari sifat-sifat yang dianggap lembut. Tidak heran jika banyak laki-laki memilih diam, menahan sakit hati, atau menertawakan dirinya sendiri ketimbang mengakui luka yang sebenar-benarnya dirasakan, dan untuk hal ini, terima kasih kepada dr. Boyke yang telah lebih dulu speak up dengan mondar-mandir di televisi dan membahas seluruh SexEd yang dibutuhkan. 

Yang lebih menyakitkan, adalah hampir tidak ada sosok lain selain dr. Boyke (pada zaman sebelum ada Instagram reels) yang memberikan ruang untuk laki-laki sharing terhadap kehidupan seksualnya. Kita bisa membayangkan dalam masyarakat kita (pada umumnya), laki-laki akan sulit ngobrolin hal itu karena belum juga sampai pada inti pembicaraan, sudah ada kalimat,

Cemen banget lu … “

atau “Ya elah gitu doang masa bla bla bla”

Yang mungkin dikiranya omongan kaya gini gak nyakitin kali ya, padahal kan bukan main dampaknya. Konstruksi laki-laki harus kuat dan gak boleh “cemen” seperti ini lah yang kemudian melahirkan toxic masculinity yang kompleks. Hermawan (2023) menjelaskan bahwa toxic masculinity sering muncul lewat perundungan dalam bentuk sindiran, penghinaan, roasting, labelling yang terus menerus diarahkan pada tubuh atau karakter seseorang.

Dalam pergaulan teman saya yang tadi misal, laki-laki lain justru belajar menjadi “kuat” dengan mengolok sesamanya, sehingga mereka lupa bahwa itu sebenarnya bentuk kekerasan juga. Ah, saya juga sering menyadari dan mengamini bahwa, 

“Satu sifat buruk membawa sifat buruk yang lain.”

Yang, dalam hal ini, bukan tak mungkin laki-laki yang selalu bilang “cemen” atau “ya elah gitu doang masa blablabla” adalah tipe manusia yang merasa dirinya paling di antara yang lain, merasa lebih hebat dalam segala hal apa pun, dan sering merendahkan orang lain, yang pada waktunya mereka bertemu laki-laki yang gay, reaksi spontan yang keluar adalah “najis!” 

Huft. Dasar orang-orang brengsek.

 

Fenomena Queer dalam Budaya Pop dan Influencer Media Sosial

Sebelum era Instagram, kita sebetulnya sudah diakrabi dengan hiburan-hiburan dan orang yang transgender, queer, atau pun ya hanya berpenampilan melampaui ekspresi gendernya saja,  yang berangkat dari budaya populer misalnya Tessy, Dorce Gamalama, dan Bobby Tince.

Tokoh-tokoh yang bahkan sudah eksis sebelum wacana gender dan ekspresi nonbiner ramai dibicarakan. Meski konteksnya sering bersifat komedi dan terlihat problematis sampai sering dicekal, tapi kita tidak bisa mengabaikan bahwa merekalah pintu paling awal yang membuat masyarakat Indonesia akrab dengan penampilan yang menyeberangi batas gender. Mereka (atau mungkin banyak yang lebih dulu) adalah bagian dari sejarah panjang wacana gender di Indonesia.

Meskipun sering tak diakui dan diberikan label negatif, kehadiran Tessy, Bobby Tince, dan Dorce Gamalama dengan segala kompleksitasnya telah memberi warna pada budaya populer dan memungkinkan ribuan orang menemukan kata untuk memahami dirinya sendiri.

Saat ini, kita punya Awbimax, Lucinta Luna, Ragil Jerman, sampai Kakak Itwill yang tentu za semuanya memiliki branding masing-masing.

Awbimax hadir sebagai perantau Lampung yang berkuliah di Australia dan membongkar absurditas pemerintah misalnya, dengan gaya yang biasa saja, julid, dan banyak berbicara dan membagikan pengetahuannya soal study abroad, terlihat lincah, cerdas, dan tahu betul cara membangun persona queer yang relate tanpa menjadikan dirinya objek bully. Tetap bersinar dan vokal, bahkan!

Lucinta adalah salah satu figur queer paling kontroversial dalam budaya pop Indonesia. Identitasnya sering dijadikan bulan-bulanan oleh netizen, tapi ia tetap menghasilkan konten, masuk TV, mengerjakan endorse dan bekerja. Terlepas dari segala sensasinya, menurut saya, Lucinta Luna pun membuat publik mengakui bahwa seorang perempuan transgender bisa menjalani kehidupan yang sama dengan orang lain.

Ragil Jerman menunjukkan dimensi lain kehidupan queer yang mencintai travelling dan penuh humor sehari-hari bersama pasangannya. Ia memperkenalkan dinamika keluarga non-heteronormatif dengan cara yang biasa saja dan gak banyak heboh (mungkin karena ia tinggal di LN juga ya), jadi gak banyak yang mempermasalahkan hal itu juga, gak seperti Lucinta Luna yang diserang terus padahal dia juga gak ngapa-ngapain netizen 🙁

Lalu sebagai mahasiswi semester awal Itwill University! Saya perkenalkan, Kakak Itwill!

Kakak Itwill 

Kakak Itwill adalah representasi paling hangat dari ruang aman untuk semua gender. Itwill menghadirkan tempat bagi semua orang untuk merasa dilihat dan didengar tanpa dihakimi.

Branding yang dibuat oleh Kakak Itwill adalah branding kocyag abiez. Konten yang diangkat kebanyakan kontennya menjawab pertanyaan-pertanyaan netizen seputar hubungan seksual dengan bahasa gaul yang ia buat sendiri, tapi mungkin sepertinya dulu sudah ada ya, karena dulu juga kalau gak salah ada kamus bahasa Binan deh kalau gak salah, tapi saya lupa penciptanya.

FYI, pesona Itwill sangat lembut, dan sangat “mamah-able”, penyabar, lalu banyak menarik napas (sebagai bentuk terkejutnya menghadapi pertanyaan netizen), penuh cinta dan empati pokoknya.

Kemudian, yang paling menarik adalah pesonanya mampu membuat orang lain terbuka dan bertanya soal hubungan seksual, organ reproduksi, dan lain-lainnya terkait itu!

Yang paling bikin menarik kemudian dari persona Kakak Itwill adalah cara ia —tanpa mengkampanyekan apa pun secara eksplisit— membangun ruang aman digital yang sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi laki-laki seperti teman saya yang di awal saya ceritakan itu yang bahkan takut bercerita kepada teman laki-lakinya sendiri.

Ruang aman yang Itwill ciptakan gak perlu bahas bawa-bawa teori A, B, C, blablabla tapi “Bisa kok ternyata dibawain dengan jenaka.” jadi rasanya lebih manusiawi dan lebih cair aja menurut saya.

Sekalipun pertanyaannya kadang kelewat frontal, tapi kebanyakan pertanyaan mewakili kok, dan melihat cara Itwill menjawab juga pun bikin kita (atau saya) jadi gak ngerasa diketawain, kok. Gak pernah ngerasa dihakimi juga, justru banyak pelajaran yang didapat, kok.

Respons dari Kak Itwill seringkali, begini;

Menarik napas, melipat bibir ke dalam, lalu:

“Hm … jadi begini, Beb.”

“Oke, ini bahas ini ya,”

“Aduh, Beb. Jangan mau dibego-begoin, Beb. Alemong-alemong.”

“Ya kalau kamu bisa sih maafin dia ya maafin aja,”

atau ekspresi marahnya menanggapi orang ketiga yang berbangga diri,

“Jangan, Beb. Tinggalin, kamu jangan menyakiti perasaan wanita lain, Beb. Orang udah sah, jangan kau jadi iblis ya. Pyuh!”

Yang, bagi sebagian orang mungkin terdengar lucu, tetapi bagi banyak orang lain terutama penanya, itu adalah bentuk validasi dan jawaban yang (mungkin) saja gak pernah mereka dapatkan dalam hidup. Di sinilah kemudian yang jadi alasan saya mau menjadi mahasiswi di Itwill University! Ia, dengan personanya, menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang nyaris mustahil ditanyakan orang di banyak lingkungan.

Itwill membuat orang feeling safe untuk mengakui ketidaktahuannya, membuat orang mengakui insecure-nya dan make people embraced!

Gak jarang juga Itwill mengakui perasaannya terkait identitas diri dan orientasi seksualnya, dan ia selalu mengamini doa yang dilontarkan dengan positif. Padahal kita semua tahu, dalam dunia yang begundal seperti ini, ruang aman adalah kemewahan, dan Itwill berhasil menciptakan ruang aman bukan cuman untuk dirinya sendiri, untuk orang lain bahkan!

Saya kemudian membayangkan: andai teman saya yang tadi itu menemukan Kakak Itwill lebih awal, mungkin ia tidak harus memendam insecurity tentang hubungan seksualnya selama itu. Mungkin ia sudah sejak lama sadar bahwa laki-laki pun boleh kok nanya, boleh kok bingung dan rentan, dan boleh kok merasa gak oke tanpa takut dicap “gak jantan”.

Maka tidak mengherankan jika teman saya tadi, dengan segala ketakutan dan insecure-nya, merasa tidak punya ruang aman di kalangan laki-lakinya sendiri.

Kesimpulan

Saya memegang prinsip (megang doang berarti, belum sepenuhnya bisa mempraktikkan) you’ll never understand until it happens to you. 

Saya yakin, orang yang jarang berbicara akan mendengar lebih baik daripada orang yang terus-terusan ngomong gak berhenti dan berpikir dirinya adalah pusat perhatian seluruh dunia. Saya yakin, orang yang banyak membaca dan memaknai bacaannya akan memiliki empati yang lebih tinggi daripada orang yang sedikit membaca yang penting upload dan jadi bookstagram untuk jualan buku, dan saya rasa Itwill pun begitu, sebab kadang (tanpa berkaitan dengan hal-hal terkait LGBTQ+ saja), minoritas kadang lebih baik empatinya daripada mayoritas.

Ruang aman itu justru lebih banyak lahir dari teman-teman yang seringkali mengalami kejahatan-kejahatan yang tidak terlihat seperti seksisme, misoginis, dan diskriminasi. Saya jadi yakin, yang justru paling sering direndahkan, adalah orang-orang yang paling paham bagaimana rasanya tidak didengarkan, dan karenanya lah Itwill mampu menyediakan tempat aman untuk orang lain.

Makanya, ketika saya ingat teman laki-laki saya di awal cerita, saya jadi ingat Kakak Itwill yang bisa bikin banyak orang merasa aman dan nyaman bertanya tentang insekuritas seksualnya, hubungannya, tubuhnya, yang kalau dibahas di tongkrongan teman saya itu cuma bisa berujung “Cemen banget lu,” itu menunjukkan satu hal:

Bahwa kemampuan seseorang untuk menjadi manusia yang punya empati, atau kemampuan seseorang buat jadi makhluk paling brengsek sedunia sama sekali gak ada hubungannya sama orientasi seksualnya. Zero percent bahkan. Itwill membuktikan~

So, thank you, Kak Itwill! Semoga hari-harimu dan Abah selalu indah dan bermakna! Yeay. 

Author

  • Arini Joesoef

    Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 4, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). dan Yusuf dan Sapi Betina (2025). Suka pamer dan suka bikin pameran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like