Anniversary Prabowo-Gibran: Hanya Ada Bersusah dan Berpayah Saja Kita

Satu tahun lalu sejak pelantikan disiarkan terdapat sorak-sorai yang ramai dari berbagai kalangan pendukung. Ada yang bilang harapan baru, ada pula yang bilang beban baru. Tapi setelah euforia itu reda, yang tersisa justru lelah, lelah secara kolektif yang tak punya tempat berlabuh untuk pulang.

Pemerintahan berjalan membawa janji-janji yang terus terseret-seret. Satu tahun ini bukan perjalanan yang kalau saya lihat tidak kuat dan tegas. Sebab ketegasan hanya terdapat di mulut jin Bahlil yang berbusa ketika ngomong soal publik luas.

Semacam drama murahan yang ditulis dengan tergesa oleh para elite yang kehilangan imajinasi dalam alam pikirnya tentang siapa itu rakyat. Bersusah dan payah, negara ini lama-lama seperti mesin yang lamban yang ditopang oleh napas orang-orang kecil: petani yang tak tidur karena gagal panen, nelayan yang tak dapat ikan atau airnya tercemar, dan anak-anak sekolah yang keracunan masal di berbagai daerah.

Dari awal kita semua tahu bahwa pengurus-pengurus negara ini bukan dibangun atas dasar gagasan, tapi perhitungan dan statistik.

Gibran adalah simbol kontinuitas, bukan perubahan apalagi perwakilan anak muda di dalam pemerintahan. Ia adalah anak rezim sebelumnya yang dipaksa menjadi perpanjangan tangan di tubuh politik yang renta.

Begitupun Prabowo, dulu dia adalah oposisi keras dan kini menjadi simbol dari kompromi paling besar dalam sejarah politik pasca-reformasi. Sebuah ironi yang kebablasan dan retorika nasionalisme yang payah dan kaku.

Rakyat tidak butuh panggung militerisme yang masuk ke sendi dan tulang-belulang sipil. Rakyat hanya butuh beras, kestabilan harga, dan bertahan pada “hidup”, yang parahnya “hidup” itu sendiri adalah permainan semata dari para pemangku kebijakan untuk mencoba menipu dengan tipu muslihat mereka melalui komunikasi politik yang gagap dan pongah.

Di sektor ekonomi, kata hilirisasi terus digaungkan seperti mantra untuk mengelabui pemikiran kritis dan pertanyaan-pertanyaan rakyat. Tapi di lapangan, justru yang terjadi adalah perampasan ruang hidup rakyat pada korporasi besar yang masuk.

Tambang, nikel, sawit, dan proyek semacam IKN yang sampai saat ini mangkrak dan entah menghabiskan berapa triliun uang rakyat untuk itu. Desa kehilangan tanahnya, laut kehilangan ikannya, dan kota kehilangan akal sehatnya.

Rakyat dikelabui dengan tipuan ini untuk masa depan rakyat, ini untuk rakyat. Tapi masa depan apa?

Masa depan yang mana?

Apakah masa depan yang diukur dari laju investasi asing yang merusak? Atau dari kemampuan masyarakat membeli beras tanpa harus kesusahan?

“Pertumbuhan ekonomi” rasanya cuman jadi omon-omon dari pengurus negara yang gak pernah becus, yang hanya berbicara angka tapi nol di dalam kenyataan.

Sementara di luar gedung, ada anak-anak keracunan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggalnya.

Satu tahun ini juga memperlihatkan bahwa wajah politik populisme berubah bentuk: dari janji-janji kesejahteraan menjadi hiburan para menteri di hadapan pers berbohong. Setiap kebijakan di perlihatkan dengan kesombongan dan bahasa menggebu-gebu atau tertawa-tawa. Seolah dengan itu semua bisa membuat masyarakat kenyang.

Yang paling menyakitkan mungkin meredamnya suara masyarakat, suara yang kalau digaungkan akan berhadapan dengan penyiksaan dan penangkapan, suara yang kalau digaungkan akan berubah jadi lindasan oleh kendaraan perang dari aparat.

Setelah bertahun-tahun hidup dalam ilusi pembangunan, banyak yang kini memilih diam bukan karena setuju, tapi karena takut

Kebebasan berekspresi yang dulu jadi kebanggan pasca-reformasi, kini menjadi ruang sempit yang menakutkan bagi sebagian orang karena berhadapan dengan pistol dan senjata. Satu orasi bisa dianggap ancaman, dan satu tulisan jujur bisa dianggap berbahaya.

Disisih lain, Prabowo-Gibran masih menampilkan dengan wajahnya yang sok-sokan jadi pemersatu, mematikan oposisi untuk bersama-sama menikmati bagi-bagi atau politik dagang sapi.

Setiap rakyat mengeluh pemerintah menjawab dengan pongah, dengan argumentasi yang payah dan tidak berdasar sesuai dengan fakta dan kenyataan.

Kita menyaksikan negara ini berjalan dengan penuh ceceran darah dan luka yang masih belum sembuh: ketimpangan sosial, korupsi yang makin canggih, dan politik yang tidak mencerdaskan.

Gibran yang digadang sebagai simbol anak muda tapi justru menunjukan bahwa usia muda justru tak memiliki visi baru. Ia seperti anak kecil yang tidak sekolah yang tiba-tiba loncat langsung duduk di kursi paling atas: bingung, tapi sok tenang.

Ketika rakyat bertanya padanya atau wartawan, jawabannya justru penuh humor yang tidak jelas, ketika ditanya soal kebijakan, justru ia menghindar dengan kalimat datar, dan ketika muncul meme dengan wajah cengonya, Gibran melalui tim kreatifnya hampir selalu langsung menjadikan itu sebagai reels hiburan dan dipampang di IG pribadinya. Benar-benar caper abiez.

Namun berjalannya para pengurus ini menjadikan kita belajar: rakyat tidak sebodoh yang diasumsikan para pengurus. Mereka mencatat, mereka membandingkan, dan meskipun kadang kita lelah, kita justru tidak menyerah. Obrolan-obrolan intim mengenai negara dan bangsa justru malah terus terjadi, di kebun-kebun warga, di warkop, dan di kantin-kantin kampus.

Pemerintahan ini menyusahkan dan benar-benar payah. Bahasanya pemerintah penuh dengan bualan melulu pula.

Satu tahun Prabowo-Gibran tak ada pencapaian, adanya masalah-masalah yang terus mengikat tanpa pembenaran dan perbaikan yang konkret.

Kita lihat betapa rapuhnya demokrasi yang di bangun atas dasar citra, betapa mudahnya rakyat dilupakan begitu saja. Kita telah melihat topeng para elite atau pengurus ini, dan kita hanya menyisakan pertanyaan sederhana: sampai kapan kita harus bertahan?

Satu tahun ini memang payah!

Author

  • L Malaranggi

    L Malaranggi adalah seorang mahasiswa aktif dan penulis. Berbagai tulisannya telah tercecer di sejumlah media. Bisa di sapa di @malaranggiii

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like