Jalan Pintas Piala Dunia Sudah Hancur

Tim nasional sepak bola Indonesia yang belum pernah meraih gelar apa-apa itu tiba-tiba saja ngebut ingin masuk Piala Dunia. Untuk mencapai target tinggi tersebut, mungkin yang dibayangkan publik pecinta sepakbola tanah air adalah pihak PSSI sebagai induk sepak bola nasional akan melakukan evaluasi besar-besaran terhadap ekosistem jagat sepak bola Indonesia.

Mulai dari pembinaan pemain usia dini, perbaikan kualitas liga, pengadaan pelatihan kualitas Wasit dan memperbaiki berbagai sarana fasilitas penunjang. Tetapi kenyataannya tak seperti yang dibayangkan. Ketua umum PSSI saat itu yakni Erick Thohir (yang juga rangkap jabatan sebagai Menteri BUMN) tidak mau repot-repot mengurusi hal-hal receh seperti itu. Ia ingin dengan cepat nan instan membentuk squad Timnas yang kuat dengan mengambil pemain-pemain keturunan berdarah Indonesia yang bermain di Eropa.

Langkah tersebut sebenarnya prematur untuk memajukan tim nasional sepak bola suatu negara, namun para pengambil keputusan di negara ini sangat tidak mudah menerima saran. Kalau inginnya begitu ya harus begitu, maka yang bisa masyarakat pecinta sepakbola Indonesia lakukan hanya menerima.

Para pecinta Timnas Indonesia pun awalnya terpecah menjadi dua kubu: yang menolak pemain keturunan dan yang menerima pemain keturunan. Masing-masing kubu punya argumentasinya masing-masing.

Pemain keturunan yang bergabung dengan Tim Nasional Indonesia adalah pemain kualitas tier 3. Mereka tidak bermain di tim besar yang langganan juara di liganya masing-masing sebutlah Liverpool, Manchester City, Real Madrid, Bayern Munchen, atau Nyimpang Unity. Klub yang dibela pemain keturunan ini adalah klub-klub yang jarang terdengar namanya semisal KV Mechelen, Ipsich Town, NEC Nijmegen, FCV Dender EH. Ada juga yang bermain di klub yang agak kesohor sih macam Wolves FC, Swansea FC namun bukan pemain utama. Pemain yang cukup berkilau adalah Jay Idzes, Mess Hilgher, dan Kevin Diks. Namun sepakbola adalah permainan tim dan permaianan tim tak bisa dibangun dalam waktu sebentar.

Duduk di kursi nahkoda sebagai pelatih adalah Shin Tae Yong dari Korea Selatan. Kepelatihan Shin Tae Yong sebenarnya dinilai bagus sebab yang diutamakan Shin Tae Yong adalah kedisiplinan dan peningkatan stamina. Ingat di masa-masa sebelumnya stamina pemain Timnas kita sering ngedrop begitu memasuki menit 70-an.

Di bawah kepelatihan Shin Tae Yong, stamina pemain Tim Nasional Indonesia tetap bugar sampai akhir laga. Shin Tae Yong juga berani memotong generasi dan memilih pemain yang lebih muda untuk dibina. Nama-nama yang bersenar dibawah asuhannya adalah Rizki Ridho, Witan Sulaiman dan Egy Maulana Vikri. Untuk Rizki Ridho sendiri semua harusnya setuju bahwa ia bermain lebih apik dari beberapa kompatriotnya di lini belakang seperti Mess Hilghers ataupun Kevin Diks.

Bersama pemain keturunan ini, tTimnas Indonesia lolos kualifikasi piala Asia dan bermain cukup solid di piala Asia hingga lolos dari grup ke babak selanjutnya lewat peringkat tiga terbaik. Bersamaan dengan itu peringkat Timnas Indonesia pun merangkak naik perlahan, agak miris sebenarnya bila membicarakan peringkat ini sebab posisi Timnas masih di peringkat 100 sekian tapi tetap saja dibicarakan penuh percaya diri.

Di kualifikasi piala dunia putaran 1 sampai putaran 3 berjalan cukup mulus. Rintangan paling berat saat itu adalah saat melawan Irak yang tidak bisa kita kalahkan di dua kali pertemuan. Pertandingan dengan Irak pun membuka lebar mata publik akan kelemahan di posisi kiper yang saat itu ditempati oleh Ernando Ari, dan solusinya adalah pemain keturunan lagi. Maka datanglah Marten Paes dari FC Dallas disusul kemudian oleh Emil Audero Mulyadi yang saat itu bermain di Cremonesse.

Di babak keempatlah keseriusan harus lebih karena peringkat pertama dan kedua grup dari enam tim akan langsung lolos ke piala dunia. Impian itu makin dekat, namun tantangannya juga makin besar. Negara lain yang jadi lawan Indonesia di grup Ini adalah Jepang, Australia, Arab Saudi, Bahrain, dan Cina.

Hasilnya tak bagus-bagus amat, Indonesia finish di posisi ke empat dan melaju ke putaran 5 tergabung satu grup dengan Arab Saudi dan Irak untuk memperebutkan satu tiket lolos langsung ke Piala Dunia. Dan sebelumnya Tim Nasional Indonesia memecat Shin Tae Yong di tiga sisa laga putaran keempat. Pemecatan Shin Tae Yong pun bukan hanya pemecatan satu posisi tapi sekaligus satu tim kepelatihan. Orang-orang Korea Selatan mangkat, Orang-Orang Belanda datang.

Pergantian pelatih dari STY ke Patrick Kluivert bersama seluruh staff kepelatihannya ini hanya sekali lagi memamerkan betapa mental ambil jalan pintas ini sudah mendarah daging di sistem kita.

Di bawah nahkoda Patrick Kluivert ini permainan Indonesia tidak lebih baik juga. Permainannya malah membentuk lagi dari semula, hal-hal yang bagus di era Shin Tae Yong hilang sehingga di pertandingan pertama Timnas bersama Patrick Kluivert melawan Australia mesti kalah 5-1.

Di Putaran ke 5 Timnas pun mesti menelan pil pahit sebab kalah oleh Irak dan Arab Saudi, maka tertutuplah sudah kesempatan itu. Bila pun harus mengulang kesempatannya dalam empat tahun ke depan.

Kini setelah pintu piala dunia 2026 tertutup akankah PSSI merubah caranya dengan memperbaiki sistem sepak bola nasional sebagai mana yang dilakukan Jepang, atau bakal tetap melanjutkan jalan pintas yang sudah rusak ini?

Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like