

Jauh dari kehidupan saya yang saat ini menjadi ibu-ibu feminis kabupaten, dulu saya adalah penggemar lagu Kang Abay yang sebagian besar lagunya berisi hijrah, mencintai dalam diam, atau menangisi jodoh dunia-akhirat yang entah kapan datangnya.
Ciri khas dari setiap lagu religi (eh, religi bukan, sih?) adalah liriknya yang mendayu-dayu, puitis dan kelihatan pasrah sama ketentuan-Nya. Sedikit-sedikit, bidadari surga. Belok dikit, mahligai surga. Alah-alaaaaah.
Awal mula lagu-lagu itu menjadi daftar putar utama di gawai saya adalah fase setelah putus dari mantan pacar yang toxic. Saat SMA saya mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP) selama satu tahun dan melanjutkan hidup bersama trauma.
Setelah hubungan itu berakhir, saya tidak tahu harus ke mana, seperti kehilangan arah saja. Saya menjalani hari seperti wadah kosong, setelah sadar begitu tololnya diri ini dalam satu tahun terakhir. Lalu, berniat untuk kembali mengkaji agama sebagai bentuk jangkar baru.
Kajian-kajian hijrah, lagu-lagu religi, dan quotes potongan hadis mulai saya kumpulkan. Namun, alih-alih mendengar ceramah Gus Baha, yang saya dengar malah kajian ustaz spesialis jodoh. Padahal saat itu saya baru kuliah semester dua.
Saya pikir, inilah versi terbaik saya; menjaga jarak dengan laki-laki, berjilbab panjang, dan mengganti profile picture BBM dengan kartun muslimah. Sampai pada suatu waktu, seorang laki-laki mendekati saya dan berkata ingin menjalin hubungan lebih serius lewat taaruf.
Kalau dipikir-pikir agak merinding juga mengingat modus dia dulu, hampir setiap hari dia mengirimi pesan berisi potongan-potongan artikel terkait istri salihah yang sebagian besar isinya tentang istri harus taat, pahala ikhlas menerima calon suami apa adanya (termasuk calon suami yang tidak punya duit karena tidak mau usaha), surga istri di kaki suami sampai anjuran perempuan untuk tidak melanjutkan sekolah karena rida suami. Sulit dipercaya setelah merasa tolol karena terjerat kekerasan dengan mantan pacar, kini dibodohi laki-laki berkedok religi yang cupet dan patriarki, yang mencoba mengambil alih daya kontrol hidup saya.
Lalu pada suatu malam, sepulang kuliah salah seorang kawan mengirimi saya pranala artikel esai tulisan Kalis Mardiasih yang berjudul: Perempuan yang Sekolah Tinggi Memang Tidak Berniat Menikahi Akhi-Akhi Cupet.
Kubaca dengan saksama, rasanya getir, lucu, dan perlahan membuka luka-luka lama. Karena gaya menulisnya kayak ngomel-ngomel tapi tetap fokus pada tujuan penulis.
“Terus, kalian mau dilempar ke masa kapan lagi? Nggak perlulah dilempar ke masa jahiliah ketika para laki-laki tega mengubur hidup-hidup para perempuan lalu mengurungnya dalam rumah, tidak memfungsikan daya pikir, tangan, kaki, dan menjadikan perempuan barang pajangan kan?”
Dhuarrr! Potongan kalimat itu membuat pipi seolah ditampar bolak-balik.
“Lha, iya…”
“Bener juga…”
“Edan kieu tulisanna euy!”
Saya baru tahu kalau pada tahun 1919 Nyai Ahmad Dahlan bareng Aisyiyah itu udah bikin TK alias Busthanul Athfal yang sampai sekarang jumlahnya sudah mencapai 5.865 buah, dan sekarang, perguruan tinggi Aisyiyah itu di mana-mana.
Atau Gerwani yang tahun 1960-an sudah berorganisasi buat ningkatin kesadaran perempuan tani, kerja bareng Buruh Tani Indonesia (BTI), bahkan bikin banyak diskursus buat bahas pendidikan, hak kepemilikan tanah kaum perempuan tani, mendorong penghapusan rodi yang berlaku di desa-desa, membahas masalah pembagian harta waris, hak-hak untuk ikut serta dalam proyek-proyek masyarakat, dan menghapus sikap diskriminatif terhadap perempuan mandul. (Sumber: Perempuan yang Sekolah Tinggi Memang Tidak Berniat Menikahi Akhi-akhi Cupet)
Sejak malam itu saya membaca tulisan Kalis yang lain, mempelajari pola kerangka berpikirnya dalam membicarakan isu perempuan. Mungkin ini yang dinamakan proses “penyadaran” lewat tulisan.
Ternyata, tidak perlu pengakuan laki-laki untuk membuktikan perempuan adalah manusia seutuhnya. Tidak perlu juga tunduk pada tafsir-tafsir agama yang tidak berpihak pada keadilan perempuan. Begitu hening namun kembang api dalam kepala terasa begitu riuh dan meledak.
Sekarang kalau ada akhi-akhi cupet yang nyeletuk,”sebaik-baiknya wanita sholehah adalah ia yang diam di rumah,” tinggal saya jawab santai “di rumah juga bisa sambil nulis, Mas. Sambil eksplorasi ide-ide campaign biar perempuan di luar sana nggak terjerat laki-laki kayak situ.”
Kadang saya mikir, kalau bukan karena tulisan Kalis Mardiasih, mungkin sekarang saya sedang menghakimi para ibu yang bekerja, atau para perempuan penyintas kekerasan yang memperjuangkan hak-haknya di jalan bahkan di pengadilan.
Sejak malam itu saya mulai percaya bahwa Tuhan tidak menciptakan perempuan untuk “dijinakkan”, melainkan untuk menjadi utuh dengan nalar kritis dan hati yang berani.